Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kongkalikong Menggangsir Anggaran

4 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGAKUAN Dahlan Iskan mengantongi daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat pemeras badan usaha milik negara mesti ditanggapi serius. Sebagai menteri yang mengurusi 141 perusahaan pelat merah, Dahlan tentu tak asal ngomong. Menteri yang dikenal tak menyukai acara protokoler itu pasti sudah meminta laporan terperinci tentang pemalakan tersebut dari jajarannya. Kita berharap Menteri Dahlan tak keder mengungkap kebobrokan ini.

Sebaiknya Menteri Dahlan segera melaporkan perbuatan melawan hukum ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sampaikan tanpa tedeng aling-aling siapa saja—sepuluh orang atau mungkin lebih—politikus di Senayan yang kerap menagih upeti itu. Kalau memang para direktur BUMN itu bersih, tak usah risi menyampaikan polah legislator yang mengajak main mata menggangsir anggaran. Faktanya, ada pengakuan direksi baru PT Merpati Nusantara Airlines bahwa direksi lama terpaksa menyetor Rp 5 miliar—dari komitmen Rp 18 miliar—kepada para legislator itu agar dana penyelamatan perusahaan bisa dicairkan.

Menteri Dahlan tak usah berkilah bahwa dia hanya berkewajiban mengawal BUMN, dan bukan menjaga Dewan, sehingga tak perlu melaporkan kebobrokan ini. Mengadukan perkara suap ini tentulah akan berefek ganda, dan tentu saja sangat terpuji, yakni agar BUMN tetap steril sekaligus mencegah terulangnya pemalakan anggota Dewan yang akan sering berhadapan dengan anak buah Dahlan di BUMN. Mengharapkan para politikus di Senayan berinisiatif mengundang dia mengungkap masalah ini secara terbuka rasanya bak menunggu Godot. Langkah taktis ini penting agar kelak anak buah Dahlan tak akan lagi dihambat ketika hendak meminta persetujuan pencairan dana penyelamatan.

Merpati memang bisa dijadikan pintu masuk untuk membongkar kejahatan terselubung ini. Maskapai pelat merah yang armadanya banyak beroperasi di Indonesia timur itu kebetulan sedang sekarat. Utangnya Rp 2,1 triliun, sehingga sangat membutuhkan dana penyelamatan melalui mekanisme penyertaan modal negara (PMN). Sejumlah BUMN lain membutuhkan skema penyelamatan yang sama. Pola PMN itulah yang selama ini dirasakan paling enak atau menjadi target empuk untuk dikulik. Kebetulan Merpati tahun lalu mengajukan anggaran Rp 561 miliar ke DPR untuk menyelamatkan bisnisnya. Anggaran itu akhirnya cair pada Desember 2011.

Bagus kalau direksi Merpati tegas menolak permintaan sisa setoran Rp 13 miliar yang ditagih seorang anggota Komisi Keuangan DPR. Apa pun dalihnya, jika tuntutan upeti itu dipenuhi, tindakan tersebut bisa dibilang penyuapan. Baik yang menyuap maupun yang disuap bisa dikenai sanksi pidana. Sekali lagi, laporkan saja mereka yang kerap menagih sisa komitmen itu ke KPK, ketimbang isu duit setoran dari Merpati ini berkembang tak tentu arah. Kelak KPK bisa segera memeriksa siapa saja anggota Dewan dan direksi lama Merpati yang berkaitan dengan pengucuran anggaran. Langkah komisi antirasuah itu tak boleh surut meski Badan Kehormatan di Senayan berencana mengusut dugaan pelanggaran etik ini.

Polah bobrok anggota DPR menjadikan BUMN sebagai sapi perah sudah jamak terdengar. Para direktur perusahaan negara itu diminta menyetor duit hingga puluhan miliar rupiah jika kepentingan mereka hendak disetujui. Praktek pemerasan atau pemberian upeti kepada Dewan memang sudah sampai tahap memuakkan. Mereka terbilang melakukan perbuatan kriminal dua sisi: menipu dan menggerogoti uang negara. Bayangkan, anggota DPR yang sudah mendapat uang jalan, uang hotel, atau uang rapat kemudian mendapat hal sama dari counterpart mereka. Kinilah saatnya direksi BUMN menolak segala bentuk permintaan itu, termasuk tuntutan uang rapat miliaran rupiah yang masih terjadi.

Sebaliknya, kongkalikong anggaran bisa juga dilakukan para pemimpin BUMN dengan cara memanfaatkan Dewan. Hal itu pernah terjadi, misalnya, ketika Dahlan berencana melikuidasi sekitar 50 perusahaan yang terus merugi. Rencana ini menuai reaksi sejumlah direktur yang terancam posisinya. Mereka lalu diam-diam "melambung" ke sejumlah anggota DPR, meminta posisi mereka diselamatkan. Jelas "kerja sama" semacam itu perlu upeti dan sumbernya lagi-lagi kas BUMN.

Praktek busuk semacam ini mesti dihentikan. BUMN harus bebas dari perahan siapa pun: DPR, partai politik, atau penguasa. Siapa pun yang terlibat kejahatan ini mesti dihukum, termasuk direksi BUMN jika terbukti menyuap.

berita terkait di halaman 108

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus