Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSIMPATI pada derita wong cilik itu penting. Tapi, kalau semua perangkat kerjanya berjalan normal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak perlu repot-repot menerima para korban lumpur Lapindo di Istana Negara. Tujuh menteri kabinet telah ditugasi untuk menanggulangi kasus ini. Di antaranya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, dan Menteri Negara BUMN Sugiharto. Ini di luar pejabat setingkat Kepala Badan Intelijen Negara hingga Gubernur Jawa Timur.
Dua organisasi berlevel nasional telah pula dibentuk Presiden sejak pemerintah mengambil alih urusan bencana lumpur pada 9 September 2006. Pertama, Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Gagal bekerja dalam tujuh bulan, Tim kemudian digantikan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang dibentuk pada 8 April lalu.
Dengan perangkat pembantu dan organisasi sebanyak ini, mestinya korban Lapindo sudah ditangani dengan baik. Kalau semua sistem berjalan, korban tidak perlu jauh-jauh datang ke Jakarta untuk menuntut ganti rugi seratus persen. Keberatan korban Lapindo atas formulasi pembayaran bertahap cukup disalurkan lewat saluran birokrasi yang sudah tersedia. Tidak perlu berdemo, menginap di bawah langit terbuka, dan menuntut bertemu dengan Kepala Negara.
Justru di sinilah Presiden harus mampu menunjukkan diri sebagai chief of the cabinet yang mampu menentukan prioritas secara tegas dan efektif. Dia dapat segera memerintahkan perangkat pembantunya menjemput masalah di lapangan-bukan menunggu pendemo datang-membuka dialog, serta mencarikan solusi yang terbaik.
Dengan mendelegasikan wewenang, Presiden bisa berkonsentrasi pada begitu banyak tugas negara dan pemerintahan lainnya. Dialog dengan warga Porong di sebuah tempat sepenting Istana Negara bisa menimbulkan pertanyaan sekaligus syak dari warga di berbagai wilayah Indonesia lain yang juga dilanda bencana. Mereka tidak kurang menderitanya dari korban bencana Lapindo. Jadi mengapa Presiden-yang didahului oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada hari yang sama-terkesan begitu mengutamakan para korban lumpur? Seolah ada "perlombaan" di tingkat elite birokrasi untuk menunjukkan perhatian kepada korban Lapindo.
Kita tahu, Menteri Aburizal Bakrie, salah satu pembantu Presiden, memiliki kaitan tidak langsung dengan perusahaan tersebut. Keluarga Bakrie adalah pemilik Lapindo Brantas Inc., operator pengeboran di Blok Brantas-tempat semburan lumpur terjadi. Di sini, Presiden justru harus menugasi Aburizal agar benar-benar serius menangani korban dan tidak timbul kesan korban ditelantarkan pemerintah. Dengan turun tangan langsung menerima korban, kesan kuat yang tercipta adalah pemimpin negara kurang mampu mendesak pembantunya untuk bertanggung jawab dalam kasus ini.
Sebagai warga negara, penduduk Porong memang sepenuhnya berhak meminta bantuan negara untuk memulihkan hak hidup mereka yang telah dirampas oleh bencana lumpur. Kami menganjurkan Presiden menghidupkan semua sistem penanganan kasus lumpur Lapindo. Para menteri dan pejabat yang telah diberi wewenang perlu didesak untuk lebih menunjukkan hasil dalam kerja mereka menangani korban yang telah menderita selama setahun.
Kasus Lapindo memang salah satu ujian berat bagi kinerja kabinet SBY. Yang dibutuhkan penanganan menyeluruh-yang tentu saja jauh lebih sulit dibanding sekadar seremoni dialog di Istana Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo