Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rapbn 1992-1993: memainkan peran baru?

Rapbn 1992-93 mengisyaratkan bahwa penerimaan dari migas dan bantuan luar negeri akan turun. penerimaan nonmigas diharapkan naik.

11 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAUH ini APBN tidak banyak dapat berfungsi dalam pengelolaan permintaan agregat. Umumnya, anggaran Pemerintah bersifat ekspansif pada waktu ekonomi mengalami pertumbuhan tinggi, tetapi pada saat kegiatan ekonomi menurun, anggaran Pemerintah dapat bersifat kontraktif. Ini disebabkan Pemerintah menerapkan kebijaksanaan anggaran berimbang: jika penerimaan menurun, pengeluaran harus menurun. Walau demikian, APBN sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional sebab anggaran Pemerintah besarnya antara 20% dan 25% dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, ia juga menjadi petunjuk bagi arah pengelolaan pembangunan oleh Pemerintah untuk 12 bulan mendatang. RAPBN 1992-1993 mengisyaratkan bahwa dalam tahun mendatang ini sumber penerimaan yang berasal dari migas dan bantuan luar negeri tidak akan meningkat dan bahkan diperkirakan akan mengalami penurunan. Hal ini berarti bahwa Pemerintah akan harus lebih mengandalkan pada mobilisasi dana dari dalam negeri. Selama dasawarsa 1980, Pemerintah dapat meningkatkan penerimaan nonmigas -- yaitu dari berbagai pajak -- dari dalam negeri sebesar 22% rata-rata per tahun. Dalam RAPBN ini, penerimaan nonmigas diharapkan meningkat sebesar hampir 30%. Dalam kondisi sekarang, upaya ini jelas tidak mudah tetapi bukan tidak mungkin untuk dicapai. Selama dasawarsa 1980, secara rata-rata realisasi penerimaan nonmigas mencapai 3,5% di atas rencananya, sedangkan realisasi penerimaan migas mencapai 7% di atas rencana. Demikian pula realisasi bantuan luar negeri ternyata mencapai 11% di atas yang direncanakan. Dengan demikian, selama dasawarsa yang lalu, realisasi pengeluaran pembangunan dalam APBN secara rata-rata telah mencapai 8% di atas rencana. Peranan mobilisasi dana dalam negeri untuk pembiayaan kegiatan Pemerintah menjadi semakin penting karena bobotnya dalam keseluruhan penerimaan Pemerintah semakin meningkat. Pada permulaan tahun 1980an, penerimaan nonmigas kira-kira seperempat dari seluruh penerimaan Pemerintah, tetapi dalam RAPBN 1992-1993, bagian ini diperkirakan akan mendekati 60%. Walaupun demikian, belum jelas apakah arah perkembangan ini dapat dipertahankan dan sejauh mana suatu perubahan struktur yang bersifat mendasar telah terjadi dalam APBN. Idealnya, mungkin, penerimaan nonmigas ini dapat membiayai 75% sampai 80% dari seluruh pengeluaran Pemerintah. Ini berarti penerimaan pajak dapat ditingkatkan menjadi 20% sampai 25% dari PDB nonmigas. Tujuan ini memerlukan upaya besar. Pada akhir dasawarsa lalu, penerimaan pajak sekitar 10% dari PDB nonmigas dan diperkirakan akan meningkat menjadi 15% dalam tahun anggaran mendatang. Upaya ini perlu mendapat prioritas dan perlu dilaksanakan secara saksama. Jika tidak, selalu terdapat bahaya bahwa upaya memperbanyak telur itu justru akan berakibat kematian induknya. Sementara ini, bantuan luar negeri masih akan memainkan peran yang penting. Pada tahun 1986-1987, misalnya, ketika realisasi penerimaan migas berada jauh di bawah rencananya, realisasi bantuan luar negeri mencapai 60% di atas rencananya. Hal ini juga menunjukkan bahwa sejauh ini bantuan luar negeri dapat membantu mengurangi efek kontraktif anggaran pada saat penerimaan dalam negeri menurun. Selain itu, bagian terbesar dari bantuan luar negeri dipergunakan untuk pembangunan prasarana yang mempunyai arti strategis dalam tahapan pembangunan nasional dewasa ini. Pengertian anggaran berimbang, yang diterapkan di Indonesia, telah memasukkan komponen bantuan luar negeri, yang dikenal sebagai penerimaan pembangunan. Sebenarnya, anggaran mengalami "defisit", tetapi selama defisit itu dibiayai dengan dana dari luar negeri, anggaran dianggap berimbang. Tampaknya, proses ini tidak dapat terus-menerus dipertahankan. Salah satu pertimbangan utama adalah dari segi pengelolaan utang luar negeri. Sejak beberapa tahun terakhir, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri telah jauh melampaui pinjaman luar negeri yang baru. Artinya, secara neto, telah terjadi transfer yang negatif. Dalam RAPBN 1992-1993 ini, besarnya bunga dan cicilan utang luar negeri mencapai 60% lebih di atas bantuan luar negeri. Namun, jika komponen bantuan luar negeri ini menjadi semakin berkurang peranannya dalam penerimaan Pemerintah, ruang gerak anggaran untuk mempengaruhi permintaan agregatif juga akan semakin mengecil. Padahal, dalam tahapan pembangunan ekonomi sekarang ini, APBN diharapkan dapat digunakan sebagai suatu instrumen kebijaksanaan ekonomi makro yang cukup ampuh. Peranan APBN memang akan menjadi semakin kompleks. Peranan alokasinya harus dilihat dalam kerangka ekonomi yang lebih luas, yang kini sedang mengalami perubahan. Di waktu lalu, alokasi dana pembangunan melalui APBN ditetapkan atas suatu rencana Pemerintah dan secara tidak langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi alokasi oleh dunia usaha, sedangkan kini alokasi dana dalam APBN harus mengantisipasi alokasi oleh dunia usaha. Hal ini disebabkan peranan swasta dalam pembangunan telah meningkat. Demikian pula alokasi dan pengelolaan utang luar negeri akan berubah jika kedudukan Indonesia berubah dari negara yang aid dependent menjadi suatu commercial country, yaitu jika struktur utangnya berubah dari yang sebagian besar bersifat G-to-G (antarpemerintah) menjadi P-to-P (antarswasta). Peranan distributif APBN juga akan semakin besar jika mobilisasi dana dalam negeri oleh Pemerintah semakin meningkat. Jika kegiatan sektor swasta sudah semakin besar dan meluas, ruang gerak Pemerintah untuk melaksanakan berbagai upaya pemerataan akan semakin besar dan beragam. Namun, peranan APBN sebagai instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan ekonomi makro tampaknya hanya akan meningkat jika Pemerintah dapat menerapkan kebijaksanaan anggaran yang lebih aktif, termasuk menjalankan anggaran defisit atau surplus. Tetapi hal ini hanya akan dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan malapetaka jika Pemerintah dapat menjaga disiplinnya sendiri. Artinya, ruang gerak Pemerintah yang lebih besar untuk memobilisasi dana dalam negeri, termasuk melakukan utang dalam negeri -- misalnya dengan menerbitkan obligasi -- tidak berakibat pada penghamburan dana untuk pembiayaan berbagai proyek yang tidak ekonomis. Kemampuan ini masih diragukan, mungkin pula oleh Pemerintah sendiri. RAPBN 1992-1993 jelas belum dapat memainkan peran baru itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus