Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Muda

Muda dianggap durung Jawa, ketika “Jawa” secara kolektif-kultural direpresentasikan sebagai kematangan, keluhuran, atau kesalehan.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Muda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH dari 14 anggota staf khusus Presiden Joko Widodo adalah generasi milenial usia 23-36 tahun. Harian Kompas edisi 22 November 2019 menulis, pengangkatan generasi milenial ini dilakukan karena pemerintah membutuhkan gagasan segar dan inovatif. “Ketujuh anak muda ini akan menjadi teman diskusi saya,” ujar Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial Koran Tempo edisi 26 November 2019 menyebutkan, tujuh orang berusia di bawah 40 tahun itu tak lebih dari etalase politik untuk menunjukkan bahwa Jokowi presiden milenial. Terlepas dari persoalan sekumpulan pemuda ini tak punya cukup taring untuk mengambil keputusan, kita meyakini pemilihan sekumpulan pemuda itu menjadi antitesis dari kekakuan birokrasi dan mereka yang enggan berubah--untuk tak menyebut perlawanan terhadap golongan sepuh. Politik di tangan Jokowi menjadi bertabur orang muda. Mereka memangkas birokrasi, menonton dan menggelar konser, memakai baju dan sepatu kasual, serta menunggangi chopper. Politik adalah kegembiraan bagi kaum muda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan memilih mereka, Jokowi telah merawat persepsi publik ihwal kaum muda sebagai “agen perubahan”. Jokowi berupaya menyentuh transformasi dalam dimensi keyakinan bahwa senioritas bukanlah ukuran kualitas dan tumpuan perubahan. Tujuh orang ini pemuda sukses, generasi 4.0, dan pendobrak perubahan. Kaum muda harus menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada bangsa dengan mengembalikan politik ke khitahnya. Demikianlah lamat-lamat pesan yang hendak dilontarkan lewat simbol itu.

Lebih dari sekadar kriteria usia, kawula muda mereaksikan sikap kejiwaan. Muda, mungkin juga karena keinginan coba-coba, mengetengahkan kebaruan cara pandang yang memutuskan hubungan dengan tradisi jahiliah masa lalu dengan keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Tak mengherankan jika narasi sejarah bangsa ini adalah juga narasi pergerakan pemudanya.

Istilah “kaum muda” pertama kali ditawarkan Abdul Rivai dalam tulisannya di Bintang Hindia (1905). Rifai mendefinisikan frasa itu sebagai seluruh rakyat Hindia/Indonesia (muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno. Kawula muda adalah mereka yang berkehendak memuliakan diri melalui pengetahuan dan ilmu. Sejak itu, istilah ini segera menjadi kode esensial yang digunakan secara kolektif dan ambisius untuk memperbarui nasib masyarakat Hindia/Indonesia melalui kemajuan akal.

Setelah itu, gerakan yang dipelopori pemuda menjadi tak terbendung. Kita mengingat pemuda-pemuda STOVIA yang memelopori gerakan kultural Budi Utomo pada 1908, pemuda jebolan sekolah modern yang mengembangkan Sarekat Islam (1912), kemunculan partai-partai politik nasional sejak 1920-an, Sumpah Pemuda (1928), hingga kemerdekaan pada 1945 yang diistilahkan Ben Anderson sebagai “revolusi pemuda”.

Namun muda juga perihal belum genap, ganjil, dan “yang kedua”--sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai muda. Dalam pupuh pangkur Serat Wedhatama, Mangkunegara IV (1811-1881) memberikan kritik. Pemuda adalah mereka yang serba kurang: nalare ting saluwir (nalar yang belum genap), gumrenggeng anggung gumrunggung (banyak omong besar dan terlalu lantang), dan paksa kumaki (memaksa dan sombong). Kamus Bausastra (W.J.S. Poerwadarminta, 1939) bahkan secara tegas memaknai mudha sebagai “bodho” (bodoh).

Kebudayaan Jawa merekam bahwa masa muda mengandung persoalan kompleks. Mereka dianggap durung Jawa, ketika “Jawa” secara kolektif-kultural direpresentasikan sebagai kematangan, keluhuran, atau kesalehan. Maka akan ada ungkapan “muda kurang tata” (muda kurang taat aturan) atau “bocah enom ngerti apa, wong durung nglakoni” (anak muda tahu apa, toh belum pernah menjalani)”. Tapi sejarah mencatat dari situlah revolusi selalu bermula. Kisah Ken Arok, Lokajaya (Sunan Kalijaga), dan Suryomentaram di Jawa adalah heroisme pemuda. Arok, pemuda yang gemar berkelahi, menjadi tempat berlindung para brahmana yang berselisih dengan Kertajaya, Raja Kadiri. Lokajaya muda mengambil harta orang tuanya untuk dibagikan kepada kaum papa. Suryomentaram pergi dari istana karena gelisah melihat ketimpangan yang begitu nyata.

Maka, dalam aras ini, sesungguhnya kaum muda lekat dengan ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction)--atau, katakanlah, sikap coba-coba--atas pelbagai hal yang dijalani. Kreativitas itu, seperti diungkapkan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), berfundamen kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko. Lagi-lagi itu diniatkan sebagai laku mendekonstruksi bangunan lama demi rancangan baru yang lebih baik.

Menarik para pemuda menjadi bagian kekuasaan adalah pilihan tepat. Tapi tak memberikan ruang bagi mereka untuk kreatif dan mengambil keputusan, apalagi sekadar menjadikan mereka sebagai kosmetik politik, sesungguhnya menodai sejarah bangsa yang terekam dalam bahasa kita.

DHONI ZUSTIYANTORO, DOSEN SASTRA JAWA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus