SETELAH semua pidato berakhir ia berdiri dan berkata "hanya dua hal yang ingin selalu saya ingat." Pertama, "mendapat anugerah janganlah menjadikan diri takabur" ungkapan yang ditemukannya dalam Arjuna Wiwaha. Kedua, "menerima pujian tak apa-apa, selama pujian itu tidak menyebabkan kita mabuk." Prof. Sartono Kartodirdjo memang "tak takabur" dan selalu menjaga diri agar "tak mabuk". Semua itu dilakukannya dengan berkarya tanpa henti. Semua itu dijalankannya dengan hasrat mencari jawab terhadap pertanyaan akademis yang selalu mengusiknya. Semua itu dllakukannya untuk menemukan pemecahan terhadap keprihatinan kecendekiaan yang selalu menghantuinya. Karena itu, karya-karya Sartono tak pernah dilanda penyakit "antikuaritisme" (segala sesuatu telah selesai setelah kepuasan didapatkan) dan terlepas pula dari suasana menara gading. Keprihatinan intelektualnya telah memungkinkannya merumuskan pertanyaan-pertanyaan akademis. Keterikatan yang keras terhadap konvensi dan etika akademis bukan saja menyebabkannya dapat menghasilkan karya-karya ilmiah bermutu tinggi, tetapi juga mempunyai nilai inspiratif. Karyanya menggugah kesadaran dan memancing pertanyaan baru. Apa yang telah diberikan Sartono? Ia adalah "sejarawan formal" pertama. Ia doktorandus pertama yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia dalam ilmu sejarah, dan peraih gelar doktor pertama tentang sejarah Indonesia. Karena "hobi" sejarah mencatat segala yang serba pertama, kenyataan faktual yang sederhana ini saja telah bisa menyebabkan Sartono "tercatat dalam sejarah". Apalagi ia adalah peletak landasan historiografi modern Indonesia, dan pelopor pendekatan multidimensional terhadap sejarah. Barangkali tak ada yang akan membantah bahwa sejarah sebagai pengetahuan tentang hari lampau yang ingin menangkap corak perjalanan waktu yang dialami masyarakat merupakan salah satu cara ke arah pembentukan bangsa dan integrasi nasional. Sebab, hanya dari sejarah hikmah dan makna pengalaman dan perjuangan bisa ditarik. Hal ini pernah menjadi pemikiran kaum terpelajar dan para pemimpin Indonesia. Setelah Soekarno tampil dengan trilogi sejarahnya -- masa lalu yang gemilang, masa kini yang gelap, dan masa depan penuh harapan -- apa lagi yang bisa jadi pegangan? Betapapun inspiratifnya, trilogi itu tak lebih daripada refleksi ideologis terhadap sejarah. Ia tidak memberikan informasi apa-apa tentang masa lalu yang konon "gemilang itu", bahkan juga tidak tentang masa kini yang "gelap". Kalau begitu, barangkali Muhammad Yamin benar juga, ketika ia (dan lain-lain) tampil dengan gagasan akan keharusan penulisan sejarah "Indonesia sentris" sebagai pengganti sejarah kolonial yang "Neerlando sentris". Apakah ini hanya pembalikan moral saja? Dari "pemberontak" seperti disebut Belanda, menjadi "pahlawan" di hati kita. Atau, barangkali lebih dari sekadar itu. Perspektif sejarah yang baru harus ditemukan. Dari sejarah "yang dilihat dari dek kapal dan jendela loji-loji" (seperti ejekan Van Leur terhadap sejarah kolonial) menjadi sejarah yang dilihat dari "dalam". Masalahnya tak habis di situ. Bagaimana dengan kecenderungan regio-sentrisme yang cukup riil, sementara Indonesia-sentrisme masih sesuatu yang harus dirumuskan? Coba lihat the body of knowledge dari sejarah Indonesia. Bukankah terpenggal-penggal? Kata seorang ilmuwan, zaman kuno seakan-akan milik para arkeolog, zaman Islam kepunyaan para filolog, dan zaman kolonial merupakan monopoli para arkivaris. Perdebatan bisa diteruskan, pencarian bisa berlanjut, tetapi situasi politik menghentikan semuanya. Demokrasi Terpimpin bukan suasana yang memberikan keleluasaan bagi pencarian intelektual. Dialog adalah suatu ketidakpantasan, sedangkan "komando" adalah suatu kewajaran. Dalam suasana hijrah kecendekiaan itulah usaha ke arah penulisan sejarah empiris yang kritis mulai dirintis. Dari sejarah sebagai medan perdebatan tentang nilai dan makna peralihan ke arah sejarah sebagai usaha untuk merekonstruksikan hari lampau mulai diusahakan. Kematangan usaha ini tercapai dengan terbitnya buku Sartono tentang pemberontakan Cilegon pada 1888. Buku yang terbit pada 1966 itu bukan saja memberi Sartono judicium cum laude di Universitas Kota Praja Amsterdam, tetapi juga meletakkan landasan baru bagi perkembangan ilmu sejarah kritis di Indonesia. Sartono tidak mengambil "peristiwa besar" dan "orang besar" sebagai sasaran studinya. Biar Karl Marx mengejek bahwa sejarah Asia hanyalah rentetan kisah tentang turun naiknya raja, Sartono justru mencurahkan perhatian pada para petani yang bergumul dengan kenyataan bahwa dunia mereka sedang diancam oleh kekuatan luar. Sebagai sejarawan, ia mencoba sejauh mungkin mengadakan hubungan yang akrab dengan sasaran penelitiannya. Di samping keterampllan teknis tinggi -- ketika sumber harus diteliti secara kritis dan di saat kronikel tentang apa, siapa, di mana dan apabila harus dipastikan -- diperlukan pula wawasan teori yang luas. Dengan inilah situasi "bagaimana" dapat direkonstruksikan dan keterangan "mengapa" bisa diberikan. Tak kurang penting adalah kemampuan menangkap suasana hati para aktor sejarah itu. Yang ingin diperlihatkan Sartono tidaklah sekadar corak struktur sosial-ekonomis dan politik suatu lokalitas tertentu yang telah menghasilkan suatu pola tindakan tertentu pula. Ia ingin memperlihatkan bagaimana kesadaran kultural, memantulkan dirinya dalam pola tindakan. Buku ini merupakan salah satu puncak dari karier Sartono sebagai ilmuwan. Pada studi-studi selanjutnya, baik berupa usaha rekonstruksi sejarah maupun yang bercorak esei-esei teori dan metodologi ilmiah, Sartono tak pernah lupa memperlihatkan bahwa sejarah tidak sekadar kisah tentang proses, tetapi juga menyangkut struktur. Peristiwa sejarah bisa dipahami jika diletakkan di atas "pentas sejarah", dan pengenalan terhadap pentas inilah yang merupakan struktur. Dengan tinjauan mendalam terhadap struktur dan pemahaman terhadap "kesadaran sejarah", sebagai landasan subyektif dari pola peri laku para aktor, studi-studi Sartono akhirnya tidak sekadar menunjukkan betapa keduanya menghasilkan "peristiwa", tetapi terutama pola hubungan antara struktur, etos (yang menjadi landasan motivasi), dan peri laku sejarah. Dengan begini hubungan sebab-akibat haruslah dilihat dari keseluruhan rekonstruksi sejarah. Akibat pendekatan ini ialah peralihan perhatian dari sejarah politik kepada sejarah masyarakat. Pendekatan sejarah menjadi bersifat multidimensional. Maka, ilmu sejarah pun makin berani memasuki dunia ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan lainnya. Betapapun uniknya suatu peristiwa, ia tak akan dapat dimengerti tanpa referensi kepada hal-hal yang bersifat generasi. Studi Sartono memperlihatkan bahwa "sejarawan" hanya mungkin menjadi sejarawan jika ia selalu mempertahankan integritasnya. Sejarah hanya bisa terbebas dari antikuaritisme, jika sejarawan selalu menajamkan kepekaan dan keprihatinan intelektualnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini