Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM beberapa tahun terakhir, uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) yang kian mahal menjadi momok bagi mahasiswa, terutama dari kalangan bawah dan menengah. Belakangan, kabar mengenai kenaikan fantastis UKT di sejumlah kampus menjadi viral di media sosial.
Mahalnya biaya pendidikan di PTN dapat ditelusuri akarnya sejak era reformasi. Waktu itu, pemerintah mencanangkan misi penyelenggaraan pendidikan tinggi berkualitas secara merata di seluruh Tanah Air. Untuk mengejar ambisi ini di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, perguruan tinggi negeri diberi otonomi, termasuk meminta dukungan masyarakat untuk ikut membiayai kampus.
Berbekal Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN), sejumlah PTN, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, mendapat status BHMN serta memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga sendiri, termasuk dalam hal keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah penerbitan PP Nomor 61/1999, beberapa PTN mulai membuka jalur penerimaan mahasiswa dengan tarif komersial untuk menarik pendanaan dari masyarakat, di antaranya melalui pembukaan program non-reguler. Sejak 2002, hampir semua PTN membuka program non-reguler dengan biaya pendidikan sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komersialisasi pendidikan oleh PTN kembali mendapat pembenaran dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Atas nama kemandirian keuangan, PT-BHMN dapat membuka jalur penerimaan mahasiswa baru dengan besar-kecilnya sumbangan sebagai dasar penerimaan. Arus besar komersialisasi pendidikan di PTN ini dikukuhkan lewat UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Secara substansi, UU Nomor 9/2009 mendorong kemandirian pendanaan PTN untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Namun, pada praktiknya, kemandirian dan otonomi kampus tidak disertai dengan bantuan dana APBN yang memadai. Akibatnya, PTN dipaksa mencari sumber keuangan sendiri untuk membiayai kegiatan operasional kampus. Sumber pendanaan yang paling mudah diperoleh PTN tentu saja melalui penarikan pungutan biaya kuliah.
Optimalisasi pendapatan dari peserta didik dilakukan PTN dengan memperbesar kuota penerimaan melalui jalur penerimaan dengan tarif komersial, yaitu jalur non-reguler atau jalur mandiri. Tapi, pada saat yang sama, kampus menurunkan alokasi penerimaan mahasiswa dari jalur bersubsidi dengan biaya kuliah murah, yaitu jalur seleksi nasional. Implikasinya, kesempatan bagi anak negeri dari keluarga miskin untuk mengakses PTN makin sempit.
Pada Maret 2010, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Nomor 9/2009 tentang BHP. Pemerintah kemudian menerbitkan PP Nomor 66 Tahun 2010 yang mengembalikan status PT-BHMN menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah. Namun, tak berselang lama, untuk mengisi kekosongan payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi, terbitlah UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Aturan ini mengatur kewenangan PTN-BH membuka dan menutup program studi, mengembangkan kerja sama dan usaha, pendapatan tidak masuk sebagai pendapatan negara bukan pajak, serta pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel.
Pada era UU Nomor 12/2012, negara tetap dituntut berperan dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Melalui bantuan operasional PTN (BOPTN), beban kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa akan berkurang. Mahasiswa hanya menanggung biaya kuliah dengan sistem subsidi silang di bawah sistem UKT. PTN juga diharuskan menerima minimal 20 persen mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu. Namun terbatasnya BOPTN membuat biaya kuliah di PTN tetap terasa sangat mahal bagi mahasiswa miskin.
Mengingkari Amanat Konstitusi
Lemahnya bantuan APBN membuat PTN memiliki ketergantungan tinggi pada pendanaan masyarakat untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi. Namun, alih-alih mengejar pendanaan dari perusahaan atau individu ultra-kaya, pendanaan dari masyarakat lebih banyak diterjemahkan PTN-BH secara sederhana: memungut dana dari peserta didik.
Optimalisasi penerimaan dana dari masyarakat berimplikasi pada semakin mahalnya biaya kuliah di PTN. Kegagalan PTN mengoptimalkan pendanaan dari perusahaan atau individu ultrakaya harus dibayar mahal dengan biaya kuliah yang makin menggigit. PTN menjadi makin sulit diakses oleh mahasiswa miskin. Ironisnya, makin mahalnya biaya kuliah tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Secara konseptual, pemberian otonomi dan kemandirian pengelolaan keuangan kepada PTN akan meningkatkan mutu pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat, antara lain melalui kemampuan mendiversifikasi pendapatan selain dari APBN.
Dalam skenario ideal, diversifikasi pendapatan akan mendorong transformasi pendanaan universitas sehingga tidak bergantung pada APBN dan tidak mengandalkan pungutan dari peserta didik. Namun yang terjadi adalah kecenderungan komersialisasi pendidikan di PTN makin kuat seiring dengan turunnya dukungan APBN.
Sejak awal, konstitusi telah memberi amanat bahwa salah satu intervensi terpenting negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Implikasi tugas konstitusi ini sangat jelas: negara harus menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua anak bangsa. Semua anak bangsa harus memiliki peluang yang sama untuk mengakses pendidikan.
Kuliah murah bahkan gratis secara jelas lebih mahal dan membutuhkan dukungan anggaran yang masif. Namun manfaat pendidikan tinggi bagi perekonomian jauh lebih besar daripada biaya yang ditanggung pemerintah dan masyarakat. Akses tanpa batas ke pendidikan tinggi menawarkan janji manfaat yang lebih besar kepada masyarakat secara keseluruhan.
Kewajiban konstitusi ihwal anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN serta anggaran pendapatan dan belanja daerah sejatinya merupakan jendela kesempatan yang besar untuk mendorong tingkat partisipasi pendidikan tinggi, terutama mahasiswa dari kelas bawah di PTN.
Pembukaan Akses Seluas-luasnya
Untuk membuka akses masyarakat miskin terhadap pendidikan tinggi, sejak 2010 pemerintah meluncurkan program Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi). Program Bidikmisi dirancang bukan sebagai beasiswa yang merupakan penghargaan atas prestasi akademik, melainkan bantuan biaya pendidikan agar anak keluarga miskin dapat mengakses pendidikan tinggi.
Dengan memberikan peluang berkuliah bagi mahasiswa miskin lewat bantuan biaya pendidikan hingga delapan semester, diharapkan rantai kemiskinan dapat diputus dan kesenjangan ekonomi bisa ditekan. Namun, pada 2020, program Bidikmisi berganti menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dengan implikasi pendaftar KIP Kuliah harus merupakan penerima KIP saat SMA atau bagian dari penerima Program Keluarga Harapan (PKH).
Namun, sebagaimana program bantuan sosial pemerintah lainnya, persoalan lemahnya basis data dan salahnya sasaran penerima program masih menjadi masalah besar dalam pelaksanaan program Bidikmisi atau KIP Kuliah. Dengan hanya menyasar kelompok miskin, kelompok penduduk “rentan miskin” dan “hampir miskin”—yang akses ke pendidikan tingginya juga terbatas—tak bisa mengakses program ini. Jadi fenomena exclusion error pada KIP Kuliah masih sangat besar.
Ketika pelaksanaan program masih banyak yang salah sasaran, baik secara inclusion error maupun exclusion error, pemberian subsidi secara langsung untuk fasilitas yang diakses rakyat akan menjadi lebih berkeadilan. Membuka akses masyarakat seluas mungkin ke PTN, yang sebagian besar merupakan kampus-kampus terbaik di negeri ini, menjadi pilihan terbaik.
Bantuan dana pemerintah ke perguruan tinggi negeri selama ini terfokus pada ambisi untuk melambungkan peringkat global kampus. Subsidi pemerintah untuk PTN seharusnya lebih ditujukan bagi peningkatan akses masyarakat kelas bawah terhadap pendidikan tinggi, bukan mengejar status peringkat yang semu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo