KETERANGAN Probo itu, memang benar", kata Prof. Sumitro pada
wartawan TEMPO di kantornya, minggu lalu. Dalam situasi
bagaimana, dengan syarat apa, dan apa tujuan penunjukan kedua
perusahaan milik Probosutejo itu menjadi importir cengkeh di
tahun 1970 itu?
Bulan Agustus 1969, Sumitro membentuk Badan Pengadaan Cengkeh (B
PT) yang diketuai oleh Menteri Perdagangan sendiri. Badan ini,
beranggotakan pabrik-pabrik rokok kretek serta para importir
cengkeh yang ditunjuk pemerintah. Misi BPT ini, kata Dr Sumitro,
"adalah memperkuat posisi kita menghadapi Hongkong dan Singapura
yang sebelumnya 100% menguasai perdagangan cengkeh Zanzibar dan
Madagaskar. Sebelum pembentukan BPT, importir banyak sekali.
Malah ada pabrik-pabrik kretek yang mengimpor sendiri kebutuhan
cengkehnya, sehingga harga dan suplai cengkeh di Indonesia mudah
sekali dipermainkan oleh Hongkong dan Singapura".
Pada mulanya, kesempatan mengimpor diberikan pada PN-PN. Tapi
repotnya, PN-PN yang ditunjuk Menteri Perdagangan itu ada yang
"main" dengan cukong-cukong Hongkong dan Singapura. Untuk
mengimbangi PNPN itu, izin impor cengkeh kemudian diberikan pada
bebersya perusahaan swasta. Di antaranya CV Berkat yang ada
disebut-sebut oleh Probosutejo. Tapi tetap juga misi BPT tidak
terlaksana. Nah, pada saat itulah PT Mercu Buana dan PT Mega
mengajukan permohonan pada Menteri Perdagangan Sumitro untuk
menjadi importir cengkeh di bawah naungan BPT. Sebelumnya, kedua
perusahaan itu sudah dikenal sebagai pengimpor cengkeh, meskipun
tidak tergabung dalam BPT yang populer sebagai "sindikat
cengkeh" itu.
"Waktu itu saya memang tahu bahwa PT Mercu Buana itu milik
Probosutejo. Tapi saya beri izin mengingat itu persahaan
pribumi, untuk mengimbangi CV Berkat yang non-pribumi. Ada pun
PT Mega, saya tidak tahu persis siapa pemiliknya. Kedua
perusahaan itu --Mega dan Mercu Buana saya beri izin, supaya
tidak ada monopoli", begitu penjelasan sang profesor.
Izin buat kedua importir cengkeh itu, ditempeli syarat-syarat
yang berlaku dalam BPT. þ Pertama, dalam tempo 6 bulan sampai
selambat-lambatnya setahun Mega dan Mercu sudah harus membina
hubungan langsung dengan produsen di Zanzibar (Tanzania) dan
Madagaskar (Malagasi), agar tidak tergantung lagi pada
cukong-cukon cengkeh di HK dan Singapura. þ Ke dua, harga
pembelian di Tanzania dan Malagasi harus mendapat persetujuan
Ketua BPT/ Menteri Perdagangan: Begitu pula harga penjualan ke
pabrik-pa- brik kretek. Penentuan harga jual itu menurut Sumitro
sekaligus dimaksud kan "untuk merangsang produksi cengkeh dalam
negeri, yang kini sudah populer di mana-mana".
Dalam harga jual BPT itu, "sudah saya masukkan keuntungan 2%
berupa handling fee bagi importir, serta Dana Cengkeh bagi
pemerintah". Dana itu, kata Sumitro, "merupakan semacarn Dana
Niaga, seperti Cess yang dipungut dari hasil-hasil perkebunan".
Penggunaannya yang diatur oleh Presiden sendiri melalui Sekneg
-- adalah untuk pembangunan dan rehabilitasi prasarana
daerah-daerah produksi. "Kapal-kapal yang dihadiahkan Pak Harto
untuk propinsi-propinsi misalnya", kata Sumitro, "asalnya dari
Dana-Dana Niaga itu". Departemen Keuangan ikut mengawasi
penggunaan dana dana itu. Dan meskipun tidak dimasukkan dalam
APBN, ujarnya lebih lanjut, "seluruh Dana Niaga termasuk Dana
Cengkeh itu kita bukukan secara terperinci dan selalu diperiksa
akuntan. Jadi kalau DPR mau menyelidiki berapa besar dana-dana
itu, tanyakan saja ke Perdagangan".
Prof Sumitro juga menetapkan, bahwa alokasi penjualan cengkeh
BPT ke pabrik-pabrik kretek didasarkan pada pita cukai dan
jumlah produksi masing-masing. Dalam prakteknya kebijaksanaan
ini menyebabkan tampilnya 4 besar -- Gudang Garam, Dji Sam Soe,
Beontoel dan VIP -- yang makin kuat. Sementara itu pabrik-pabrik
midi dan mini mengeluh karena tidak kebagian jatah cengkeh
impor. Ataupun kalau masih dapat, harganya dirasa terlalu tinggi
(TEMPO, 1 Juni 1974, Laporan Utama).
Mengapa jadi begitu? Jawab Prof Sumitro: "Dulu importir
diwajibkan menyalurkan sejumlah cengkeh impor sesuai dengan
kebutuhan pabrik-pabrik kecil itu harus sama dengan harga BPT.
Ketentuan itu untuk melindungi pabrik-pabrik kecil. Tapi saya
tidak tahu bagaimana kebijaksanaan Departemen Perdagangan
sekarang".
Tahun 1972, BPT dibubarkan. Soalnya, "misinya sudah tercapai.
Selanjutnya pengawasan terhadap kelancaran irnpor cengkeh saya
serahkan pada Direktorat Perdagangan Dalam Negeri", tutur
Sumitro, yang berhenti sebagai Menteri Perdagangan bulan April
1973.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini