Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berhentilah Merokok, Anakku

27 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia termasuk negara dengan jumlah perokok paling tinggi di dunia. Indonesia bersaing dengan Cina dan India, sementara negara-negara lain yang masyarakatnya pernah menyukai rokok kini sudah berpaling.

Sekarang saja setidaknya 244 ribu orang Indonesia meninggal setiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan tembakau, seperti kanker, sakit jantung, dan sakit paru-paru. Sangat banyak anak muda yang merokok dan mereka menjadi sasaran paling empuk industri rokok karena ketidaktahuan akan bahaya merokok. Juga karena iming-iming iklan yang membuat mereka mengidentifikasi diri dengan sesuatu yang gagah, tampan, hebat, dan macho.

Anak-anak muda inilah yang ditargetkan menjadi tulang punggung konsumen industri rokok di masa depan. Mereka berjumlah sekitar 20 persen dari perokok yang berusia 13-15 tahun. Perokok pemula mulai merokok ketika berusia 13 tahun, lalu mereka terjerat dengan wangi rokok yang menyengat. Sesungguhnya, di Asia, kecenderungan anak muda merokok menurun. Di India, misalnya, hanya 4 persen anak muda yang merokok. Vietnam memiliki 3 persen anak muda perokok. Tapi, di Indonesia, jumlah anak muda perokok sangat tinggi, tertinggi di Asia.

Prevalensi perokok yang amat tinggi di negeri ini membuat negara harus segera bertindak. Sementara Bangladesh, India, Australia, Selandia Baru, dan Prancis melangkah maju dengan melahirkan legislasi yang tegas untuk mengurangi konsumsi tembakau serta mengalahkan industri rokok dalam berbagai pertarungan di pengadilan, Indonesia seharusnya juga mengambil langkah yang tegas dan berani. Indonesia harus memutuskan apakah akan membiarkan atau melindungi rakyatnya dari kerugian ekonomi dan kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi tembakau yang hampir tanpa kendali. Adalah kewajiban pemerintah untuk membantu dan melindungi masyarakatnya, terutama anak-anak muda, dari bahaya tembakau agar mereka semua bisa hidup lebih panjang, dalam kondisi yang lebih sehat.

Bukan tak ada kemajuan. Mahkamah Agung beberapa bulan lalu mengabulkan permohonan uji materi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Produksi Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020, yang isinya membolehkan pelipatgandaan produksi rokok sampai 524,2 miliar batang pada 2020. Peraturan Menteri Perindustrian ini bertentangan dengan kebijakan kesehatan yang dicanangkan pemerintah, yang harus ditafsirkan sebagai pengurangan produksi batang rokok secara bertahap.

Syukurlah Mahkamah Agung membatalkan peraturan Menteri Perindustrian yang sangat berpihak pada industri rokok tersebut, walau di balik itu rasionalnya adalah kenaikan cukai yang akan dinikmati negara. Ini satu langkah maju. Kemajuan lain adalah adanya peraturan yang mewajibkan kemasan bungkus rokok menampilkan peringatan tentang bahaya rokok terhadap kesehatan, di samping banyaknya aturan dari pemerintah tentang daerah bebas asap rokok. Masih banyak yang harus dilakukan karena industri rokok punya banyak ruang untuk memperluas "pangsa pasar" dengan memanfaatkan taktik melalui iklan rokok di televisi yang penayangannya sering menyerempet waktu yang dilarang untuk itu.

Di mana-mana, industri rokok (dan tembakau) secara gagah berani melawan kebijakan yang menggerogoti kepentingan bisnis mereka. Sering mereka kalah tapi tetap melawan karena didukung kantong yang tebal. Indonesia tak boleh terintimidasi oleh perlawanan industri rokok. Negara harus hadir melindungi rakyat dari bahaya rokok.

Lihat beberapa contoh yang memberi inspirasi. Pada 2015, Philips Morris Asia Limited kalah dalam pertarungan hukum melawan Australia terkait dengan peraturan kemasan rokok polos yang wajib di negara tersebut. Pada 2016, Mahkamah Agung India memerintahkan industri rokok mematuhi aturan kemasan di India yang mewajibkan adanya peringatan grafis yang menutupi 85 persen kemasan rokok. Dengan demikian, Mahkamah Agung India membatalkan semua tuntutan pelanggaran merek dagang yang diajukan industri rokok. Juga pada 2016, Philips Morris International kalah dalam kasus arbitrase internasional melawan pemerintah Uruguay yang mewajibkan kemasan bungkus polos buat semua industri rokok. Jadi Indonesia harus maju dan hadir melawan industri rokok dan membela kesehatan rakyatnya.

Indonesia harus memilih, jangan terus-menerus berada di persimpangan jalan. Indonesia dapat bergabung dalam gerakan global negara-negara yang memberlakukan kebijakan menghapuskan penetrasi industri rokok yang merusak kesehatan, membuat peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang lebih ketat, serta memenangi perjuangan terhadap keangkuhan industri rokok (dan tembakau). Kalau Indonesia tak memilih, industri rokok yang sangat kaya raya ini dengan semua sekutu di dalam tubuh pemerintah akan melakukan apa saja untuk memperlemah dan membatalkan kebijakan kesehatan yang bertujuan melindungi anak-anak muda, anak-anak dan cucu-cucu kita. Dalam kaitan dengan hal ini, sudah selayaknya pemerintah menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan bekerja bersama Badan Kesehatan Dunia atau WHO membuat langkah-langkah strategis untuk memperkecil ruang bagi industri rokok dan mengutamakan perlindungan kesehatan rakyatnya.

Komitmen ini penting karena industri rokok masih mempunyai hubungan mesra dengan banyak elemen dalam tubuh pemerintah yang menjaga keberlangsungan industri rokok. Sekarang saja kita melihat Rancangan Undang-Undang Pertembakauan masuk Program Legislasi Nasional, yang artinya akan segera dibahas dan kalau bisa diloloskan sebagai undang-undang. Padahal RUU Pertembakauan ini dalam jangka pendek dan jangka panjang pasti menggerus kesehatan rakyat kita. Rasa syukur terhadap keputusan pemerintah untuk tak membahas RUU Pertembakauan layak disampaikan, tapi entah kenapa beberapa hari lalu pemerintah memutuskan RUU Pertembakauan akan dibahas oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

Presiden Joko Widodo, yang diketahui tidak merokok dan pasti tahu bahaya rokok, tampaknya dikepung berbagai kepentingan industri rokok yang masuk melalui banyak pintu. Apa pun alasan rasional pemerintah menyetujui pembahasan RUU Pertembakauan, ini harus ditafsirkan sebagai langkah mundur dalam memperjuangkan kesehatan masyarakat. Kartu Indonesia Sehat tampaknya akan menjadi ironi yang ditanggung oleh niat luhur dikeluarkannya kartu tersebut.

Terlepas dari langkah mundur di DPR, prevalensi merokok di kalangan anak muda harus ditekan secara maksimal. Kita tak boleh menunda ini. Tak ada pilihan buat Presiden Jokowi selain bergabung dengan FCTC karena FCTC memberikan landasan perjuangan dan kerja sama global untuk mengutamakan kesehatan rakyat di atas kepentingan industri rokok.

Sebagai informasi, sampai saat ini sudah 180 negara yang meratifikasi FCTC. DPR juga jangan menjadi tawanan dari industri rokok. Sebab, sebagaimana Presiden, DPR bertugas menekan industri rokok dan mengutamakan kesehatan rakyat. Jangan bersikap hipokrit. Kalaulah DPR hendak melahirkan legislasi, yang dilahirkan adalah legislasi yang melindungi kesehatan rakyat dari bahaya rokok dalam arti luas. Jangan beri ruang bagi industri rokok untuk memakai alasan apa pun buat mengatakan bahwa bahaya rokok itu tidak dahsyat. Jangan berpikir orang tak akan kecanduan. Dan di Indonesia, rokok kretek malah digolongkan sebagai warisan budaya. Ini lagu macam apa?

Sudah waktunya Indonesia bersikap tegas membuat peraturan tentang "zona bebas rokok" di area publik: di perkantoran, rumah makan, hotel, dan sebagainya. Larangan terhadap tayangan iklan dan promosi rokok juga mutlak diberlakukan, termasuk melalui "hibah" yang diberikan kepada olahraga, kesenian, dan lembaga pendidikan. Diserukan juga agar mewajibkan adanya peringatan kesehatan grafis yang lebih besar pada kemasan rokok. Tak kalah penting adalah menaikkan pajak atas rokok. Jangan biarkan industri rokok menikmati pajak yang rendah.

Akhirnya, sekali lagi harus ditekankan mutlaknya Indonesia bergabung dalam gerakan global yang lebih mengutamakan kesehatan rakyat, lebih menjaga masa depan anak-anak muda dari serbuan industri rokok dan tembakau. Janji untuk meratifikasi FCTC harus segera dilaksanakan meski pendukung setia industri rokok dalam tubuh pemerintah akan menghalangi. Presiden Jokowi, yang tidak merokok, seharusnya juga berkampanye bahwa anak-anak muda mesti mengikuti jejaknya untuk tidak merokok. Sebab, Presiden Jokowi pasti mencintai anak-anak muda.

Bapak Presiden, katakan kepada anak-anak muda itu: "Berhentilah merokok, anak-anakku...."

Todung Mulya Lubis
Anggota Dewan Penasihat Komisi Nasional
Pengendalian Tembakau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus