Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBABATAN liar hutan di Provinsi Riau jelas merupakan tragedi dalam sejarah kehutanan negeri ini. Angka kerusakan hutan di provinsi yang separuh wilayahnya merupakan hutan alam itu sungguh pantas masuk "museum rekor keprihatinan Indonesia". Bayangkan, dalam waktu enam tahun sampai 2006, hutan Riau telah menghilang hampir satu juta hektare—kira-kira setengah luas Kota Depok. Kerusakan ekosistem tak terperi. Kerugian ditaksir mencapai Rp 2.000 triliun atau hampir dua kali total anggaran republik ini setahun. Maka rencana Kementerian Lingkungan Hidup menggugat perdata 14 perusahaan yang diduga menebang kayu secara liar di Riau mesti secepatnya dilaksanakan.
Banyak alasan menjalankan gugatan terhadap perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan kelompok konglomerat Sinar Mas dan Raja Garuda Mas itu. Sejumlah perusahaan milik dua konglomerasi tersebut patut diduga bertanggung jawab atas rusaknya hutan serta punahnya satwa dan pohon langka yang tak ternilai. Alasan terpenting, tiga pejabat kehutanan Riau sudah diputus bersalah dan terkena hukuman penjara—seorang bupati sedang diadili dan satu lagi menjadi tersangka—tapi aparat hukum belum menyeret satu pun perusahaan pelaku pembabatan liar ke pengadilan.
Ketidakadilan yang nyata ini perlu "ditebus" Kementerian Lingkungan Hidup kendati lewat jalur "melingkar" melalui pengadilan perdata. Upaya hukum itu penting untuk menguji keputusan Kepala Kepolisian Daerah Riau—saat itu dijabat Brigadir Jenderal Hadiatmoko—yang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada akhir 2008 untuk perusahaan yang diduga terlibat. Kementerian Lingkungan Hidup tak perlu ragu menjalankan rekomendasi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum untuk menggugat perdata. Apalagi data kasus ini telah lama dikumpulkan Koalisi Anti Mafia Hutan, yang kemudian meneruskannya kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tahun lalu.
Pengadilan perdata juga perlu untuk membuat kasus perusakan hutan Riau ini tidak segera masuk "peti es". Maklum, upaya hukum pidana sebelum ini seakan-akan terhadang tembok kokoh. Permintaan Satgas untuk membatalkan SP3 kepada Kepala Kepolisian RI, sebagai contoh, tak kunjung berjawab.
Apalagi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan gugatan perdata memiliki dasar yang kuat. Landasan hukum itu adalah Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Jelas diatur, instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup itu bertindak untuk kepentingan masyarakat jika perusakan lingkungan hidup terjadi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat. Dasar hukum itu dilengkapi dengan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 32/2009 yang mengatur gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Tentu Kementerian Lingkungan Hidup perlu berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan, yang tiga pejabatnya di Riau telah menjalani hukuman atas terbitnya sejumlah izin yang menyalahi prosedur. Bila koordinasi tak jalan, pimpinan kabinet mesti turun tangan demi mengupayakan keadilan atas kerusakan hutan Riau. Kalau usaha ini juga gagal, kasus-kasus pembalakan liar selama era otonomi daerah akan semakin merajalela. Kerusakan hutan, yang diperkirakan telah membuat 10 juta hektare hutan di Indonesia lenyap sejak 1999, niscaya akan semakin dahsyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo