KETUT Widuwati, 20 tahun, kaget. Ia ditolak tatkala akan masuk kerja kembali setelah libur selama hari raya Galungan. Ternyata, bersama 19 rekannya ia dipecat dari perusahaan garmen PT Jehnsen, Kuta, Denpasar, tempatnya bekerja selama 2 tahun terakhir. Alasannya: mereka dianggap melanggar disiplin kerja. Sesuai dengan peraturan daerah, pada hari raya Galungan akhir Januari silam PT Jehnsen meliburkan karyawannya selama 3 hari. Ternyata, Ketut Widuwati memperpanjang liburnya selama 2 hari, sebab, "Di kampung kan masih sibuk hari raya." Dan Widuwati ternyata tidak sendirian. Karena itulah mereka di-PHK-kan. Meski diberi pesangon 3 bulan gaji, Widuwati menggugat. Ia merasa tidak pernah diperingatkan sebelumnya. Namun, Jehnsen, 35 tahun, pemilik perusahaan yang berdiri sejak 1972 itu, mengaku sudah berkali-kali menegur karyawannya. Toh kejadian serupa acap kali berulang. Akibatnya, pengiriman barang terlambat. Dan itu merugikan perusahaan. Sesuai dengan SK Gubernur 31 Desember 1988, selain 12 hari libur nasional pada 1989 ini, orang Bali mendapat libur khusus selama 11 hari untuk ibadat. Tapi selain itu ada berbagai upacara yang wajib dihadiri orang Bali, seperti rerainan yang dilakukan setahun sekali di tiap pura. Juga ada otonan (ulang tahun) anak, lalu ada gotong roylng di hanjar. Semua itu ada kaitannya dengan adat. Kasus PT Jehnsen telah mengangkat persoalan yang telah lama membara: benarkah banyaknya kewajiban adat masyarakat Bali menghambat produktivitas mereka? Fraksi Karya Pembangunan DPRD Bali keberatan dengan alasan pemecatan Widuwati dkk., yang dikaitkan dengan banyaknya hari libur keagamaan bagi orang Bali. "Karena adat yang kuat itulah turis datang kemari," ujar Ketua F-KP Bali, A.A. Ngurah Manik Parasara. Fraksi terbesar itu juga tidak setuju bila hal itu dijadikan alasan untuk mendatangkan tenaga kerja luar pulau. Misalnya, untuk proyek perluasan bandara Ngurah Rai di Denpasar yang menelan dana Rp 83 milyar itu. "Janganlah orang Bali yang banyak libur karena rerainan (upacara) selalu dibesar-besarkan dan dijadikan alasan mendatangkan pekerja dari luar, sementara tenaga kerja lokal diabaikan," ujar juru bicara FKP Bali Drs. Ida Bagus Gunadha, dalam sidang pleno DPRD Bali tiga pekan lalu. Proyek Perluasan Banda Nurah Rai itu akan dimulai Juli 1989. Sebuah sumber TEMPO di bandara mengatakan, memang ada rencana mendatangkan 1.500 tenaga kerja dari Banyuwangi dan sekitarnya. Alasannya, kata Drs. Zayadi, Kakanwil Departemen Tenaga Kerja Bali, menjadi tukang gali tanah, tukang batu, dan pekerjaan kasar lainnya di bandara itu tak disukai orang Bali. Apalagi dengan upah cuma Rp 1.500 sehari. Saya kira orang Bali lebih suka mengukir dan menyablon. Orang Bali itu kreasinya tinggi, jadi tak akan tergeser tenaga kerja dari Jawa itu," tutur Zayadi lagi. Zayadi mungkin benar. Hanya, yang dikhawatirkan Pemda Bali adalah dampak sosial di masa depan. Seperti pengalaman dari pembangunan wilayah wisata Nusa Dua pada 1978. Setelah proyek usai, sebagian besar tenaga kerja asal Jawa itu menetap secara liar di Nusa Dua. Ada yang jualan bakso, jadi buruh kasar, atau jadi WTS. Maka, pagi-pagi Pemda Bali perlu memberi peringatan. "Kalau proyek selesai, semua tenaga kerja itu harus dipulangkan ke Jawa," kata Kahumas Pemda Bali Ida Bagus Pangjaya. Kasus PT Jehnsen sampai sekarang masih menunggu penyelesaian Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Pusat. Pasalnya, berbagai pihak yang tersangkut mengemukakan alasan berbeda-beda. Seharusnya. soal-soal semacam ini bisa dihindari, "kalau perusahaan sudah mempunyai kesepakatan kerja bersama," ujar Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara. Toriq Hadad, Joko Daryanto, dan I N. Wedja (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini