Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Gus Dur Setelah Satu Dekade

Banyak orang dan kelompok masyarakat meneruskan ajaran Abdurrahman Wahid mengenai toleransi dan pluralisme. Teladan bagi Republik.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelajaran dari Uighur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bapak pluralisme yang membela kelompok minoritas, seperti keturunan Cina dan kaum muslim Ahmadiyyah.

  • Keempat putrinya meneruskwan ajaran Gus Dur lewat The Wahid Institute dan Jaringan Gusdurian.

  • Mereka aktif menyebarkan paham toleransi, pluralisme, Islam yang damai, dialog lintas agama, anti-hoaks, dan anti-korupsi.

DALAM obituarinya, orang menyebut dia sebagai bapak pluralisme karena berani dan konsisten membela kelompok minoritas, seperti keturunan Cina dan kaum muslim Ahmadiyah. Itulah warisan tak ternilai dari Abdurrahman Wahid, yang biasa disapa Gus Dur, kepada republik ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warisan itu kini dirawat oleh empat putrinya: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Lewat The Wahid Institute dan Jaringan Gusdurian, jaringan luas masyarakat pendukung ajaran-ajaran Gus Dur, mereka aktif menyebarkan paham toleransi, pluralisme, dan Islam yang damai; menggelar dialog lintas agama, dan bahkan isu mutakhir seperti antikorupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semasa hidupnya, Gus Dur tidak sekadar bicara soal demokrasi atau toleransi. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy'ari, ini mempraktikkannya langsung dalam kehidupan sehari-hari. Tak lama setelah dilantik sebagai presiden pada 1999, ia menghadiri perjamuan Natal di Jakarta dan berpidato tentang perlunya bersaudara dengan orang yang berbeda agama. Itu terjadi ketika isu pengharaman atas perayaan Natal bagi muslim telah merebak.

Ketika menjadi Ketua Umum Pengurus Besar NU, dialah yang pertama kali memerintahkan Barisan Serbaguna Gerakan Pemuda Ansor atau Banser menjaga gereja-gereja di malam Natal. Bila melihat sikap Gus Dur yang menyejukkan seperti itu, kita patut bertanya mengapa masih ada ulama NU yang malah mengeluarkan imbauan agar pejabat pemerintah tak memakai salam pembuka semua agama dalam berpidato.

Di masa kepresidenan Gus Dur, Konghucu diakui sebagai agama dan Imlek menjadi hari libur nasional. Dialah presiden dan ulama pertama yang meminta maaf atas kekerasan antikomunis pada 1965. Dia pula yang mengembalikan nama Papua, yang selama Orde Baru disebut sebagai Irian Jaya, dan tak melarang pengibaran bendera Bintang Kejora milik rakyat Papua.

Di tengah krisis kepemimpinan dan keteladanan politik seperti sekarang, sosok seperti Gus Dur menjadi harapan banyak orang. Pandangan dan sikapnya kini makin relevan ketika intoleransi dan diskriminasi makin meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2019, sebanyak 20 dari 34 provinsi mengalami penurunan kebebasan berkeyakinan. Hasil penelitian Wahid Institute juga menunjukkan kenaikan pelanggaran kebebasan berkeyakinan dan beragama, dari 265 kasus pada 2017 menjadi 276 pada 2018.

Kita juga risau karena kalangan ulama justru sering memicu sikap intoleran. Dipimpin oleh Ma’ruf Amin, Majelis Ulama Indonesia bahkan pernah mengeluarkan berbagai seruan, seperti fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah pada 2008 serta fatwa tentang muatan penistaan Al-Quran dan ulama dalam pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2016. Beberapa fatwa MUI juga mendorong diskriminasi terhadap kelompok-kelompok rentan, seperti perempuan serta lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Gus Dur tentu bukan orang yang sempurna. Namanya dulu sempat terseret dalam skandal “Buloggate”: tukang pijitnya, Soewondo, terbukti terlibat korupsi dana Yayasan Bina Sejahtera Badan Urusan Logistik senilai Rp 35 miliar. Dalam skandal “Bruneigate”, Gus Dur dituding menyalahgunakan sumbangan dana dari Sultan Brunei. Keterlibatan Gus Dur tak pernah terbukti secara hukum, tapi dua isu itu telanjur dimanfaatkan lawan politik sehingga akhirnya dia harus lengser.

Pemimpin yang berhasil akan dinilai dari penerimaan publik setelah dia tiada, bukan dari puja-puji pendukungnya ketika dia masih berkuasa. Gus Dur telah menjadi contoh nyata figur presiden yang tetap dicintai rakyat setelah dia tidak ada lagi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus