Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Keterangan Probo Benar"

Prof sumitro, bekas menteri perdagangan menjelaskan tentang situasi, syarat & tujuan penunjukan kedua perusahaan milik probosutejo. kegiatan badan pengadaan cengkih (bpt) diketuai menteri perdagangan. (nas)

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETERANGAN Probo itu, memang benar", kata Prof. Sumitro pada wartawan TEMPO di kantornya, minggu lalu. Dalam situasi bagaimana, dengan syarat apa, dan apa tujuan penunjukan kedua perusahaan milik Probosutejo itu menjadi importir cengkeh di tahun 1970 itu? Bulan Agustus 1969, Sumitro membentuk Badan Pengadaan Cengkeh (B PT) yang diketuai oleh Menteri Perdagangan sendiri. Badan ini, beranggotakan pabrik-pabrik rokok kretek serta para importir cengkeh yang ditunjuk pemerintah. Misi BPT ini, kata Dr Sumitro, "adalah memperkuat posisi kita menghadapi Hongkong dan Singapura yang sebelumnya 100% menguasai perdagangan cengkeh Zanzibar dan Madagaskar. Sebelum pembentukan BPT, importir banyak sekali. Malah ada pabrik-pabrik kretek yang mengimpor sendiri kebutuhan cengkehnya, sehingga harga dan suplai cengkeh di Indonesia mudah sekali dipermainkan oleh Hongkong dan Singapura". Pada mulanya, kesempatan mengimpor diberikan pada PN-PN. Tapi repotnya, PN-PN yang ditunjuk Menteri Perdagangan itu ada yang "main" dengan cukong-cukong Hongkong dan Singapura. Untuk mengimbangi PNPN itu, izin impor cengkeh kemudian diberikan pada bebersya perusahaan swasta. Di antaranya CV Berkat yang ada disebut-sebut oleh Probosutejo. Tapi tetap juga misi BPT tidak terlaksana. Nah, pada saat itulah PT Mercu Buana dan PT Mega mengajukan permohonan pada Menteri Perdagangan Sumitro untuk menjadi importir cengkeh di bawah naungan BPT. Sebelumnya, kedua perusahaan itu sudah dikenal sebagai pengimpor cengkeh, meskipun tidak tergabung dalam BPT yang populer sebagai "sindikat cengkeh" itu. "Waktu itu saya memang tahu bahwa PT Mercu Buana itu milik Probosutejo. Tapi saya beri izin mengingat itu persahaan pribumi, untuk mengimbangi CV Berkat yang non-pribumi. Ada pun PT Mega, saya tidak tahu persis siapa pemiliknya. Kedua perusahaan itu --Mega dan Mercu Buana saya beri izin, supaya tidak ada monopoli", begitu penjelasan sang profesor. Izin buat kedua importir cengkeh itu, ditempeli syarat-syarat yang berlaku dalam BPT. þ Pertama, dalam tempo 6 bulan sampai selambat-lambatnya setahun Mega dan Mercu sudah harus membina hubungan langsung dengan produsen di Zanzibar (Tanzania) dan Madagaskar (Malagasi), agar tidak tergantung lagi pada cukong-cukon cengkeh di HK dan Singapura. þ Ke dua, harga pembelian di Tanzania dan Malagasi harus mendapat persetujuan Ketua BPT/ Menteri Perdagangan: Begitu pula harga penjualan ke pabrik-pa- brik kretek. Penentuan harga jual itu menurut Sumitro sekaligus dimaksud kan "untuk merangsang produksi cengkeh dalam negeri, yang kini sudah populer di mana-mana". Dalam harga jual BPT itu, "sudah saya masukkan keuntungan 2% berupa handling fee bagi importir, serta Dana Cengkeh bagi pemerintah". Dana itu, kata Sumitro, "merupakan semacarn Dana Niaga, seperti Cess yang dipungut dari hasil-hasil perkebunan". Penggunaannya yang diatur oleh Presiden sendiri melalui Sekneg -- adalah untuk pembangunan dan rehabilitasi prasarana daerah-daerah produksi. "Kapal-kapal yang dihadiahkan Pak Harto untuk propinsi-propinsi misalnya", kata Sumitro, "asalnya dari Dana-Dana Niaga itu". Departemen Keuangan ikut mengawasi penggunaan dana dana itu. Dan meskipun tidak dimasukkan dalam APBN, ujarnya lebih lanjut, "seluruh Dana Niaga termasuk Dana Cengkeh itu kita bukukan secara terperinci dan selalu diperiksa akuntan. Jadi kalau DPR mau menyelidiki berapa besar dana-dana itu, tanyakan saja ke Perdagangan". Prof Sumitro juga menetapkan, bahwa alokasi penjualan cengkeh BPT ke pabrik-pabrik kretek didasarkan pada pita cukai dan jumlah produksi masing-masing. Dalam prakteknya kebijaksanaan ini menyebabkan tampilnya 4 besar -- Gudang Garam, Dji Sam Soe, Beontoel dan VIP -- yang makin kuat. Sementara itu pabrik-pabrik midi dan mini mengeluh karena tidak kebagian jatah cengkeh impor. Ataupun kalau masih dapat, harganya dirasa terlalu tinggi (TEMPO, 1 Juni 1974, Laporan Utama). Mengapa jadi begitu? Jawab Prof Sumitro: "Dulu importir diwajibkan menyalurkan sejumlah cengkeh impor sesuai dengan kebutuhan pabrik-pabrik kecil itu harus sama dengan harga BPT. Ketentuan itu untuk melindungi pabrik-pabrik kecil. Tapi saya tidak tahu bagaimana kebijaksanaan Departemen Perdagangan sekarang". Tahun 1972, BPT dibubarkan. Soalnya, "misinya sudah tercapai. Selanjutnya pengawasan terhadap kelancaran irnpor cengkeh saya serahkan pada Direktorat Perdagangan Dalam Negeri", tutur Sumitro, yang berhenti sebagai Menteri Perdagangan bulan April 1973.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus