Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUGAAN pelanggaran hukum dalam proses pengadilan Amir Machmud tak boleh didiamkan. Sopir di Badan Narkotika Nasional ini divonis empat tahun penjara tanpa dihadirkan sebagai terdakwa. Amir baru mendengar keputusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu dari istrinya setelah setahun ditahan.
Polisi mencokok Amir ketika merazia tempat-tempat hiburan pada 19 Desember 2007. Ia tertangkap basah membawa sebutir ekstasi—sewaktu Amir mengantar empat polisi yang tengah menyamar ke sebuah diskotek di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat. Pengadilan Negeri Jakarta Barat lalu menyidangkan perkara ini pada 27 Maret 2008. Jaksa menuntut dia empat tahun penjara.
Setelah sidang pertama itu, tak ada kejelasan tentang kelanjutan kasusnya. Setahun kemudian, Amir mendengar dari dalam sel bahwa hakim menghukum empat tahun penjara plus denda Rp 150 juta. Amir, atau siapa pun terdakwa, tentu punya hak untuk membela diri—dengan atau tanpa penasihat hukum. Menurut istri Amir, Herawaty, hak suaminya sebagai terdakwa sama sekali diabaikan hakim—dia juga kehilangan haknya untuk mengajukan banding.
Masih ada keanehan lainnya. Tuntutan, pembelaan, dan vonis hakim dibacakan pada hari yang sama. Padahal, sebelum memutus perkara, lazimnya majelis hakim butuh waktu untuk mempelajari kembali berita acara kasus yang hendak diputus. Pula, tak ada penyerahan petikan putusan hakim kepada terdakwa atau keluarganya. Petikan itu baru diberikan setelah Herawaty diping-pong sana-sini, dan disarankan ”menemui hakim tanpa tangan kosong”.
Dalam perkara pidana tertentu yang dianggap ”sederhana”, tuntutan, pembelaan, dan vonis memang bisa dibacakan pada hari yang sama. Pengadilan Negeri Jakarta Barat menggunakan Pasal 182 ayat 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu sebagai dasar hukum tatkala menuntaskan proses pengadilan Amir dalam waktu hanya sehari.
Tapi kejahatan narkoba bukanlah kasus sederhana. Seperti korupsi, tindak pidana ini harus diprioritaskan pemberantasannya. Kalaupun disidangkan secara cepat, bukan berarti hakim lantas boleh membacakan putusan perkara tanpa kehadiran sang terdakwa. Ketentuan ini jelas diatur dalam Pasal 196 ayat 1 KUHAP dan dinyatakan pula dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sebab itulah pengacara Amir harus segera mengajukan upaya hukum. Bila kelak terbukti ada kesalahan dalam proses hukum, hak-hak pihak yang terlanggar harus dipulihkan dan ditebus. Sebaliknya, hakim yang melanggar harus diberi sanksi berat dan sepadan. Misalnya, dengan mencabut palu yang ”lupa” dia gunakan. Di sinilah Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial—yang proaktif menemui Amir di penjara—perlu segera menuntaskan pemeriksaan.
Komisi memang mendapat wewenang penuh dari undang-undang untuk memantau kinerja para hakim. Maka wajar saja bila lembaga ini memanggil dan menelisik kerja ketiga hakim kasus ini, yakni ketua majelis hakim Agusin, serta hakim anggota Yoseph S.E. Fina dan Mutarto. Hasilnya kelak diteruskan ke Mahkamah Agung beserta rekomendasi sanksi bila ada kesalahan. Kedua lembaga itu harus menggunakan momentum ini sebaik-baiknya untuk memulihkan kepercayaan para pencari keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo