Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGHALALKAN segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah cara berdemokrasi yang benar. Karena itu, kita menyesalkan terjadinya kampanye hitam yang menimpa calon wakil presiden Boediono. Perilaku semacam ini tidak saja jauh dari etika politik, tapi juga telah mencederai pesta demokrasi kita. Pemilihan presiden yang mestinya berjalan elegan telah dinodai dengan cara kasar dan ”kampungan”.
Kampanye hitam itu terjadi ketika calon wakil presiden Jusuf Kalla berdialog dengan masyarakat di Asrama Haji Medan, dua pekan lalu. Di tengah-tengah kampanye dialogis tersebut, beredar selebaran berupa fotokopi artikel tabloid Indonesia Monitor edisi 3-9 Juni, berjudul ”Apakah PKS Tidak Tahu Istri Boediono Katolik?” Selebaran yang menuding Herawati, istri Boediono, seorang Katolik itu serta-merta menjadi pembicaraan masyarakat yang menghadiri kampanye Kalla. Herawati sebenarnya seorang muslim.
Peristiwa di Asrama Haji itu langsung mendapat reaksi keras dari tim kampanye SBY-Boediono. Mereka menuding selebaran dan isu agama tersebut sengaja diedarkan dan diembuskan ”tim JK-Wiranto” untuk mendiskreditkan Boediono. Tujuannya: masyarakat, khususnya kaum muslimin, tidak memilih pasangan SBY-Boediono. Tidak hanya menuntut JK-Wiranto meminta maaf, tim kampanye SBY juga melaporkan kasus ini ke Badan Pengawas Pemilu dan polisi.
Sejauh ini siapa otak di belakang selebaran gelap itu masih belum jelas benar. Kepada polisi, seorang penyebarnya, yang kini menjadi tersangka, justru memberikan pengakuan mengejutkan: yang menyuruh ia melakukan semua itu anggota tim sukses SBY. Jusuf Kalla menampik jika timnya melakukan kampanye seperti itu. Ia menyebut kampanye hitam di Medan tersebut sengaja untuk menjebak dirinya. Karena itu pula, wajar jika Jusuf Kalla berang dan meminta aparat memeriksa peristiwa di Medan itu.
Badan Pengawas Pemilu dan polisi harus mengusut kasus ini sampai tuntas. Melihat ”mata rantai” penyebarnya, rasanya tak terlalu sulit bagi polisi membekuk otak pelakunya. Apalagi nama yang dicurigai berada di balik tindakan jahat ini semua sudah di tangan polisi. Kita mengharapkan agar masalah ini segera menjadi terang-benderang. Polisi harus mampu membongkar siapa sebenarnya yang ”bermain” atau melakukan fitnah. Siapa pun pelakunya harus mendapat hukuman setimpal.
Tentu saja kami menyesalkan kalau isu agama masih dipakai untuk ajang kampanye. Sebagai bangsa yang besar, mestinya kita sudah menanggalkan segala tindakan dan perbuatan yang mempersoalkan keyakinan seseorang yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Agama adalah masalah pribadi, masalah pilihan seseorang untuk berhubungan dengan Yang Di Atas, yang harus dihormati apa pun pilihannya. Jikapun istri Boediono, misalnya saja, benar beragama Katolik, apa yang salah?
Bangsa ini dibentuk di atas banyak perbedaan: agama, suku, bahasa, golongan, dan lain sebagainya. Para founding fathers memaklumi adanya kemajemukan yang luar biasa itu dan justru menyatukan perbedaan itu untuk menjadi kekuatan. Kita juga memiliki slogan Bhinneka Tunggal Ika yang kita hafal luar kepala sejak duduk di bangku sekolah dasar. Karena itu, jika masih ada di antara kita yang mempersoalkan segenap perbedaan itu, yang punya pemikiran picik dan kerdil itu, sebaiknya tak usah berpijak di Bumi Pertiwi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo