GARUDA membuat logo baru, itu hebat. Pak Lumenta meningkatkan fasilitas untuk para karyawannya sungguh patut dihargai. Tapi, rupa-rupanya, segala upaya Pak Lumenta untuk mengangkat/meningkatkan pelayanan mutu Garuda tidak ditunjang atau dihayati karyawan lapangan. Pengalaman-pengalaman yang pahit dan menjengkelkan dalam perjalanan telah kami dan rekan/tamu alami. Semula kami merasa tidak perlu menuangkannya dalam media massa, tapi mana tahan kalau di satu pihak kami bangga melihat perubahan yang dilakukan Pak Lumenta, tapi di pihak lain jengkel melihat karyawan-karyawan Garuda yang kurang menghargai usaha Pak Lumenta dalam meningkatkan pelayanan Garuda. Itu terjadi pada perjalanan kami tanggal 24 Juni 1985, ketika akan kembali dari Solo ke Jakarta bersama beberapa teman. Tiket saya sudah OK sejak dari Jakarta, tapi dua orang teman yang akan membeli tiket dan langsung berangkat ke Jakarta pada saat yang bersamaan terpaksa tinggal. Sebab, menurut petugas loket di lapangan terbang Adisumarmo, Solo, pesawat sudah penuh. Tapi begitu saya masuk ke pesawat, ternyata terdapat kursi kosong kira-kira 15 buah, dan saya perhatikan juga ternyata cargo-nya pun tidak penuh .... Wah, kalau begini pantas saja Garuda merugi terus! (ketika hal tersebut saya tanyakan kepada pramugari, mereka berkata tidak tahu apa-apa mengenai jumlah penumpang yang akan berangkat, karena yang mengatur adalah crew di darat). Lain hal lagi menimpa tamu kami pada September 1985. Pada saat itu, ia akan berangkat dari Jakarta menuju Ambon. Tiket dibeli dari suatu biro perjalanan dan dinyatakan sudah OK. Ternyata, keesokan harinya ketika dia mau berangkat, ketika check-in, petugas menyatakan bahwa namanya tidak tercantum dalam daftar penumpang. Sehingga dia tidak jadi berangkat hari itu. Siangnya dia mengklaim pihak biro perjalanan karena namanya tidak terdapat dalam daftar penumpang, padahal menurut apa yang tertulis di tiket, semua sudah OK. Pihak biro perjalanan pun, rupanya, tidak mau disalahkan dan berusaha memberikan servisnya yang terbaik dengan membuktikan bahwa apa yang sudah dilakukannya semua benar belaka, yaitu dengan jalan menyerahkan print-out daftar penumpang yang berangkat hari itu. Kertas itu diperoleh langsung dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dari situ ternyata kelihatan, nama tamu kami tersebut sudah diganti dengan nama orang lain. Hal lain terjadi pula pada 26 Oktober, penerbangan dari Jakarta ke Ambon. Ketika itu dua orang tamu sudah punya tiket business class yang dibeli dari salah satu biro perjalanan yang menjadi langganannya, masing-masing tiket seharga Rp 419.000 (PP). Keesokan harinya, dua orang temannya mau berangkat dengan pesawat, tujuan, dan jadwal yang sama. Kedua orang tersebut membeli tiket di Bandar Udara Soekarno-Hatta, tapi ketika hendak membayar mereka tercengang karena ternyata jumlah yang harus dibayar lebih mahal dari tiket kedua orang temannya yang dibeli dari travel biro, yaitu seharga Rp 432.600 (PP) per orang. Tentu saja mereka menanyakan perbedaan harga tersebut. Menurut penjual tiket, perbedaan itu terletak pada perhitungan sektor business class yang bedanya 15% dari harga tiket kelas ekonomi. Sedangkan, menurut kantor pusat Garuda, dan perjalanan biro yang menjual tiket GA untuk penerbangan domestik, perhitungan dari business class dengan economy class bedanya 10%. Kami kebingungan, apakah tidak ada petunjuk buku tarif yang merata/sama yang digunakan sebagai patokan perhitungan harga-harga tiket tersebut. Kemudian setelah masalah perbedaan harga, hal yang lebih menyebalkan adalah dimintanya uang servis, karena beli tiket dan pergi langsung tanpa booking terlebih dahulu (Go Show Service). Bagaimana Garuda akan maju, bila para karyawannya tidak memperlihatkan itikad baik? A. ERLANGGA DJARWO Jalan Sempur Kaler V/1 Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini