Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ojek online, atau lazim disingkat ojol, telah menjadi khazanah baru dalam dunia transportasi di Indonesia, setidaknya dalam empat tahun terakhir. Bukan hanya di kota besar, fenomena ini sudah menembus kota-kota kecil seperti Kutoarjo dan Kebumen. Hebatnya, ojek online bukan hanya melayani angkutan orang tapi juga berbagai kebutuhan masyarakat, seperti order makanan, pengiriman barang, dan bahkan jasa pijat. Maka wajar jika keberadaan mereka menjadi oasis yang sangat menyegarkan bagi masyarakat untuk kebutuhan transportasi dan pada akhirnya menggairahkan pertumbuhan ekonomi riil. Sebuah fenomena yang amat positif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, dalam perjalanan waktu, keberadaan ojek online tidak sepi dari persoalan yang tak kalah krusial. Salah satu persoalan itu adalah desakan agar ojek online dilegalkan sebagai angkutan umum. Ini sebuah tuntutan yang masuk akal jika merujuk pada masifnya penggunaan ojek online yang secara empiris memang menjadi angkutan umum. Namun, jika merujuk pada sisi legalitas, ojek online tak mungkin menjadi angkutan umum karena tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di saat tuntutan itu masih menemui jalan buntu, muncul pula tuntutan agar pengaturan tarif dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Komunitas sopir ojek online mendesak pemerintah untuk menaikkan tarif menjadi Rp 3.200 per kilometer. Komunitas sopir merasa tarifnya saat ini terlalu rendah, apalagi masih kena potongan oleh pihak aplikator sebesar 20 persen. Di sisi lain, pihak aplikator tampak kukuh menolak usulan para sopir karena kenaikan yang terlalu tinggi justru akan menggerus minat konsumen untuk menggunakan ojek online dan akhirnya pendapatan sopir akan turun.
Karakter bisnis ojek online memang unik. Di satu sisi, tarif ditentukan oleh aplikator. Namun, di sisi lain, alat produksi (sepeda motor) adalah milik si pengemudi, yang tidak diikutsertakan dalam menentukan besaran tarif. Karena itu, intervensi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, menjadi sangat penting. Tarif yang berkesinambungan itu hal yang penting untuk menjaga kesinambungan operator, tapi tarif yang kelewat mahal juga tidak adil bagi konsumen. Perlu dirumuskan tarif yang win-win solution, yang memperhatikan kepentingan dua pihak, yakni konsumen dan operator.
Dalam hal ini setidaknya terdapat dua hal krusial. Pertama, tuntutan kenaikan tarif oleh komunitas sopir ojek online adalah hal yang wajar. Namun, persentase usulan versi sopir ojek online terlalu tinggi karena mencapai Rp 3.200 per kilometer. Usut punya usut, usulan itu berbasis bahan bakar minyak jenis Pertamax. Padahal, siapa yang bisa mengontrol bahwa para sopir ojek online tersebut benar betul-betul menggunakan Pertamax? Bagaimana kalau sopir tersebut menggunakan bahan bakar jenis Premium? Sebab, antara Pertamax dan Premium mempunyai implikasi yang berbeda dalam komponen tarif.
Kedua, pihak aplikator juga tidak boleh terlalu jemawa menolak permintaan sopir untuk menaikkan tarif. Ada kecenderungan saat ini persentase tarif yang ditetapkan oleh aplikator terlalu rendah dan eksploitatif. Hasil survei Institut Studi Transportasi membuktikan bahwa pendapatan sopir ojek online tidak signifikan lagi dan bahkan cenderung turun. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan: struktur tarifnya yang terlalu rendah dan banyak tarif promo atau makin ketatnya persaingan antar-aplikator ojek online.
Maka, harus diambil jalan tengah dalam menentukan tarif ojek online. Pertama, harus ada keterlibatan pemerintah, yakni Kementerian Perhubungan, yang kini tengah merampungkan Peraturan Menteri tentang Perlindungan Pengguna Ojek Online.
Kedua, harus ada pengaturan yang kuat, yang berfokus pada perlindungan konsumen dan bahkan sopir ojek online. Bagaimanapun, kendaraan roda dua adalah angkutan yang paling rendah aspek keselamatannya. Dan, terkait dengan tarif, idealnya mengacu pada ketentuan tarif batas atas dan/atau batas bawah. Batas atas untuk melindungi konsumen agar tarif ojek online tidak menyundul langit. Batas bawah untuk melindungi operator agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat karena ada yang banting harga. Model tarif demikian lazim digunakan untuk semua moda transportasi umum, termasuk tarif pesawat terbang dan bahkan tarif kereta api yang monopolistik.
Pada akhirnya, fenomena ojek online sebagai angkutan umum harus diantisipasi secara serius oleh semua pihak, termasuk pemerintah daerah. Bukan hanya mengatur masalah tarif, keberadaan ojek online sebisa mungkin barus diatur secara ketat, khususnya dari sisi operasional, seperti sistem zona dan jam operasi.
Pada dasarnya kendaraan roda dua masih dimungkinkan sebagai moda transportasi umum jika hanya sebatas angkutan lingkungan dan atau angkutan feeder, transportasi pengumpan. Apalagi, dalam waktu dekat, berbagai jenis angkutan massal akan beroperasi di Jakarta, seperti MRT, LRT, dan tentu saja KRL dan Transjakarta, yang sangat membutuhkan angkutan pengumpan. Tanpa angkutan pengumpan, pengguna akan kesulitan mengakses angkutan massal yang ada. Bagi pemerintah daerah, fenomena ojek online harus menjadi tantangan untuk segera mewujudkan sarana transportasi umum yang manusiawi, terintegrasi, dan tarifnya terjangkau.