Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono terkesan mendua ketika ”menyindir” Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga superbody. Yudhoyono juga menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi seolah-olah hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Diucapkan di tengah kunjungan ke sebuah kantor media massa nasional di Jakarta, statement itu tak ubahnya ”siaran pers” yang diharapkan menyebar ke seantero penjuru.
Ada dua hal yang harus diluruskan di sini. Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi memang lembaga superbody—lalu kenapa? Undang-Undang Nomor 30/2002 menyatakan, komisi ini dibentuk karena penegakan hukum yang dilakukan secara konvensional untuk memberantas tindak pidana korupsi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.
Karena situasi jumud itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan mana pun. Undang-undang menggunakan terma ”luar biasa” untuk membedakan lembaga ini dengan lembaga penegak hukum lain yang sudah eksis sebelumnya.
Kedua, dengan ”menyindir” Komisi Pemberantasan Komisi yang seolah-olah hanya bertanggung jawab kepada Tuhan, Yudhoyono sepertinya lupa pada kalimat pertama Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30/2002 itu: ”Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya....” Kalau semangat demokrasi masih menjunjung asas vox populi vox dei, ”sindiran” tadi jelas salah sasaran.
Semangat melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi memang berangsur bangkit belakangan ini. Terutama setelah Antasari Azhar—Ketua KPK nonaktif—terjerat masalah hukum dan menjadi tahanan polisi. Di Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, pagi-pagi sudah timbul perdebatan apakah tanpa ketua keputusan-keputusan KPK masih bisa dipertanggungjawabkan.
Belakangan ramai pula diperbincangkan isu penyadapan telepon yang dilakukan Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah, atas perintah Antasari Azhar, yang sebetulnya tak ada sangkut-pautnya dengan masalah pemberantasan korupsi. Terakhir, muncullah keinginan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit KPK, dengan alasan diperintah Presiden—kendati Presiden kemudian membantah.
Memang bukan hal aneh jika banyak pihak bercita-cita melumpuhkan KPK. Tak ganjil pula jika kiprah komisi antikorupsi ini membuat sejumlah orang tak enak makan tak nyaman tidur, termasuk di tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Konsentrasi KPK, yang mulai terarah kembali kepada kasus suap di balik terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004, juga tak kecil pengaruhnya.
Karena itu, usaha memperlambat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat selayaknya disiasati dengan kewaspadaan tinggi. Pada saat ini, misalnya, pembahasan baru memasuki daftar inventarisasi masalah. Jika hingga akhir tahun ini pembahasan rancangan itu tak selesai, KPK terancam bubar, karena Undang-Undang No. 30/2002 menentukan, semua penuntutan komisi tersebut diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sebetulnya masih cukup waktu bagi Dewan Perwakilan Rakyat periode ini untuk menyelesaikan pembahasan itu. Masih ada masa persidangan yang akan dimulai bulan depan. Tetapi, jauh lebih penting dari sekadar memenuhi tenggat adalah semangat menciptakan landasan hukum yang aplikatif dan efektif bagi keberadaan lembaga pengadilan itu.
Soalnya, sejumlah aktivis sudah menengarai upaya penggembosan draf Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, antara lain pasal yang melemahkan posisi hakim ad hoc. Memang patut dikhawatirkan upaya sistematis mengembalikan peran dominan kepada hakim pengadilan umum untuk menyidangkan kasus tindak pidana korupsi.
Mengingat sempitnya waktu tersisa, paling bagus jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyiapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bukannya mempersoalkan apakah Komisi Pemberantasan Korupsi lembaga superbody atau tidak, atau apakah tanggung jawab lembaga itu hanya kepada Tuhan Seru Sekalian Alam.
Dengan rendah hati harus kita akui, hasil kerja Komisi Pemberantasan Korupsi belum maksimal. Tuntutan undang-undang, yang meminta lembaga ini bekerja secara ”optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan” masih bisa diperdebatkan. Tapi, dengan bertindak tepat, Presiden Yudhoyono minimal bisa memelihara aspek ”berkesinambungan” yang diamanatkan undang-undang itu, dan dengan demikian bersetia pada janji kampanyenya untuk tetap memerangi korupsi—dengan segala akibatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo