Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Selamatkan Ruang Hijau Tersisa

Ruang terbuka hijau di Jakarta kurang dari sepuluh persen. Pekerjaan tak ringan bagi gubernur baru DKI.

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang terjadi seandainya kawasan Senayan masih dibiarkan menjadi perkampungan Betawi, dengan tiap keluarga memiliki kebun yang luas, dan perkampungannya dibatasi rerimbunan pohon nanas? Bagaimana pula jika daerah Kelapa Gading tetap berupa hamparan sawah dan rawa? Jakarta pasti tak akan pernah tercatat sebagai kota ketiga dengan tingkat polusi tertinggi di dunia setelah Kota Meksiko dan Bangkok.

Jarum jam sejarah tentu tak bisa diputar ke masa setengah abad silam. Sebagai ibu kota, Jakarta terus berderap membangun. Bermacam pabrik, kantor, perumahan, hingga berderet-deret mal berdiri. Jumlah penduduk melar dari tahun ke tahun. Kota ini telah bergerak cepat menjadi metropolitan dengan gedung jangkung tak terhitung. Ia bahkan tak lagi bisa mengontrol dirinya sendiri.

Maka, peringkat kota tercemar itu pun tersemat. Kita bahkan, dalam setahun hidup di Jakarta, cuma memiliki 22 hari udara bersih. Selebihnya, 223 hari udara sedang, 95 hari udara tak sehat, dan 4 hari sangat tak sehat. Data lain menunjukkan: hampir separuh wilayah DKI sudah berada di bawah permukaan laut. Lalu, dari tahun ke tahun, kota yang telah memasuki usia 480 tahun ini semakin tak berdaya menghadapi terjangan banjir.

Jakarta kini tengah memasuki apa yang disebut sejumlah ahli lingkungan sebagai ”bunuh diri ekologi”. Ruang terbuka hijau semakin menciut. Masterplan DKI pertama sejak Indonesia merdeka, yang disebut Rentjana Induk Djakarta 1965-1985, menetapkan ”sabuk hijau” Jakarta agar terlindung dari bahaya banjir haruslah minimal 37,2 persen dari total luas Jakarta. Sekarang ruang hijau cuma tersisa seperempatnya. Ini jelas mencemaskan.

Salah satu biang keladi ”bencana” ini adalah tak patuhnya pada cetak biru awal pembangunan DKI. Masterplan telah berubah berkali-kali. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah lebih tunduk pada keinginan para developer dan pedagang ketimbang pada garis kebijakan yang telah ditetapkannya sendiri.

Untuk soal ini, kita mesti berkaca pada pemerintah Singapura, yang sejak awal menetapkan perannya sebagai pengembang. Pemerintahlah yang menentukan sebuah daerah dikembangkan menjadi apa, sesuai dengan perencanaan tata kota. Pihak swasta tinggal diminta membangun ruang terbuka hijau bila mereka hendak membangun suatu tempat.

”Penyakit” menyerah pada kepentingan pengusaha itu tentu tak bisa dibiarkan terus mengendap. Pergantian Gubernur DKI pada awal Oktober lalu bisa menjadi momentum penting bagi Fauzi Bowo untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya lebih baik daripada para pendahulunya. Ia harus sanggup mempertahankan habis-habisan ruang terbuka hijau yang masih tersisa dan bila perlu meningkatkannya. Ikrar Fauzi untuk memaksa setiap satu kelurahan memiliki satu taman interaktif seluas seribu meter persegi mudah-mudahan tak semata berakhir janji.

Pemerintah baru DKI setidaknya perlu mengefektifkan ruang terbuka hijau yang ada, termasuk median jalan. Daya guna lingkungan juga perlu ditingkatkan dengan cara mengubah tanah jadi lebih menyerap atau menggalakkan penanaman pohon besar. Masyarakat pun mesti dilibatkan. Warga, misalnya, perlu diajak ramai-ramai membuat biopori (lubang-lubang kecil penyerap air) di pekarangan rumah mereka untuk meningkatkan resapan air. Ini program sederhana yang tak sulit diterapkan oleh semua warga.

Dengan merangkul warga, juga dengan kebijakan pemerintah yang konsisten, niscaya ruang hijau Jakarta tetap terselamatkan. Peringkat kota terpolutif pun tak akan pernah bertengger kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus