Salat dalam Pesawat: Buka Pintu Ijtihad, tak Persulit Umat Sah tidaknya salat di pesawat (TEMPO, 24 November 1989, Agama) mendorong saya untuk membuat komentar ini. Sebab, salat merupakan ibadah yang waktunya tertentu. Saya tidak tahu dalil yang sahih untuk mendukung pendapat "salat untuk menghormati waktu, yang kemudian akan diulang lagi bila kondisinya telah dianggap sah". Padahal, itu sudah di luar waktunya. Satu contoh, penerbangan malam hari dari Jakarta, yang akan tiba pagi hari di Tokyo. Kalau salat di pesawat dinilai tidak sah, sudah pasti kita kehilangan salat subuh. Memang, kita masih bisa berwudu di dalam pesawat. Namun jelas, kita tidak dapat menghadap kiblat. Sementara itu, tidak ada dalil sahih untuk salat qadla. Dalam kondisi tak memungkinkan untuk menghadap ke kiblat, ada dalil dalam Al Baqarah 115. Ini merupakan pegangan yang paling sahih. Khususnya, dalam kondisi masa kini yang memungkinkan manusia tak lagi berpijak di atas bumi, entah di pesawat terbang atau pesawat antariksa bila ingin berkunjung ke planet tetangga. Di dalam pesawat antariksa, ada kemungkinan memutar tubuh menghadap bumi. Sampai saat ini memang baru bila ada seorang muslim yang punya kesempatan terbang ke angkasa. Tapi, bila kelak di kemudian hari, ada astronot muslim berkesempatan mendarat di bulan atau planet lain, tidaklah perlu harus memandang langit menghadap bumi. Tayamun dalam Al Quran dan Al Hadist disebutkan menggunakan shaid (tanah/bagian permukaan bumi). Bila kita tidak memperoleh air atau debu (dalam pengertian konvensional) mungkinkah kita berijtihad untuk menyentuh benda apa pun yang berasal dari permukaan bumi, seperti logam, kayu, atau benda lain termasuk salju? Soal ini saya serahkan kepada para fuqaha. Tentang penentuan waktu salat ketika berada di ketinggian, tentu, tak bisa mengacu pada jadwal di permukaan bumi. Fajar atau matahari terbit akan tampak lebih awal. Kalaupun di pesawat terbang diadakan adzan, semestinya mengacu pada waktu lokal (di pesawat). Namun, dengan salat jama', jelas, batas waktu antara dhuhur dan ashar serta antara magrib dan isya tidak diperlukan lagi. Islam memberi kemudahan untuk menentukan waktu ibadah (baik salat maupun puasa). Misalnya, dengan melihat langsung tanda-tanda (ru'yat). Dapat pula dihitung (hisab) dengan formulasi matematis yang sesuai dengan ru'yat. Di sini, jam lebih berperan. Lebih-lebih dalam kondisi kita tidak mengenal adanya malam dan siang secara normal. Secara umum, saya ingin menyampaikan kepada para mujtahid untuk membuka pintu ijtihad lebih luas hingga tidak mempersulit umat. Sebaiknya tak ada kata final dalam berijtihad. Para imam besar dulu berijtihad sesuai dengan zamannya. Rasanya, kita tak akan dapat mengikuti perkembangan zaman kalau ijtihad kita masih terpaku kukuh pada kitab-kitab lama. Bukankah Al Quran dan As-Sunnah pegangan pokok kita. T. DJAMALUDDIN Dept. of Astronomy Kyoto Univ. Sakyo-ku, Kyoto 606 Japan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini