1 Pebruari 1957 saya diangkat Menteri Pertanian sebagai pegawai
baru, ditempatkan pada Balai Penyelidikan Karet Rakyat (BPKR) di
Bogor, yang waktu itu di bawah Jawatan Karet Rakyat Pusat
(dahulu DKR) di Jakarta. Saya sendiri baru lulus Fakultas
Pertanian Bogor. Pengangkatan itu merupakan karir saya yang
pertama sebagai Sarjana Pertanian. Oleh saudara E. Reksowinoto,
Kepala BPKR saya diperkenalkan dengan para pegawai Balai itu
yang sebagian besar terdiri dari para Penyuluh Pertanian
keluaran SPMA. Di antara mereka ada seorang yang menarik
perhatian saya: Sawito Kartowibowo.
Kepada Kepala Balai saya tanyakan, siapa dia dan apa tugasnya.
Waktu itu Sawito sedang disekolahkan lagi oleh Jawatan,
mengikuti kursus Akademi Pertanian yang diselenggarakan oleh
yang sekarang disebut LP3 di Bogor. Sebentar lagi ia akan lulus
dan diaktifkan kembali.
Itulah dasar pendidikan Sawito sampai detik ini. Ia pun bukan
tamatan Akademi Departemen Pertanian di Ciawi yang memiliki
silabus dan kurikulum lebih lengkap dan teratur, walau efek
sipilnya sama. Ia bahkan juga tidak bertitel BSc secara resmi,
karena titel tersebut belum mendapat pengakuan Departemen P dan
K. Menginjakkan kaki di bangku Fakultas mana pun, juga tilak
pernah. Namun ia sejak pagi-pagi benar, memang memiliki
keberanian yang "mengagumkan" untuk mengaku-aku-sebagai insinyur
pertanian. Sampai-sampai Sekneg sendiri mengatakan kepada pers,
bahwa Sawito bergelar insinyur peftanian.
Seni Bergaul
Mengapa pada perkenalan pertama Sawito sudah menonjol dalam
penglihatan saya? Karena orangnya peramah dan sikapnya
bersahabat. Umurnya waktu itu sekitar 24 tahun suaranya keras
dan lantang. Walaupun baru kenal, namun sikapnya seakan-akan
sudah kenal saya bertahun-tahun. Ia memang memiliki seni
bergaul. Ia sama sekali tidak punya rasa rendah diri. Bahkan
sebaliknya. Dengan penuh kebanggaan ia menyebut satu persatu
teman-teman saya para insinyur pertanian, yang jumlahnya kala
itu masih bisa dihitung. Dan ia katakan, bahwa mereka itu adalah
kawan karibnya. Bogor memang kota kecil. Bisa saja teman-teman
saya itu kawan-kawan karibnya. Dalam pergaulan selanjutnya baru
saya ketahui, bahwa Sawito seorang pembual. Setiap orang
kenamaan atau pejabat-pejabat penting, lebih-lebih yang disebut
tokoh Nasional, selaku diakunya sebagai kawan karib yang sudah
ia kenal bertahun-tahun.
Pada waktu saya masuk bekerja itu, suasana di Balai sedang
diliputi keprihatinan. Dari E. Reksowinoto saya dengar, bahwa
sejak akhir 1956, Kepala Jawatan Karet Rakyat Pusat lama R.
Soeparman, telah pensiun. Sedang Menteri Pertanian menentukan
gantinya Mohammad Said, bekas Inspektur/Kepala DKR Sumatera
Barat. Orang-orang dari Balai khususnya kurang menyetujui. Maka
diajukanlah mosi kepada Menteri untuk membatalkan pengangkatan
itu. Dan pelopor mosi itu tak lain adalah Sawito Kartowibowo.
Dialah, walaupun status tugas belajar, giat berkasak-kusuk
menghubungi Sarekat Sekerja Jawatan Karet Rakyat (SSDKR) di
daerah-daeran Karet Rakyat seluruh Indonesia untuk menentang
pengangkatan itu."Rupa-rupanya Menteri akan meneruskan niatnya",
sambung E.Reksowinoto, "maka konsekwensinya, kami semua yang
ikut bertanda-tangan mungkin harus meletakkan jabatan".
Sedih juga saya mendengar peristiwa itu. Namun syukurlah,.
Menteri tidak bertindak gegabah. Mohammad Said tetap diangkat
sebagai Kepala Pusat DKR (sekarang setaraf Dirjen). sedang mosi
dianggap tidak pernah ada. Para penanda-tangan pun dimaafkan.
Namun pada suatu hari saya dipanggil menghadap oleh Kepala Pusat
di Jakarta. Sebagai pegawai baru yang tidak ikut-ikutan soal
mosi, tapi juga sebagai satu-satunya insinyur pertanian yang
bekerja di lingkungan DKR waktu itu, Kepala Jawatan menasihati,
agar saya tidak memihak, tetapi tetap memegang teguh
obyektivitas sebagai sarjana. Hanya pada akhir pembicaraan,
Mohammad Said berkata: "Berhati-hatilah terhadap Sawito. Hij is
een gevaarjke kerel (Ia adalah orang yang berbahaya). Kalau
nanti anda mendapat kesulitan-kesulitan, jangan segan-segan
datanglah langsung kepada saya".
Dalam bulan-bulan pertama kami bekerja sama, tidak tampak ada
apa-apa, sehingga saya nyaris menyangsikan kebenaran peringatan
Kepala DKR itu. Sawito tetap ramah dan bersahabat. Di Balai ia
memang orang ketiga, sesudah E. Reksowinoto dan saya. Dalam
banyak ha ia berunding dulu dengan saya kalau hendak
menjalankan suatu penelitian. Kami pun sering melakukan
perjalanan dinas bersama. Kemudian ia juga memperlihatkan hasil
karyanya selama ini.
Sedikit demi sedikit saya mulai mengenal Sawito. Ia memiliki
kepribadian yang kuat, bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh
siapa pun. Kedua sifatnya, peramah dan berkepribadian kuat,
sebenarnya dua sifat yang baik. Namun sayang, landasannya kurang
baik. Yaitu Sang Akunya atau Egonya, terlalu besar. Ia selalu
berusaha mencari popularitas. Ia senang dipuji dan dipuja,
sehingga sikapnya condong ke arah overacting berlebih-lebihan.
Dalam bidang ilmu, ia tidak dapat dikatakan pandai, tapi otaknya
cukup cerdas. Orangnya juga enerjik, penuh vitalitas. Namun
sayang sekali lagi, kecerdasannya sering dipergunakan untuk
pemuasan Sang Akunya, sehingga sering condong ke arah kelihaian
dan kelicikan.
Di daerah ia mengaku-aku sebagai insinyur pertanian, kendati pun
jumlah insinyur waktu itu masih sangat sedikit. Kepada para
pejabat tak segan-segan ia mengatakan, bahwa ia masih kerabat
dekat dengan Bung Karno yang waktu itu sedang jaya-jayanya. Pada
setiap pertemuan yang dihadiri oleh para pembesar, baik sipil
maupun militer, dengan berani ia tak pernah meliwatkan
kesempatan mendekati mereka. Dalam bahasa Jawa sikap seperti itu
bisa disebut keladuk wani kurang deduga (terlalu berani sehingga
kurang memperhatikan sopan santun). Perkenalan yang sepintas
dengan para pembesar itu sering ia pakai untuk menggertak orang
lain.
Wawasan Politiknya
Wawasan politiknya kurang jelas bagi saya. Di kota kecil seperti
Bogor, aktivitas politiknya tak tampak secara menonjol. Semula
saya duga ia seorang nasionalis. Tapi bagaimana spektrumnya dan
sampai di mana kemurnian faham nasionalismenya, masih merupakan
pertanyaan: apakah fahamnya tidak dicampuri dengan terlalu
banyak pamrih, atau dedikasinya itu bukan demi ambisi
pribadinya.
Sikapnya sejak dulu memang tidak lumrah, tidak wajar. Tapi saya
yakin, semua itu ia lakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran.
Pernah ia berkata kepada saya: "Menjadi Menteri atau bahkan
menjadi Presiden itu sebenarnya tidak sukar. Setiap orang bisa
saja, asal ia sungguh-sungguh mau dan berusaha untuk itu. Tak
perlu harus orang pandai, asal tidak terlalu bodoh, ia bisa jadi
Menteri atau Presiden".
Sayang, untuk mencapai tujuan itu caranya sering negatif. Pada
dasarnya ia kurang senang punya atasan. Kekurangan dan kelemahan
atasan selalu ia kutak-kutik. Hal ini juga mulai terasa oleh
saya. Ia membuat saya tidak krasan bekerja di situ. Lebih-lebih
setelah terdengar berita, bahwa Kepala Balai -- yang juga tak
luput dari kutikannya -- akan dipindahkan ke Jawatan Pertanian
Pusat sebelum dipensiun. Keadaan ini bagi saya menjadi memuncak.
Dasar saya seorang wanita -- dan niat saya bekerja itu pun tidak
untuk mencari setori -- saya langsung menghadap Menteri
Pertanian minta agar dipindahkan ke tempat lain.
Terjadilah, E. Reksowinoto dan saya pada saat hampir bersamaan,
dipindahkan dari Balai. Namun Menteri bukannya mengangkat Sawito
sebagai Kepala, melainkan orang lain, yaitu ir. Iman Rahardjo
yang baru saja masuk DKR. Kepala yang baru ini kemudian juga tak
luput dari rongrongan Sawito. Ia jadi sakit-sakitan,
paru-parunya terserang, hingga perlu cuti berbulan-bulan. Tak
lama kemudian Menteri membubarkan BPKR, tugasnya sangat
dipersempit dan diganti nama dengan Dana Tanaman Keras (DATAK).
Dan Sawitolah yang diangkat sebagai Kepala. Bagi Sawito, sebutan
Kepala kurang gagah. Ia menyebut diri: Direktur. Tak lama, DATAK
ini pun dibubarkan, entah apa sebabnya. Sedang Sawito dibiarkan
menganggur tak diberi tempat atau pekerjaan. Sebabnya apa, tentu
Menteri Pertanian yang sekarang lebih tahu.
Bukan Karena Sinting
Mendengar siaran TV Rabu 22 September 1976 itu, saya terkejut
sebentar. Tapi tidak heran. Terkejut, karena sudah sekian jauh
itu Sawito bergerak dan setinggi itu sasarannya. Tidak heran,
karena saya kenal sifat dan tabiatnya. Mengenal Sawito, saya
kurang yakin apa yang dikatakan oleh pak Domo Pranoto, bahwa
Sawito orang aneh dan agak sinting. Juga suara-suara yang santer
bahwa ia penganut kebatinan dan mendapat wargsit jadi pemimpin.
Saya condong berpendapat, Sawito berbuat begitu dengan penuh
kesengajaan dan kesadaran. Bisa saja ia sekarang aktif dalam
kebatinan, tapi ini bukan karena kecewa. Sebab ia memang tidak
pernah menonjol dalam karier politik. Saya rasa hal itu hanya
sebagai taktik dan siasat saja.
Sawito memahami benar kultur Indonesia dan menggunakan dunia ide
dan suasana yang dianggap relevan untuk itu. Bagi saya, Sawito
pasti tahu, betapa rakyat Indonesia masih suka percaya kepada
hal yang aneh-aneh, yang samar-samar, yang gaib-gaib, yang
wangsit-wangsit, yang klenik-klenik. Dengan jalan kebatinan itu
ia harapkan simpati rakyat yang masih kurang tahu dengan pasti,
apa sebenarnya yang disebut percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kebanyakan orang masih mengira yang aneh-aneh, yang gaib-gaib,
yang weruh sadurunge winarah (tahu sebelum diberi tahu) itulah
yang berasal dari Tuhan Yang Sejati. Dan Sawito mempergunakan
kultur ini.
Kalau 20 tahun yang lampau, sasarannya adalah Kepala Jawatan,
maka waktu yang 20 tahun ini baginya cukup matang untuk sekarang
mendongkel Kepala Negara. Itulah sebabnya saya tidak merasa
heran. Strategi hidupnya, jauh-jauh hari sudah ia letakkan.
Ambisinya besar, targetnya pasti, paling sedikit jadi Menteri.
Syukur bisa jadi orang pertama dalam Republik ini. Sedangkan
caranya mencapai target hanya bergantung pada situasi dan
kondisi -- dan segala cara baginya halal.
Kasus Sawito membuat kita prihatin. Tapi segi positifnya selalu
bisa kita ambil sebagai pengalaman. Kasus ini dicetuskan dalam
situasi dan kondisi yang relevan untuk itu. Ini terbukti dari,
maaf, terkecohnya pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh yang dihormati
oleh Bangsa dan Negara. Kalau kita semua, baik Pemerintah maupun
Rakyat Indonesia sudi mawas diri, hal-hal yang membahayakan
nasional akan terhindar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini