Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rasionalitas dan asal menang

Manusia dipandang sebagai ens rationalis, yakni makhluk berpikir, bisa menimbang dengan akal se- hat. jadi pijakan dalam kesadaran bernegara untuk menghindari konflik kepentingan kecurangan.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rasionalitas dan Asal Menang MUDJI SUTRISNO* ADALAH Descartes, sang pemikir yang hidup dari tahun 1596 sampai 1650, yang menegaskan pentingnya kesadaran akal sebagai pangkal peradaban. Descartes pula yang menempatkan martabat manusia pada rasionalitas, pada kesadaran akalnya. Lalu manusia dipandangnya sebagai ens rationalis atau makhluk berpikir. Bila peradaban mau maju, orang mesti berpijak pada fajar budinya. Alasan pertama, dalam rasionalitas, manusia merasa diri sebagai yang mampu mengambil jarak, menyangsikan, bertanya dan mencoba menjawabnya, sehingga ia bisa merancang langkah hidup. Kedua, lewat rasionalitasnya, manusia berdialektika untuk mencari kebenaran, menyangsikan "kebenaran tradisional", memperbarui lagi sampai cocok dan sesuai dengan perkembangan eksplorasi pikiran dan tantangan keadaan, menuju dinamika kehidupan ilmu dan peradaban. Namun, yang kini menjadi soal, masih percayakah kita pada ens rationalis (manusia mampu menimbang tindakannya dan memilih yang terbaik menurut nurani untuk diri sendiri atau sesama), manakala naluri liar, kemarahan, dendam, like and dislike lebih menguasai kita? Atau, masih adakah ens rationalis itu dalam kompetisi ekonomi yang mengumbar nafsu mengejar untung tanpa mempedulikan halal atau haramnya, dengan cara apa pun, pokoknya, seseorang mengeruk untung. Gejala ini agaknya menghubungkan kata kunci "pintar" dan "licik" (pintar untuk minteri dengan muslihat). Konteks pintar-memintari ini akan tampil dalam konflik kepentingan. Dengan demikian, terutama dalam masalah politik, kepentingan seseorang atau kelompok tertentu menjadi faktor penentu. Dalam artian ini, pengertian politik menjadi negatif karena hanya dikaitkan dengan upaya untuk memenuhi kepentingan seseorang atau kelompok tertentu. Adalah Machiavelli yang secara dingin, kritis, dan analitis mengurai politik sebagai permainan curang memenangkan kepentingan lewat wewenang atau kuasa. Maka, kalau mau tetap berkuasa, jangan membagi kuasa itu, dan jangan pula mempercayai orang-orang yang bukan dari kelompok setia yang teruji dalam elite kecil. Machiavelli sendiri disalahtafsirkan sebagai pencetus politik menghalalkan cara. Sebenarnya, ia tidaklah sepersis itu. Machiavelli, dengan analisisnya mengenai anatomi kekuasaan mau menunjukkan dengan riil, bagaimana sulitnya terjadi share of power, apalagi bargaining power, kekuatan tawar-menawar yang seimbang posisinya. Lalu, masihkah orang bisa mengandalkan sesamanya sebagai makhluk berakal budi bila akalnya busuk, licik? Di sinilah lalu muncul kesadaran sejarah yang mau memagari naluri liar kekuasaan dalam proses masyarakat membentuk negara. Artinya, ketika society sadar untuk menciptakan bangunan state, maka disusunlah basisnya, pagar dan batas wewenang yang boleh dipegang oleh negara. Sebagai "ens rationalis", manusia-manusia yang sadar berpikir dan mampu menimbang jernih berdasar akal budi menetapkan bangunan negara. Secara politis dan sadar, negara disusun komplet dengan pembagian kekuasaannya, dilengkapi dengan lembaga kontrol yang dipegang oleh lembaga peradilan. Evolusi kesadaran bernegara ini kemudian mengkristal dalam sistem " Trias Politica" yang taat asas dalam pembagian kekuasaan dan menghormati kontrol kekuasaan peradilan. Negara diberi wewenang oleh rakyat untuk menjaga tata tertib dan keamanan. Ia tak boleh campur dalam hak-hak dasar masyarakatnya dalam beragama, berpendapat, berserikat, dan bersuara. Ada batas tegas antara wewenang negara dan hak warga negara, serta kewajibannya terhadap sesama dan terhadap negara. Dasar sistem bernegara ini adalah rasionalitas manusia sebagai ens rationalis itu. Bukan makhluk naluriah, yang bila lebih kuat bisa seenaknya terhadap si lemah. Penyelesaian konflik kepentingan dilakukan dengan pertimbangan akal sehat, yakni lewat proses peradilan yang bebas, sebagai penengah dalam berbagai konflik kepentingan. Yang menjadi pertanyaan, masih percayakah orang pada ens rationalis manakala naluri keserakahan belum juga tersingkir dari peradaban sistem bernegara. Kalau naluri keserakahan itu mengalahkan ens rationalis, yang akan tampil adalah gajah dan harimau yang akan menang. Pelanduk dan serangga tak punya hak hidup, menjadi korban pertempuran kepentingan si kuat. Dalam keadaan semacam ini, agaknya, peradaban yang didasarkan pada akal budi dan penghargaan atas martabat manusia diperlukan. Dan sejarah peradaban, seperti kesaksian Toynbee, memuncak dan runtuh mengikuti pasang surutnya sumber energi yang dipilih. Peradaban memuncak bila energi kehidupan ditopang oleh rasionalitas manusia, dan surut manakala lebih menonjolkan "perang" kepentingan. Pokoknya, yang kuat menang. Bila Indonesia mengenal apa yang disebut sindrom Mataram (yang merupakan sejarah berdarah dinasti raja-raja Jawa Mataram), ajakan untuk memperjuangkan kesadaran kita sebagai makhluk rasional yang fajar budi, bijak dan bening nurani, kiranya sungguh mendesak. Seperti dipancangkan para pendiri bangsa kita, perjuangan kemerdekaan adalah penghormatan terhadap martabat manusia sebagai ens rationalis dengan memilih dasar humanisme yang kukuh, yakni "kemanusiaan yang adil dan beradab"? Dalam suasana suhu politik menghangat -- terutama menjelang pemilu seperti sekarang ini -- tampaknya ens rationalis manusia Indonesia sangat diperlukan. Agar kita bisa menimbang dengan akal sehat, nurani yang jernih, dan bijak. Bukan asal menang sendiri. * Penulis adalah staf pengajar pada STF Driyarkara, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus