Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rekonstruksi Palu Berbasis Alam

Getaran gempa bumi bermagnitudo 7,4 telah membangkitkan bencana susulan tsunami, tanah longsor, dan likuefaksi yang melanda Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah.

16 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rekonstruksi Palu Berbasis Alam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nirwono Joga
Kemitraan Kota Hijau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Getaran gempa bumi bermagnitudo 7,4 telah membangkitkan bencana susulan tsunami, tanah longsor, dan likuefaksi yang melanda Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Patut dicatat bahwa banyaknya korban tewas lebih diakibatkan tertimpa reruntuhan bangunan atau terjebak dalam bangunan roboh karena tidak tahan gempa dan terjangan tsunami.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merujuk dari dampak gempa dan tsunami, Palu harus menjadi kota tangguh bencana berbasis alam. Kota tangguh bencana dirancang dapat bertahan terhadap guncangan tanpa gangguan permanen atau gagal fungsi. Kota itu memiliki kecenderungan untuk memulihkan diri atau menyesuaikan secara mudah terhadap perubahan mendadak atau kenahasan.

Kota dirancang dengan skenario jika dalam kondisi terburuk. Bayangkan bila jaringan listrik padam, jalur telekomunikasi lumpuh, infrastruktur jalan terputus, ketiadaan air bersih, dan bangunan hancur. Pendek kata, kota dalam keadaan lumpuh dan terisolasi.

Rekonstruksi dan rehabilitasi kota perlu diselaraskan dengan kondisi alam lokal. Jejak jalur gempa pada lokasi reruntuhan terparah menandakan kawasan masuk zona berbahaya untuk hunian dan permukiman. Tsunami yang menyapu kawasan tepi pantai dan teluk mempertegas batas wilayah aman dari terjangan tsunami.

Rencana tata ruang dan wilayah Kota Palu dievaluasi, direvisi, dan dibandingkan dengan data kerusakan di lapangan dan kajian geologis peta rawan bencana kota terbaru pascagempa. Rencana tata kota baru harus menggambarkan upaya antisipasi (pencegahan terjadinya bencana), mitigasi (pengurangan risiko bencana), dan adaptasi (penyesuaian terhadap perubahan bencana).

Kawasan Teluk Palu dan pantai yang terkena dampak tsunami harus bebas bangunan dengan jarak aman dari bibir pantai minimal 200-500 meter berupa ruang terbuka hijau (RTH) hutan mangrove, hutan pantai, dan taman. RTH berfungsi meredam tsunami, menahan abrasi, memperbaiki kualitas lingkungan, seperti ketersediaan air bersih, udara segar, dan habitat satwa liar.

Kawasan pantai dibatasi jalan raya lebar yang berfungsi sebagai jalur evakuasi bencana, lalu lintas kendaraan berat, dan landasan pacu darurat. Jalur evakuasi dilengkapi rambu, marka, papan petunjuk, sirene maupun tanda peringatan tradisional (misalnya kentongan), dan lampu penerang jalan bertenaga surya.

Pada sisi jalan yang menghadap pantai dalam jarak aman, kawasan dataran rendah yang terkena dampak ringan-sedang ditata ulang. Tim audit cepat bangunan dilakukan untuk memastikan prioritas penanganan bangunan rusak ringan/sedang/berat. Bangunan yang sudah runtuh segera dibersihkan. Bangunan dalam kondisi baik, aman, dan layak pakai dipugar agar dapat ditempati kembali warga (dari pengungsian dan pemulihan trauma).

Reruntuhan bangunan yang masih layak pakai didaur ulang dan digunakan kembali untuk membangun rumah dengan cepat. Teknik ini pernah diterapkan saat rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan pascagempa di Yogyakarta.

Pembangunan kembali perumahan menerapkan standar bangunan tahan gempa yang dikembangkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, seperti rumah instan sehat sederhana (Risha), dan perguruan tinggi (lokal) serta mempertimbangkan kearifan lokal dan arsitektur tradisional yang terbukti tahan gempa dan ramah lingkungan.

Pengerahan tenaga konstruksi dan komunitas, didampingi akademikus dan asosiasi profesi terkait, yang semuanya berasal dari daerah itu dan sekitarnya, mendampingi pembangunan rumah warga. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan program rekonstruksi dan rehabilitasi.

Kawasan dikembangkan untuk peruntukan komersial dan perkantoran dengan gedung-gedung bertingkat yang wajib memenuhi standar tahan gempa yang ketat dan menyediakan tempat evakuasi bencana (jika terjadi tsunami).

Permukiman dan kantor pemerintahan dikembangkan ke dataran tinggi atau kawasan perbukitan yang dinilai lebih aman, yang mensyaratkan bangunan standar tahan gempa dan RTH minimal 30 persen setiap kaveling bangunan. Kawasan dilengkapi jalan sebagai jalur evakuasi, lapangan olahraga (posko pengungsian), dan taman-taman (tempat evakuasi).

Masyarakat dibangun budaya sadar bencana, paham jenis kebencanaan, dan siap hidup di lokasi rentan bencana. Mereka harus tahu bagaimana menyelamatkan diri dan bertahan pascabencana melalui latihan simulasi rutin serta tangguh untuk segera bangkit memulihkan diri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus