Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pengarang pernah mengatakan, masa lalu adalah sebuah negeri asing. Senantiasa asing. Kita, yang hidup hari ini, tak akan pernah kenal benar dunia luar dan dalamnya, jalan raya dan jurang-jurangnya, penghuni dan perkakasnya.
Tentu saja sejarah ditulis. Tak hanya satu kali dan tak hanya oleh satu orang. Tentu saja para sejarawan tak jarang saling debat tentang suatu masa yang tak ingin dilupakan, yang dramatis dan mungkin juga traumatis, katakanlah tahun 1965 kitaāsebuah masa lalu yang ingin ditengok kembali. Dokumen pun dikumpulkan dan dianalisis, statistik dibaca kembali, wawancara direkam. Tapi sejauh mana sebuah rekonstruksi bisa menghadirkan kembali masa lalu?
Ingatan datang dari gua yang gelap; ia bahkan bagian dari gua itu. Ketika kita menampilkannya di bawah cahaya yang menyorot, sepatutnya kita tahu ia telah berubah. Rekonstruksi itu mengandung metamorfosis. Terutama jika kita sadar bahwa masa lalu adalah seperti sebuah teks dengan bahasa lain yang harus diterjemahkan, dan tiap terjemahan mengandung transformasi, karena dilakukan dalam waktu yang berbeda dan suasana yang berbeda pula.
Juga karena kita mencipta.
Sekitar 10 pekan sebelum meninggal, Agustus 1941, Rabindranath Tagore dengan tajam, bahkan dengan sengit, mengecam penulisan sejarah. "Aku semata-mata seorang penyair," tulisnya. "Akuā¦ seorang pencipta yang sepenuhnya sendirian dan merdeka. Hanya sedikit hal yang menyangkutkan aku ke dalam jaring peristiwa di luar diriku. Sukar bagiku untuk berdamai dengan sejarawan yang memamerkan kepintarannya ketika ia mencoba memaksaku keluar dari pusat kreativitaskuā¦."
Tagore tak percaya kepada historiografi. Meskipun, seperti dikatakan Ranajit Guha dalam History at the Limit of World-History, sang penyairādi bagian akhir dari paragraf yang dikutip di atasāmengembalikan sejarah dalam percaturan. Ia menengok masa kecilnya, "kembali ke masa pembuka kaĀrierku sebagai penyair".
Yang dikisahkannya kemudian akan jadi contoh, bagaimana sejarah yang paling otentik (setidaknya bagi Tagore) adalah cerita pengalaman diri yang menyerap duniaāseperti ketika yang disaksikannya pertama kali di masa kanak-kanak itu: embun yang berkilau di pucuk nyiur di waktu fajar, himpunan tebal awan gelap membiru di atas rumah moyangnya di waktu senja, seekor lembu yang menjilati punggung anaknyaā¦.
Pengalaman itu privat, dan Tagore menekankan itu: sejarah bukan yang tercatat dari tokoh dan adegan publik. Sejarah adalah cerita pratyahik sukhduhkha, "suka-duka sehari-hari" manusia, yang disampaikan secara kreatif. Sejarah-Dunia dalam pengertian Hegel akan tak mampu menangkap itu.
Kita tahu Hegel, dalam filsafatnya yang berkembang kemudian, melihat sejarah bukan kisah seseorang dalam kesendiriannya. Sejarah mengikuti desain dari langitāsebuah kisah besar manusia pada umumnya, progresi menuju kemerdekaan, melalui dialektika dan tahap-tahap kemajuan. Dalam pandangan Hegel di masa tuanya (yang terpantul juga dalam pandangan Marx), bayang-bayang eskatologi agama yang dicoba disingkirkan oleh Zaman Pencerahan diam-diam kembali: nasib manusia bermula dari asal, dan ada takdir, dan ada pergulatan ke arah penebusan, ada surga. Dengan catatan: bagi Hegel, "isi keseluruhan sejarah dunia bersifat rasional, dan memang harus rasional".
Demikianlah subyek sejarah bukan seorang manusia yang bersendiri menatap embun dan punggung lembu, awan senja dan kilau fajar. Pelaku sejarah adalah Roh, Geist. Suka-duka sehari-hari orang seorangādalam tubuhnya yang fanaābukan kisah yang penting.
Tak urung, dalam gerak sejarah yang mengikuti desain itu, tak akan diakui keganjilan penciptaan, karena semua sudah ditetapkan. Yang mempesona, yang menakjubkan, tak mendapat tempat. Semua bisa dijelaskan.
Hegel, sebagaimana agama dan mithologi, menggambarkan manusia sebagai yang bermula dari asal. Namun tak seluruhnya tepat. Manusia memulai hidupnya tanpa menyaĀdari asal itu. Ia bergerak dengan langkah pertama, kata permulaan, hasrat pembuka, yang ia lakukan tanpa jelas benar apa selanjutnya dan bagaimana nanti akhirnya. Manusia tak ditentukan dari asal, tapi membangun kisahnya dari awal. Sebab pada dasarnya, ia pencipta.
Tak berarti kita hanya bisa berpegang pada sikap Tagore yang lebih suka menyambut "sejarah isi batinnya yang misterius". Puisi seperti yang ditulis Tagore bisa memperkaya pengalaman kita, tapi mengenal masa lalu tak cukup dengan itu. Manusia tak hanya sebuah kamar yang privat. Riwayatnyaā-sebagai penciptaāmau tak mau mengandung dimensi politik. Ia berada di sebuah ruang dan waktu dengan yang lainābercakap-cakap, bergabung, berbentrok, berlagaājuga ketika mencoba mengunjungi kembali masa lalu, negeri asing itu.
Dan itu adalah proses yang akan berlangsung terus-menerus. Masa lalu, ibarat sebuah negeri asing, akan punya potret yang selamanya berbeda, selamanya bermetamorfosis. Tapi dengan demikian, juga masa depan tidak akan seperti dibayangkan Hegel. Ia selalu lahir dari "the production of novelty", untuk memakai kata Whitehead. Ia tak akan punya akhir yang terjamin, tapi mungkin sebab itu mendebarkan, mengasyikkan, mencemaskan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo