Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa Gubernur Ikut ?

Gugatan perintis atas asuransi sunsad dengan tenggelamnya km kuala deli yang dikontrak dari pemda sumut dikabulkan pn medan. suntad naik banding. gubernur minta putusan dilaksanakan. (nas)

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL hadiah Presiden Soeharto kepada Pemerintah Daerah Sumatera Utara yang tenggelam dua tahun lalu masih belum juga ada gantinya. PT Perintis Lines, yang mengontrak kapal KM Kuala Deli itu menggugat PT Maskapai Asuransi Suntad untuk membayar Rp 198.205.027, karena Kuala Deli diasuransikan pada Suntad. Putusan Pengadilan Negeri Medan untuk gugatan perdata ini Agustus yang lalu belum dapat dilaksanakan lantaran tergugat Suntad naik banding. Berukuran 420 ton bobot mati (DWT) kapal tersebut akan berlayar ke Penang, Malaysia, dengan isi 4.006 karung biji kelapa sawit milik Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Di antara 21 awaknya, Surya, Masinis III ikut tenggelam bersama kapal yang ternyata sampai sekarang belum juga bisa diangkat dari dasar laut. Nakhodanya, T. Rusli dan Mualim I, P. Hutagalung, diajukan ke Pengadilan Negeri Medan yang bersidang di Belawan. Vonis kriminilnya sudah jatuh beberapa waktu lalu. Kemudian, pada 4 April tahun lalu Mahkamah Pelayaran di Jakarta menghukum pula sang nakhoda dengan 12 bulan tak dibenarkan membawa kapal berbendera Indonesia, terhitung sejak ia menyerahkan ijazahnya kepada yang berwenang. Rusli dinyatakan lalai dengan barang yang dikelolanya (TEMPO, 3 Januari 1976). Uang Mati Sidang perkara perdata Perintis menggugat Suntad ini pertama kali berlangsung pada 1 Oktober 1975. Sidang pertama sampai penjatuhan vonis di Pengadilan Negeri Medan, dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan, Koeswandi S.H. Semula ia menganjurkan fihak-fihak yang bersengketa mencari jalan damai saja, dari pada harus berperkara. Setelah waktu dua minggu untuk berfikir bagi kedua fihak. Ternyata anjuran tersebut gagal. Karena itu dalam sidang 5 Agustus, Majelis mengabulkan sebagian permintaan penggugat, Perintis dengan menghukum Suntad untuk segera membayar Rp 41 juta. Jumlah yang sebegitu harus dibayar oleh Suntad dengan 6 persen bunga per bulan, terhitung sejak April 1974. Mendengar putusan yang dianggap jauh dari rasa keadilan itu tentu saja fihak Suntad -- yang diwakili advokat Prof Mr Ani Abbas Manoppo -- menolaknya dan menyatakan naik banding. "Memori banding sedang kami persiapkan untuk diajukan ke Pengadilan Tinggi Medan", ucap Soerachmad, S.H., pimpinan cabang Suntad di Medan kepada koresponden TEMPO dua minggu lalu. Sedang untuk menjaga nama baik perusahaannya, pada 18 September 1976, Suntad telah menitipkan uang Rp 41 juta pada Pengadilan Negeri Medan. Penitipan itu langsung diserahkan oleh Direktur Utama Suntad R. Soegiono, yang datang dari Jakarta, kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan, Koeswandi. "Uang itu jadi uang mati", tambah Soerachmad. Marah Halim Kasus ini agak menarik, karena pada 24 Agustus, setelah putusan dibacakan, dengan surat bernomor: 19483/9 yang ditujukan kepada Suntad dan tembusannya ke Pengadilan Negeri Medan dan PT Perintis Lines, Gubernur Sumatera Utara Haji Marah Halim menuntut agar keputusan itu segera dijalankan. Kenapa Marah Halim tiba-tiba muncul? Beberapa kalangan di Pengadilan Negeri Medan ikut tertanya-tanya. Yang berperkara Perintis dengan Suntad, sekarang Gubernur pula yang mendesak. Ada apa? Pada 18 September Ani Abbas membalas surat Gubernur. Ia tak lupa menyebutkan, turut campurnya Marah Halim dinilainya sebagai suatu "intervensi" ke dalam peradilan kasus ini. Sedang putusan Pengadilan Negeri Medan belum dapat dilaksanakan dan tergugat masih mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Ani Abbas juga mengingatkan Gubernur, supaya beliau bersabar menunggu putusan terakhir. Hasilnya diharapkan akan menjadi sebuah yurisprudensi hukum di Indonesia dalam bidang perasuransian. Lagipun, katanya, yang berperkara di sini bukanlah Suntad dengan Pemda Sumatera Utara, tapi dengan Perintis Lines. Perusahaan perkapalan ini malah tidak buka suara agar putusan Pengadilan Negeri itu segera dilaksanakan. Kandas Dua Kali Perkara ini tampaknya makin memperlihatkan kelainan-kelainan, kendati ada dugaan, bahwa campur tangan fihak luar ke dalam peradilan itu bukan tidak "berbau". Sebelum putusan yang dibacakan pada 5 Agustus lalu, justru Ketua Pengadilan Negeri Medan menyatakan bahwa putusannya akan dibacakan pada 2 Agustus. "Kok tiba-tiba mundur?" ucap sumber TEMPO. Entah bagaimana, pada 22 Januari 1975 lalu Gubernur Marah Halim sempat pula melayangkan memonya kepada Serketaris Daerah Bardansyah, menanyakan: "Bagaimana soal kapal kita". Memo ini berantai turunnya, sehingga PT Suntad entah bagaimana terpaksa membayar uang Rp 9 juta. meski ada syarat, bahwa "kalau klien tak pantas dibayar maka uang itu harus dikembalikan Fihak Suntad menyatakan. "bukan tidak mau membayar klaim tersebut" asalkan tenggelamnya kapal KM Kuala Deli memenuhi syarat klaim seperti yang disebutkan dalam Marine Hull Policy. Tenggelamnya Kuala Deli justru karena kesalahan nakhoda. Malah dalam sidang pidana yang berlangsung di Belawan tempo hari Nakhoda T. Rusli mengakui, kapal itu berlayar tanpa ada pandu ketika keluar dari Pelabuhan Belawan. Kuala Deli juga tidak mempunyai data lengkap mengenai stabilitas kapal. Ketika memuat kelapa sawit yang melebihi muatan, kapal itu justru tak punya surat dari Syahbandar Belawan. Karena kondisi kapal sudah labil dan amat peka terhadap perubahan arus di laut, nakhoda menyuruh membuang air balas. Kapal itu juga pernah kandas dua kali dan menerjang kerangka suar, tapi tak pernah dilaporkan pada yang berwajib. Karena pertimbangan pada soal laik laut itulah Suntad masih mengurungkan pembayaran uang yang dikehendaki Perintis. Sementara itu menjadi tanda tanya juga, bagaimana sebenarnya hubungan kontrak antara Perintis dengan Pemda. Kelapa Sawit Dalam perkara pidana yang lalu, saksi dari perwakilan Perintis di Belawan, T. Hasan, mengakui bahwa T. Rusli pernah datang kepadanya: Ketika itu Rusli menyatakan sangsi untuk berlayar mengangkut biji sawit itu. Tapi Chalil Djonggowirono, dari Perintis Medan mengatakan, "jangan ada partai kelapa sawit yang tinggal". Nampaknya, perkara perdata yang telah diputuskan pengadilan Medan ini, justru seperti "kelupaan?' mengkaji kembali putusan pidana di Belawan itu -- di mana jaksa juga tidak puas dan menyatakan banding. Fihak Suntad merasa heran mengapa Perintis mengajukan surat laik laut setahun kemudian setelah Kuala Deli tenggelam. Ada apa dengan surat-surat yang baru muncul itu sekarang, wallahu'alam. Karena, ketika Nakhoda T. Rusli diajukan ke pengadilan pidana di Belawan ia atau Perintis tak punya kwitansi pandu ketika kapalnya keluar dari pelabuhan Belawan, dalam persidangan perdata barusan -- dan jadi pegangan majelis -- justru kwitansi itu muncul mendadak dan tidak ikut tenggelam bersama Kuala Deli Sekali Saja Melihat ada kelainan-kelainan dari keputusan itu, selain tergugat tidak merasa puas dan sudah bersiap-siap dengan memori bandingnya, Suntad juga akan mengirim surat dalam waktu dekat ini ke Jakarta. Penasehat hukum Suntad, M. Kamaluddin Lubis, S.H. mengatakan pada TEMPO: "Kami juga akan mengirim surat kepada Dirjen Perla, dalam hal ini Mahkamah Pelayaran yang telah memvonis Nakhoda T. Rusli". Menurutnya: "Kami akan bertanya lagi, apakah kapal. KM Kuala Deli itu laik laut atau tidak". Apa jawaban Mahkamah Pelayaran belumlah diketahui. Tapi yang jelas Mahkamah Pelayaran hanya memutuskan sekali saja. Dan tak ada banding. Kuala Deli diasuransikan Rp 50 juta pada Suntad oleh Perintis dalam masa setahun. Yang menjadi pertanyaan sampai hari ini kenapa Gubernur Sumatera Utara bukannya menuntut Perintis sebagai penyewa Kuala Deli. Dan kalaupun mau menuntut kemudian urutannya barulah menggugat Suntad. Apakah keanehan ini tidak diperhitungkan sejak semula sehingga timbul pula keganjilan-keganjilan tadi, sehingga peradilan ini ada yang menduga berjalan mirip sebuah sandiwara tapi skenarionya kurang mantap? Tunggu saja putusan Pengadilan Tinggi, nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus