KAPAL hadiah Presiden Soeharto kepada Pemerintah Daerah Sumatera
Utara yang tenggelam dua tahun lalu masih belum juga ada
gantinya. PT Perintis Lines, yang mengontrak kapal KM Kuala Deli
itu menggugat PT Maskapai Asuransi Suntad untuk membayar Rp
198.205.027, karena Kuala Deli diasuransikan pada Suntad.
Putusan Pengadilan Negeri Medan untuk gugatan perdata ini
Agustus yang lalu belum dapat dilaksanakan lantaran tergugat
Suntad naik banding.
Berukuran 420 ton bobot mati (DWT) kapal tersebut akan berlayar
ke Penang, Malaysia, dengan isi 4.006 karung biji kelapa sawit
milik Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Di antara 21 awaknya,
Surya, Masinis III ikut tenggelam bersama kapal yang ternyata
sampai sekarang belum juga bisa diangkat dari dasar laut.
Nakhodanya, T. Rusli dan Mualim I, P. Hutagalung, diajukan ke
Pengadilan Negeri Medan yang bersidang di Belawan. Vonis
kriminilnya sudah jatuh beberapa waktu lalu. Kemudian, pada 4
April tahun lalu Mahkamah Pelayaran di Jakarta menghukum pula
sang nakhoda dengan 12 bulan tak dibenarkan membawa kapal
berbendera Indonesia, terhitung sejak ia menyerahkan ijazahnya
kepada yang berwenang. Rusli dinyatakan lalai dengan barang yang
dikelolanya (TEMPO, 3 Januari 1976).
Uang Mati
Sidang perkara perdata Perintis menggugat Suntad ini pertama
kali berlangsung pada 1 Oktober 1975. Sidang pertama sampai
penjatuhan vonis di Pengadilan Negeri Medan, dipimpin langsung
oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan, Koeswandi S.H. Semula ia
menganjurkan fihak-fihak yang bersengketa mencari jalan damai
saja, dari pada harus berperkara. Setelah waktu dua minggu untuk
berfikir bagi kedua fihak. Ternyata anjuran tersebut gagal.
Karena itu dalam sidang 5 Agustus, Majelis mengabulkan sebagian
permintaan penggugat, Perintis dengan menghukum Suntad untuk
segera membayar Rp 41 juta. Jumlah yang sebegitu harus dibayar
oleh Suntad dengan 6 persen bunga per bulan, terhitung sejak
April 1974.
Mendengar putusan yang dianggap jauh dari rasa keadilan itu
tentu saja fihak Suntad -- yang diwakili advokat Prof Mr Ani
Abbas Manoppo -- menolaknya dan menyatakan naik banding. "Memori
banding sedang kami persiapkan untuk diajukan ke Pengadilan
Tinggi Medan", ucap Soerachmad, S.H., pimpinan cabang Suntad di
Medan kepada koresponden TEMPO dua minggu lalu. Sedang untuk
menjaga nama baik perusahaannya, pada 18 September 1976, Suntad
telah menitipkan uang Rp 41 juta pada Pengadilan Negeri Medan.
Penitipan itu langsung diserahkan oleh Direktur Utama Suntad R.
Soegiono, yang datang dari Jakarta, kepada Ketua Pengadilan
Negeri Medan, Koeswandi. "Uang itu jadi uang mati", tambah
Soerachmad.
Marah Halim
Kasus ini agak menarik, karena pada 24 Agustus, setelah putusan
dibacakan, dengan surat bernomor: 19483/9 yang ditujukan kepada
Suntad dan tembusannya ke Pengadilan Negeri Medan dan PT
Perintis Lines, Gubernur Sumatera Utara Haji Marah Halim
menuntut agar keputusan itu segera dijalankan. Kenapa Marah
Halim tiba-tiba muncul? Beberapa kalangan di Pengadilan Negeri
Medan ikut tertanya-tanya. Yang berperkara Perintis dengan
Suntad, sekarang Gubernur pula yang mendesak. Ada apa? Pada 18
September Ani Abbas membalas surat Gubernur. Ia tak lupa
menyebutkan, turut campurnya Marah Halim dinilainya sebagai
suatu "intervensi" ke dalam peradilan kasus ini. Sedang putusan
Pengadilan Negeri Medan belum dapat dilaksanakan dan tergugat
masih mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Ani Abbas juga
mengingatkan Gubernur, supaya beliau bersabar menunggu putusan
terakhir. Hasilnya diharapkan akan menjadi sebuah yurisprudensi
hukum di Indonesia dalam bidang perasuransian. Lagipun, katanya,
yang berperkara di sini bukanlah Suntad dengan Pemda Sumatera
Utara, tapi dengan Perintis Lines. Perusahaan perkapalan ini
malah tidak buka suara agar putusan Pengadilan Negeri itu segera
dilaksanakan.
Kandas Dua Kali
Perkara ini tampaknya makin memperlihatkan kelainan-kelainan,
kendati ada dugaan, bahwa campur tangan fihak luar ke dalam
peradilan itu bukan tidak "berbau". Sebelum putusan yang
dibacakan pada 5 Agustus lalu, justru Ketua Pengadilan Negeri
Medan menyatakan bahwa putusannya akan dibacakan pada 2 Agustus.
"Kok tiba-tiba mundur?" ucap sumber TEMPO. Entah bagaimana, pada
22 Januari 1975 lalu Gubernur Marah Halim sempat pula
melayangkan memonya kepada Serketaris Daerah Bardansyah,
menanyakan: "Bagaimana soal kapal kita". Memo ini berantai
turunnya, sehingga PT Suntad entah bagaimana terpaksa membayar
uang Rp 9 juta. meski ada syarat, bahwa "kalau klien tak pantas
dibayar maka uang itu harus dikembalikan
Fihak Suntad menyatakan. "bukan tidak mau membayar klaim
tersebut" asalkan tenggelamnya kapal KM Kuala Deli memenuhi
syarat klaim seperti yang disebutkan dalam Marine Hull
Policy. Tenggelamnya Kuala Deli justru karena kesalahan
nakhoda. Malah dalam sidang pidana yang berlangsung di Belawan
tempo hari Nakhoda T. Rusli mengakui, kapal itu berlayar tanpa
ada pandu ketika keluar dari Pelabuhan Belawan. Kuala Deli juga
tidak mempunyai data lengkap mengenai stabilitas kapal. Ketika
memuat kelapa sawit yang melebihi muatan, kapal itu justru tak
punya surat dari Syahbandar Belawan. Karena kondisi kapal sudah
labil dan amat peka terhadap perubahan arus di laut, nakhoda
menyuruh membuang air balas. Kapal itu juga pernah kandas dua
kali dan menerjang kerangka suar, tapi tak pernah dilaporkan
pada yang berwajib. Karena pertimbangan pada soal laik laut
itulah Suntad masih mengurungkan pembayaran uang yang
dikehendaki Perintis. Sementara itu menjadi tanda tanya juga,
bagaimana sebenarnya hubungan kontrak antara Perintis dengan
Pemda.
Kelapa Sawit
Dalam perkara pidana yang lalu, saksi dari perwakilan Perintis
di Belawan, T. Hasan, mengakui bahwa T. Rusli pernah datang
kepadanya: Ketika itu Rusli menyatakan sangsi untuk berlayar
mengangkut biji sawit itu. Tapi Chalil Djonggowirono, dari
Perintis Medan mengatakan, "jangan ada partai kelapa sawit yang
tinggal". Nampaknya, perkara perdata yang telah diputuskan
pengadilan Medan ini, justru seperti "kelupaan?' mengkaji
kembali putusan pidana di Belawan itu -- di mana jaksa juga
tidak puas dan menyatakan banding.
Fihak Suntad merasa heran mengapa Perintis mengajukan surat laik
laut setahun kemudian setelah Kuala Deli tenggelam. Ada apa
dengan surat-surat yang baru muncul itu sekarang, wallahu'alam.
Karena, ketika Nakhoda T. Rusli diajukan ke pengadilan pidana di
Belawan ia atau Perintis tak punya kwitansi pandu ketika
kapalnya keluar dari pelabuhan Belawan, dalam persidangan
perdata barusan -- dan jadi pegangan majelis -- justru kwitansi
itu muncul mendadak dan tidak ikut tenggelam bersama Kuala Deli
Sekali Saja
Melihat ada kelainan-kelainan dari keputusan itu, selain
tergugat tidak merasa puas dan sudah bersiap-siap dengan memori
bandingnya, Suntad juga akan mengirim surat dalam waktu dekat
ini ke Jakarta. Penasehat hukum Suntad, M. Kamaluddin Lubis,
S.H. mengatakan pada TEMPO: "Kami juga akan mengirim surat
kepada Dirjen Perla, dalam hal ini Mahkamah Pelayaran yang telah
memvonis Nakhoda T. Rusli". Menurutnya: "Kami akan bertanya
lagi, apakah kapal. KM Kuala Deli itu laik laut atau tidak". Apa
jawaban Mahkamah Pelayaran belumlah diketahui. Tapi yang jelas
Mahkamah Pelayaran hanya memutuskan sekali saja. Dan tak ada
banding.
Kuala Deli diasuransikan Rp 50 juta pada Suntad oleh Perintis
dalam masa setahun. Yang menjadi pertanyaan sampai hari ini
kenapa Gubernur Sumatera Utara bukannya menuntut Perintis
sebagai penyewa Kuala Deli. Dan kalaupun mau menuntut kemudian
urutannya barulah menggugat Suntad.
Apakah keanehan ini tidak diperhitungkan sejak semula sehingga
timbul pula keganjilan-keganjilan tadi, sehingga peradilan ini
ada yang menduga berjalan mirip sebuah sandiwara tapi
skenarionya kurang mantap? Tunggu saja putusan Pengadilan
Tinggi, nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini