Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Servetus

Para imam katolik dan protestan marah. karya tulis michael servetus, tentang yesus dianggap menyim- pang dari ajaran. ia dihukum mati. dibakar di bukit champel, jenewa oleh jean calvin.

20 Februari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMAN -- atau bagaimana iman itu ditafsirkan -- terkadang bukan lagi sebuah cahaya lampu yang menemani kita dalam perjalanan mencari ia menjadi lidah api, yang menyala, membakar, kuat, kuasa, gagah, tapi juga pongah. Terutama ketika masa terasa gelap. Seperti di sebuah hari musim gugur di tahun 1553. Michael Servetus, seorang ahli agama asal Spanyol, dihukum mati di bukit Champel, di selatan Kota Jenewa. Ia diikat ke sebuah tiang, dan dibakar pelan-pelan. Ia tewas kesakitan dengan jangat yang jadi hitam, hangus. Apa salahnya? Ia menulis buku, ia menulis surat, ia berpendapat. Tetapi ia punya kesimpulannya sendiri tentang Tuhan, dan sebab itu mengusik para penjaga iman Protestan di Jenewa, kota yang telah jadi sebuah teokrasi yang lebih keras ketimbang Roma. Adalah Jean Calvin sendiri yang menyeret Servetus ke dalam api. Pelopor dahsyat dari Protestantisme itulah yang memimpin Jenewa ke suatu masa ketika iman sama artinya dengan ketidaksabaran. Servetus sebenarnya hanya salah satu suara yang mengguncang, di zaman ketika doktrin retak-retak seperti katedral tua yang digocoh gempa. Ia lahir di Villanueva, Spanyol, mungkin di tahun 1511. Ia bermula belajar ilmu hukum di Toulouse, Perancis. Di sini ia menemukan Injil, yang ia baca "seribu kali" dengan haru. Tapi kabarnya ia juga membaca Quran dan terpengaruh oleh Yudaisme, dan sebab itu sangat meragukan doktrin Trinitas. Martin Luther menjulukinya "Si Arab". Di tahun 1531 ia menerbitkan bukunya, De Trinitatis erroribus libri vii. Konon ia mengemukakan bahwa inilah arti Yesus sebagai "Putra Allah": Tuhan Bapa mengembuskan Logos ke dalam dirinya, tapi Sang Putra tak setara dengan Sang Bapa. Seperti dikutip oleh Will Durant dalam jilid ke- 6 dari The Story of Civilization, bagi Servetus, Yesus "dikirim oleh Sang Bapa dengan cara yang tak berbeda seperti salah seorang Nabi". Ditulis dalam usia 20-an tahun, dengan bahasa Latin yang masih kaku, buku itu cukup membuat amarah para imam Katolik dan pemimpin Protestan sekaligus, di tengah suhu panas (dan berdarah) yang menguasai mereka. Di tahun 1532, Servetus pun buru-buru pindah ke Perancis. Tapi di sana ia dihadang. Badan Inkuisisi Gereja Katolik -- yang bertugas mengusut lurus atau tidaknya iman seseorang, dengan cara menginterogasinya dan kalau perlu menyiksanya -- mengeluarkan surat perintah penangkapan. Servetus lari lagi sampai Wina, dengan nama samaran Michel de Villeneuve. Selama itu ia berhasil menguasai ilmu kedokteran, tetapi ia toh selalu ingin mengemukakan pendapatnya tentang agama. Di tahun 1546 ia menyelesaikan Christianismi Restitutio, dan mengirim naskahnya ke Calvin. Mungkin ia ingin menunjukkan oposisinya terhadap tafsir Calvin atas Injil. Bagi Servetus, Tuhan tak menakdirkan sukma manusia ke neraka. Baginya, Tuhan tak menghukum orang yang tak menghukum dirinya sendiri. Iman itu baik, tetapi Cinta Kasih lebih baik. Calvin, yang lebih memandang Tuhan seperti yang tergambar dalam Perjanjian Lama -- angker dan penghukum -- tak melayani Servetus. Ia hanya mengirimkan karyanya, Christianae religionis institutio. Servetus pun mengembalikannya -- dengan disertai catatan yang penuh hinaan, disusul dengan serangkaian surat yang mencemooh. "Bagimu manusia adalah kopor yang tak bergerak, dan Tuhan hanya sebuah gagasan ganjil dari kemauan yang diperbudak". Calvin tak bisa memaafkan cercaan ini. Calvin pula, lewat orang lain, yang memberitahu padri inkuisitor di Perancis tentang tempat bersembunyi Servetus. Kerja sama Protestan-Katolik yang tak lazim ini yang akhirnya membuat Servetus tertangkap di Wina. Ia memang berhasil melarikan diri. Tapi nasibnya sudah diputuskan: pengadilan sipil Wina, dengan napas Gereja Katolik, memvonisnya dengan hukuman bakar bila tertangkap. Anehnya ia lari ke Jenewa, tempat Calvin berkuasa. Mungkin Servetus berpikir bahwa orang Protestan, yang di Perancis dianiaya karena berbeda keyakinan, akan lebih toleran di kota itu. Tapi tidak. Mereka membakarnya. Calvin kemudian membela kekejaman di bukit Champel itu dengan sebuah argumen yang kita kenal: Aku beriman kepada Kitab Suci, maka akulah yang tahu kebenaran itu. Yang tak sama dengan aku adalah musuh ajaran, musuh Tuhan, harus ditiadakan. Argumen dengan api itu masih bisa kita dengar kini, dalam pelbagai versinya, dalam pelbagai agama, meskipun di tahun 1903, seperti sebuah sesal, sebuah monumen untuk Servetus dibangun di bukit Champel. Salah satu donaturnya: gereja Protestan yang dulu dipimpin Calvin. Tampaknya manusia sudah lebih sadar tentang kerumitannya sendiri, sedikit. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus