Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sawito Yang Saya Kenal

Sejak bekerja di balai penyelidikan karet rakyat di bogor, sawito telah menjadi orang yang menarik perhatian. orangnya ramah, pandai bergaul. tapi suka membual, egonya terlalu besar dan ambisius.

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1 Pebruari 1957 saya diangkat Menteri Pertanian sebagai pegawai baru, ditempatkan pada Balai Penyelidikan Karet Rakyat (BPKR) di Bogor, yang waktu itu di bawah Jawatan Karet Rakyat Pusat (dahulu DKR) di Jakarta. Saya sendiri baru lulus Fakultas Pertanian Bogor. Pengangkatan itu merupakan karir saya yang pertama sebagai Sarjana Pertanian. Oleh saudara E. Reksowinoto, Kepala BPKR saya diperkenalkan dengan para pegawai Balai itu yang sebagian besar terdiri dari para Penyuluh Pertanian keluaran SPMA. Di antara mereka ada seorang yang menarik perhatian saya: Sawito Kartowibowo. Kepada Kepala Balai saya tanyakan, siapa dia dan apa tugasnya. Waktu itu Sawito sedang disekolahkan lagi oleh Jawatan, mengikuti kursus Akademi Pertanian yang diselenggarakan oleh yang sekarang disebut LP3 di Bogor. Sebentar lagi ia akan lulus dan diaktifkan kembali. Itulah dasar pendidikan Sawito sampai detik ini. Ia pun bukan tamatan Akademi Departemen Pertanian di Ciawi yang memiliki silabus dan kurikulum lebih lengkap dan teratur, walau efek sipilnya sama. Ia bahkan juga tidak bertitel BSc secara resmi, karena titel tersebut belum mendapat pengakuan Departemen P dan K. Menginjakkan kaki di bangku Fakultas mana pun, juga tilak pernah. Namun ia sejak pagi-pagi benar, memang memiliki keberanian yang "mengagumkan" untuk mengaku-aku-sebagai insinyur pertanian. Sampai-sampai Sekneg sendiri mengatakan kepada pers, bahwa Sawito bergelar insinyur peftanian. Seni Bergaul Mengapa pada perkenalan pertama Sawito sudah menonjol dalam penglihatan saya? Karena orangnya peramah dan sikapnya bersahabat. Umurnya waktu itu sekitar 24 tahun suaranya keras dan lantang. Walaupun baru kenal, namun sikapnya seakan-akan sudah kenal saya bertahun-tahun. Ia memang memiliki seni bergaul. Ia sama sekali tidak punya rasa rendah diri. Bahkan sebaliknya. Dengan penuh kebanggaan ia menyebut satu persatu teman-teman saya para insinyur pertanian, yang jumlahnya kala itu masih bisa dihitung. Dan ia katakan, bahwa mereka itu adalah kawan karibnya. Bogor memang kota kecil. Bisa saja teman-teman saya itu kawan-kawan karibnya. Dalam pergaulan selanjutnya baru saya ketahui, bahwa Sawito seorang pembual. Setiap orang kenamaan atau pejabat-pejabat penting, lebih-lebih yang disebut tokoh Nasional, selaku diakunya sebagai kawan karib yang sudah ia kenal bertahun-tahun. Pada waktu saya masuk bekerja itu, suasana di Balai sedang diliputi keprihatinan. Dari E. Reksowinoto saya dengar, bahwa sejak akhir 1956, Kepala Jawatan Karet Rakyat Pusat lama R. Soeparman, telah pensiun. Sedang Menteri Pertanian menentukan gantinya Mohammad Said, bekas Inspektur/Kepala DKR Sumatera Barat. Orang-orang dari Balai khususnya kurang menyetujui. Maka diajukanlah mosi kepada Menteri untuk membatalkan pengangkatan itu. Dan pelopor mosi itu tak lain adalah Sawito Kartowibowo. Dialah, walaupun status tugas belajar, giat berkasak-kusuk menghubungi Sarekat Sekerja Jawatan Karet Rakyat (SSDKR) di daerah-daeran Karet Rakyat seluruh Indonesia untuk menentang pengangkatan itu."Rupa-rupanya Menteri akan meneruskan niatnya", sambung E.Reksowinoto, "maka konsekwensinya, kami semua yang ikut bertanda-tangan mungkin harus meletakkan jabatan". Sedih juga saya mendengar peristiwa itu. Namun syukurlah,. Menteri tidak bertindak gegabah. Mohammad Said tetap diangkat sebagai Kepala Pusat DKR (sekarang setaraf Dirjen). sedang mosi dianggap tidak pernah ada. Para penanda-tangan pun dimaafkan. Namun pada suatu hari saya dipanggil menghadap oleh Kepala Pusat di Jakarta. Sebagai pegawai baru yang tidak ikut-ikutan soal mosi, tapi juga sebagai satu-satunya insinyur pertanian yang bekerja di lingkungan DKR waktu itu, Kepala Jawatan menasihati, agar saya tidak memihak, tetapi tetap memegang teguh obyektivitas sebagai sarjana. Hanya pada akhir pembicaraan, Mohammad Said berkata: "Berhati-hatilah terhadap Sawito. Hij is een gevaarjke kerel (Ia adalah orang yang berbahaya). Kalau nanti anda mendapat kesulitan-kesulitan, jangan segan-segan datanglah langsung kepada saya". Dalam bulan-bulan pertama kami bekerja sama, tidak tampak ada apa-apa, sehingga saya nyaris menyangsikan kebenaran peringatan Kepala DKR itu. Sawito tetap ramah dan bersahabat. Di Balai ia memang orang ketiga, sesudah E. Reksowinoto dan saya. Dalam banyak ha ia berunding dulu dengan saya kalau hendak menjalankan suatu penelitian. Kami pun sering melakukan perjalanan dinas bersama. Kemudian ia juga memperlihatkan hasil karyanya selama ini. Sedikit demi sedikit saya mulai mengenal Sawito. Ia memiliki kepribadian yang kuat, bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh siapa pun. Kedua sifatnya, peramah dan berkepribadian kuat, sebenarnya dua sifat yang baik. Namun sayang, landasannya kurang baik. Yaitu Sang Akunya atau Egonya, terlalu besar. Ia selalu berusaha mencari popularitas. Ia senang dipuji dan dipuja, sehingga sikapnya condong ke arah overacting berlebih-lebihan. Dalam bidang ilmu, ia tidak dapat dikatakan pandai, tapi otaknya cukup cerdas. Orangnya juga enerjik, penuh vitalitas. Namun sayang sekali lagi, kecerdasannya sering dipergunakan untuk pemuasan Sang Akunya, sehingga sering condong ke arah kelihaian dan kelicikan. Di daerah ia mengaku-aku sebagai insinyur pertanian, kendati pun jumlah insinyur waktu itu masih sangat sedikit. Kepada para pejabat tak segan-segan ia mengatakan, bahwa ia masih kerabat dekat dengan Bung Karno yang waktu itu sedang jaya-jayanya. Pada setiap pertemuan yang dihadiri oleh para pembesar, baik sipil maupun militer, dengan berani ia tak pernah meliwatkan kesempatan mendekati mereka. Dalam bahasa Jawa sikap seperti itu bisa disebut keladuk wani kurang deduga (terlalu berani sehingga kurang memperhatikan sopan santun). Perkenalan yang sepintas dengan para pembesar itu sering ia pakai untuk menggertak orang lain. Wawasan Politiknya Wawasan politiknya kurang jelas bagi saya. Di kota kecil seperti Bogor, aktivitas politiknya tak tampak secara menonjol. Semula saya duga ia seorang nasionalis. Tapi bagaimana spektrumnya dan sampai di mana kemurnian faham nasionalismenya, masih merupakan pertanyaan: apakah fahamnya tidak dicampuri dengan terlalu banyak pamrih, atau dedikasinya itu bukan demi ambisi pribadinya. Sikapnya sejak dulu memang tidak lumrah, tidak wajar. Tapi saya yakin, semua itu ia lakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran. Pernah ia berkata kepada saya: "Menjadi Menteri atau bahkan menjadi Presiden itu sebenarnya tidak sukar. Setiap orang bisa saja, asal ia sungguh-sungguh mau dan berusaha untuk itu. Tak perlu harus orang pandai, asal tidak terlalu bodoh, ia bisa jadi Menteri atau Presiden". Sayang, untuk mencapai tujuan itu caranya sering negatif. Pada dasarnya ia kurang senang punya atasan. Kekurangan dan kelemahan atasan selalu ia kutak-kutik. Hal ini juga mulai terasa oleh saya. Ia membuat saya tidak krasan bekerja di situ. Lebih-lebih setelah terdengar berita, bahwa Kepala Balai -- yang juga tak luput dari kutikannya -- akan dipindahkan ke Jawatan Pertanian Pusat sebelum dipensiun. Keadaan ini bagi saya menjadi memuncak. Dasar saya seorang wanita -- dan niat saya bekerja itu pun tidak untuk mencari setori -- saya langsung menghadap Menteri Pertanian minta agar dipindahkan ke tempat lain. Terjadilah, E. Reksowinoto dan saya pada saat hampir bersamaan, dipindahkan dari Balai. Namun Menteri bukannya mengangkat Sawito sebagai Kepala, melainkan orang lain, yaitu ir. Iman Rahardjo yang baru saja masuk DKR. Kepala yang baru ini kemudian juga tak luput dari rongrongan Sawito. Ia jadi sakit-sakitan, paru-parunya terserang, hingga perlu cuti berbulan-bulan. Tak lama kemudian Menteri membubarkan BPKR, tugasnya sangat dipersempit dan diganti nama dengan Dana Tanaman Keras (DATAK). Dan Sawitolah yang diangkat sebagai Kepala. Bagi Sawito, sebutan Kepala kurang gagah. Ia menyebut diri: Direktur. Tak lama, DATAK ini pun dibubarkan, entah apa sebabnya. Sedang Sawito dibiarkan menganggur tak diberi tempat atau pekerjaan. Sebabnya apa, tentu Menteri Pertanian yang sekarang lebih tahu. Bukan Karena Sinting Mendengar siaran TV Rabu 22 September 1976 itu, saya terkejut sebentar. Tapi tidak heran. Terkejut, karena sudah sekian jauh itu Sawito bergerak dan setinggi itu sasarannya. Tidak heran, karena saya kenal sifat dan tabiatnya. Mengenal Sawito, saya kurang yakin apa yang dikatakan oleh pak Domo Pranoto, bahwa Sawito orang aneh dan agak sinting. Juga suara-suara yang santer bahwa ia penganut kebatinan dan mendapat wargsit jadi pemimpin. Saya condong berpendapat, Sawito berbuat begitu dengan penuh kesengajaan dan kesadaran. Bisa saja ia sekarang aktif dalam kebatinan, tapi ini bukan karena kecewa. Sebab ia memang tidak pernah menonjol dalam karier politik. Saya rasa hal itu hanya sebagai taktik dan siasat saja. Sawito memahami benar kultur Indonesia dan menggunakan dunia ide dan suasana yang dianggap relevan untuk itu. Bagi saya, Sawito pasti tahu, betapa rakyat Indonesia masih suka percaya kepada hal yang aneh-aneh, yang samar-samar, yang gaib-gaib, yang wangsit-wangsit, yang klenik-klenik. Dengan jalan kebatinan itu ia harapkan simpati rakyat yang masih kurang tahu dengan pasti, apa sebenarnya yang disebut percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebanyakan orang masih mengira yang aneh-aneh, yang gaib-gaib, yang weruh sadurunge winarah (tahu sebelum diberi tahu) itulah yang berasal dari Tuhan Yang Sejati. Dan Sawito mempergunakan kultur ini. Kalau 20 tahun yang lampau, sasarannya adalah Kepala Jawatan, maka waktu yang 20 tahun ini baginya cukup matang untuk sekarang mendongkel Kepala Negara. Itulah sebabnya saya tidak merasa heran. Strategi hidupnya, jauh-jauh hari sudah ia letakkan. Ambisinya besar, targetnya pasti, paling sedikit jadi Menteri. Syukur bisa jadi orang pertama dalam Republik ini. Sedangkan caranya mencapai target hanya bergantung pada situasi dan kondisi -- dan segala cara baginya halal. Kasus Sawito membuat kita prihatin. Tapi segi positifnya selalu bisa kita ambil sebagai pengalaman. Kasus ini dicetuskan dalam situasi dan kondisi yang relevan untuk itu. Ini terbukti dari, maaf, terkecohnya pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh yang dihormati oleh Bangsa dan Negara. Kalau kita semua, baik Pemerintah maupun Rakyat Indonesia sudi mawas diri, hal-hal yang membahayakan nasional akan terhindar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus