Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan lalu, Pak H.M Jusuf Hasjim, pengasuh Pesantren Tebuireng, menemui saya di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta. Kami berbicara selama satu setengah jam tentang berbagai masalah, termasuk radikalisme agama. Akhirnya kami sepakat mengundang para pemimpin kelompok ini ke Tebuireng dalam tempo dekat. Tujuannya? Agar bisa saling bertukar pikiran tentang berbagai masalah yang dihadapi umat santri di Indonesia.
Sekarang seakan-akan kalangan santri dikaitkan dengan berbagai tindakan kekerasan, seperti peledakan bom, yang memang biadab. Yang paling dahsyat ialah tragedi Bali 12 Oktober lalu, yang membunuh hampir 200 manusia. Ledakan bom juga baru saja terjadi di Makassar pada 5 Desember lalu.
Akibat keganasan ini, tidak saja nama santri yang dikaitkan langsung yang tercemar, citra bangsa Indonesia yang dihuni oleh mayoritas muslim pun semakin babak-belur. Seolah-olah kaum santri secara keseluruhan menjadi tertuduhsesuatu yang tidak bisa kita terima.
Karenanya, buat oknum santri yang terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan selama ini, saya mohon kejadian itu jangan diulang lagi. Sebab, citra buruk yang ditimbulkannya akan menjadi beban kita semua. Dan perlu diingat bahwa cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan jelas berlawanan dengan seluruh prinsip Islam yang autentik. Jalan kekerasan hanyalah akan sangat menyulitkan posisi umat dalam gerakan dakwah mereka.
Ada berbagai bentuk terorisme yang berkembang. Di samping terorisme perorangan dan kelompok, juga ada terorisme negara. Tindakan brutal Israel terhadap rakyat Palestina selama lebih dari setengah abad termasuk dalam kategori ini. Tapi, umat Islam tidak boleh membalas terorisme dengan terorisme. Harus dicari metode dan cara lain yang lebih beradab untuk menghadapi pihak lain yang mungkin memang ingin menghabisi kita secara biadab. Kebiadaban dilawan dengan kebiadaban pasti akan menjadi bencana bagi kepentingan Islam jangka panjang.
Jika kita memang secara tulus ingin melihat Islam punya masa depan yang cerah, satu-satunya jalan terbaik adalah lewat ilmu, teknologi, dan organisasi. Umat Islam jauh sekali tertinggal di bidang ini hingga kita kehilangan wibawa dalam percaturan dunia. Tanpa penguasaan ilmu dan teknologi, sebagian dari kita yang diungguli pihak lain akan merasa tertindas, lalu bersikap defensif dan reaksioner. Maka, dicarilah jalan pintas yang radikal dalam upaya membela diri dengan menafsirkan ajaran agama secara sempit, subyektif, dan tidak bertanggung jawab.
Mungkinkah radikalisme agama akan efektif untuk mencapai suatu tujuan mulia? Sepanjang pengetahuan saya, radikalisme umumnya berakhir dengan malapetaka dan bunuh diri. Sebabnya, prinsip kearifan dan lapang dada yang diajarkan agama tidak lagi dihiraukan dalam mengatur langkah. Sejarah perjuangan para rasul yang pahit dan getir, tapi ditempuh dengan penuh ketabahan, seharusnya menginsafkan kita bahwa cara-cara radikal-emosional akan membawa kita kepada kegagalan dan kekalahan.
Kisah Nabi Nuh yang hidup selama 950 tahun (QS Al-Ankabut ayat 14 ) adalah di antara contoh betapa memang sulit mengajak manusia ke jalan yang benar dan adil. Al-Quran merekam keluhan Nuh kepada Allah: "Berkatalah Nuh: Tuhanku! Sesungguhnya aku telah mengajak kaumku siang-malam. Namun ajakanku tidak menambah apa-apa kecuali mereka semakin lari. Dan sesungguhnya setiap kuajak mereka agar Engkau ampuni mereka, mereka malah menyumbatkan jari-jari mereka pada telinga-telinga mereka dan mereka berselimut dengan pakaian-pakaian mereka, dan mereka tetap saja (keras kepala) serta bersikap sangat sombong" (QS Nuh: 5-7).
Kemudian, karena kedurhakaan merekatermasuk istrinya sendirisudah jauh melampaui batas, lalu mereka ditenggelamkan. Dalam ayat berikut terlihat bahwa kekesalan Nuh sudah sampai di puncaknya. "Berkata Nuh: Tuhanku! Janganlah Engkau biarkan seorang kafir pun tinggal di muka bumi. Sebab, jika engkau biarkan, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan membuahkan (anak) kecuali pendosa yang sangat kufur" (ayat 26-27).
Doa Nuh ini tampaknya tidak dikabulkan Tuhan. Mengapa? Inilah sebuah teka-teki besar. Boleh jadi Tuhan memang menghendaki agar kejahatan tetap ada di muka bumi. Dengan demikian, perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan adalah perjuangan tanpa henti sampai rapuhnya dunia ini. Untuk itu, diperlukan stamina spiritual yang prima, bukan mentalitas nekat dan sempit pandangan. Wallahualam.
Situasi kita sekarang belumlah separah umat Nuh. Melalui dakwah yang persuasif dan cara yang lebih arif, kemungkinan kita berhasil mengajak manusia ke jalan yang benar jauh lebih besar. Tidak perlu kita menempuh cara-cara radikal, apalagi dengan wawasan keagamaan yang sempit dan autoritarian. Pengalaman Indonesia selama ini berujung dengan kegetiran serta meninggalkan trauma psikologi di kalangan umat dan rasa takut di kalangan umat lain.
Menempuh cara kekerasan dalam mencapai tujuan agama yang suci sama saja dengan mengkhianati dan mengotori kesucian itu sendiri. Memang tampaknya kita semua selalu memerlukan pencerdasan dan pencerahan. Karena itu: "Ambillah pelajaran wahai kamu yang dikaruniai penglihatan tajam!" (QS 59: 2). Muhammad Ali Shabuni dalam Shafwat Al-Tafasir menafsirkan ungkapan uli 'l-abshar dengan dzawi ' l uqul wa 'l-albab (yang memiliki akan dan pengertian yang mendalam). Saya menerjemahkannya dengan "yang dikaruniai penglihatan tajam".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo