Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRAGEDI Lampung memaksa kita berkaca pada cermin retak. Lalu bermunculanlah berbagai citraan yang sungguh tak menyenangkan. Hilangnya kepercayaan terhadap hukum. Melorotnya wibawa pemerintah—yang tak mampu mengantisipasi dan mencegah konflik di wilayahnya. Dan yang sungguh menyakitkan: hancurnya ikatan sosial ketika antaretnis menolak bertoleransi, saling usir dan bunuh.
Lampung tak pula sendirian. Di berbagai wilayah Tanah Air, konflik komunal antaretnis selalu terulang, seperti di Tapanuli Selatan (Sumatera Utara), Ambon ( Maluku), dan Papua. Di Adonara, Flores Timur, urusan tanah memicu pertikaian beberapa dekade, dan selalu memakan korban jiwa. Konflik laten ini hanya memerlukan pemantik kecil untuk mengobarkan perseteruan yang menjalar cepat, memakan korban nyawa dan harta benda, serta memutus hubungan antarkomunitas. Kasus Lampung Selatan memakan 14 jiwa, mengakibatkan ratusan rumah rusak, dan membuat hampir 2.000 penduduk mengungsi.
Insiden berdarah itu pecah dua pekan lalu, tatkala tersiar kabar ada dua gadis Desa Agom dilecehkan pemuda Desa Balinuraga. Alih-alih mencari solusi hukum atau penyelesaian adat melalui tetua desa, penduduk malah baku bunuh. Sampai-sampai 4.000 aparat diterjunkan untuk meredam kekerasan.
Tragedi Lampung merupakan siratan lemahnya—untuk tak mengatakan gagalnya—antisipasi dan pemetaan potensi konflik lokal. Tanpa antisipasi di hulu, bisa diduga tak ada upaya "cegah tangkal" di hilir terhadap konflik-konflik komunal.
Munculnya kesenjangan ekonomi banyak disebut sebagai potensi laten konflik Lampung. Kita tahu, Lampung merupakan salah satu "sentra transmigrasi" sejak sebelum 1958. Hingga 1990 saja, hampir 108 ribu keluarga asal Jawa dan Bali mengalir ke Lampung Tengah, Utara, dan Selatan.
Sikap warga lokal yang kini menolak perdamaian merupakan kemunduran besar dari masa-masa awal perbauran, ketika mereka reseptif terhadap saudara-saudaranya dari suku, agama, dan kebudayaan berbeda. Bibit-bibit konflik memang muncul tatkala kaum pendatang lebih maju secara sosial dan ekonomi. Di sinilah pentingnya pemerintah lokal dan pusat memberi perhatian setara kepada warga lokal—seperti kepada masyarakat transmigrasi. Dalam skala lokal di Lampung Selatan, perlu disegerakan sejumlah urgensi.
Pertama-tama, mendorong penegakan hukum seadil-adilnya. Polisi punya kans merebut kembali kepercayaan masyarakat jika proses terhadap pelaku tindak kriminal ditegakkan dengan cepat, transparan, dan adil. Dari aspek politik, partai-partai yang tidak terlihat perannya dalam konflik-konflik komunal kudu menajamkan akarnya pada masyarakat lokal dan ikut menjadi penentu integrasi.
Pemimpin informal daerah pun perlu dibangkitkan perannya dengan lebih nyata: jangan sekadar dipanggil rapat dan dimintai pendapat bila konflik sudah pecah. Mereka dapat disiapkan menjadi agen-agen perubahan sosial yang propluralisme dan menyokong harmoni antarkomunitas. Para pemimpin informal hendaknya punya "rasa memiliki" yang lebih jauh daripada komunitasnya, di luar semangat etnis yang primordialistik. Kerja sama antarkomunitas di bidang kesenian, ekonomi kecil, dan budaya merupakan cara membangun hubungan yang boleh jadi terdengar "klasik", tapi bila melibatkan rakyat jelata secara aktif dapat menjadi alternatif yang meredam konflik komunal.
berita terkait di halaman 46
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo