Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Qiraah Nusantara Mengapa Tidak

13 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK seorang pun di antara kita tahu persis bagaimana Al-Quran dilagukan untuk pertama kali. Tiada juga jawaban untuk pertanyaan: apakah wahyu yang diterima Nabi Muhammad sudah dilampiri "melodi"—katakanlah semacam "notasi"? Dalam film-film cerita berlatar belakang sejarah Islam masa awal, bahkan azan pun belum berlagu ketika Bilal bin Rabah mengumandangkannya pertama kali.

Dalam film-film itu, Bilal—orang keenam yang memeluk Islam menurut Abdullah bin Mas'ud—setiap kali akan mengumandangkan azan, mendaki sepucuk ketinggian, semacam bukit kecil, dan dari sana berseru ke berbagai arah. Dalam perjalanan sejarah, bukit kecil itu "dimodifikasi" menjadi menara masjid-masjid modern. Azan pada masa Bilal sama sekali tak merdu, tapi langsung menyerukan lafaz-lafaz panggilan salat itu ke sekeliling dengan suara keras.

Langgam qiraah mencuat—dan sempat jadi bahan debat hangat—setelah qari Muhammad Yasser Arafat melantunkan Surah An-Najm ayat 1-15, dalam peringatan Isra Mikraj di Istana Negara, Jakarta, Mei lalu. Tak seperti biasanya, apalagi dalam upacara resmi di Istana Kepresidenan, qari yang juga dosen filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu tidak membaca ayat-ayat suci dengan langgam konvensional, tapi dengan langgam Jawa, yang mengingatkan orang pada macapat.

Meski memasuki Ramadan debat itu surut, polemik dalam format "api dalam sekam" sebetulnya tetap merambat. Kalangan Nahdlatul Ulama merupakan penyokong resmi utama qiraah langgam Jawa ini—yang kemudian meningkat menjadi wacana qiraah Nusantara. Jamiyyatul Qurra wal Hufadz, sayap pembaca dan penghafal Al-Quran Nahdlatul Ulama, malah memutuskan tilawah dengan langgam Jawa atau langgam lain sahih belaka asalkan tak menyalahi hukum Al-Quran dan tajwid. Tampaknya, wacana qiraah Nusantara ini semacam "pemanasan" menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 pada awal bulan depan, yang temanya "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia".

Prakarsa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengundang qari Muhammad Yasser Arafat naik panggung dalam peringatan Isra Mikraj di Istana Negara itu sesungguhnyalah patut dirayakan. Sejak awal Lukman menyifatkan dirinya sebagai bukan Menteri Agama yang biasa-biasa saja, yang tinggal duduk manis menjaga norma serta menghitung ongkos naik haji dan biaya nikah-talak-rujuk. Putra Saifuddin Zuhri—Menteri Agama semasa Presiden Sukarno—ini tak sekalem penampilannya. Tapi dia juga bukan figur yang ingar-bingar. Setelah debat qiraah mulai seru, ia memilih tak banyak ucap.

"Qiraah Nusantara" sesungguhnyalah bukan barang baru. Sebelum langgam Arab masuk ke negeri ini, awal 1950-an, disusul langgam Mesir sekitar sepuluh tahun kemudian, langgam lokal sudah semarak di seantero Nusantara. Tak ada jurang pemisah antara langgam lokal dan langgam Arab ataupun Mesir. Barulah setelah rezim Soeharto, langgam lokal mulai terpinggirkan berangsur-angsur.

Soeharto, dengan gayanya yang merambat sehingga hampir tak terasa, kemudian seperti "membakukan" langgam yang merujuk pada qiraah Sab'ah melalui Musabaqah Tilawatil Quran yang pertama di Makassar pada Ramadan 1968. Langgam itu meliputi: bayati, shoba, hijaz, nahawand, rost, jiharkah, dan sikah. Sejak itu, dari musabaqah ke musabaqah yang berlangsung monoton, rutin, dan lebih pada upaya menghabiskan anggaran negara sehingga diwarnai korupsi itu, "langgam musabaqah" menjadi semacam langgam resmi yang tak boleh dicemari oleh langgam lokal mana pun.

Sulit membayangkan, misalnya, pada masa itu ada perhelatan "tradisional" seperti yang berlangsung dua bulan lalu di Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bulango, Provinsi Gorontalo. Itulah Saadela Lo Ngadi Wunu-wunungo alias Musabaqah Tilawatil Quran dengan cita rasa lokal. Musabaqah ini tidak berpedoman pada qiraah Sab'ah, tapi kepada empat langgam lokal, yang meliputi amudi, banjara, masiri, dan arabi. Dari nama-nama ini, kita tahu, keempat langgam itu pun tidaklah sepenuhnya "lokal".

Keberatan atas langgam non-Arab dan non-Misri biasanya didasarkan pada anggapan bahwa langgam-langgam itu mudah terpeleset dari kaidah bacaan sekitar tajwid, makhraj, dan semacamnya. Kekhawatiran itu memang mesti dipertimbangkan. Tapi tak ada juga jaminan bahwa qiraah "konvensional" kalis dari kemungkinan keterpelesetan itu. Semuanya terpulang pada para qari dan lembaga tempat mereka dididik menjadi pembaca dan penghafal atawa hafiz Al-Quran.

Qiraah Nusantara seyogianyalah meliputi semua langgam lokal yang mempunyai sejarahnya sendiri di negeri ini. Dengan hati dan pikiran terbuka, perbedaan di sekitar langgam qiraah ini seharusnyalah memperkaya kultur keislaman Nusantara, bukan mempersempit—apalagi membunuhnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus