Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan Antasari Azhar tentang dugaan rekayasa pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen harus diusut hingga benderang. Bila dibiarkan remang-remang, aduan yang disertai tudingan terhadap Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono itu bisa dianggap isu politik murahan berkaitan dengan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta.
Ketika melapor ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI awal pekan lalu, Antasari nyaring "bernyanyi". Ia menuduh Yudhoyono mengetahui rekayasa pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran itu pada Maret 2009. Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini juga menyebutkan Yudhoyono pernah mengutus Hary Tanoesoedibjo untuk meminta penundaan penahanan Aulia Pohan-besan Yudhoyono yang terjerat kasus korupsi dana yayasan milik Bank Indonesia.
Antasari terkesan berupaya mengaitkan kasus Aulia yang diusut sebelum dia memimpin KPK itu dengan pembunuhan Nasrudin yang terjadi hampir setahun kemudian. Serangan Antasari terhadap Yudhoyono itu dilakukan sehari menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang diikuti Agus Harimurti. Tak mudah mengukur seberapa besar dampak buruk isu itu bagi Agus. Yang jelas, putra Yudhoyono ini akhirnya tereliminasi dari pemilihan Gubernur DKI.
Sewaktu bebas bersyarat dari penjara pada November tahun lalu, Antasari mengatakan tak akan membalas dendam. Tapi belakangan Antasari mengungkit lagi kejanggalan pengusutan kasus dia. Kesan politis tak terhindarkan karena Antasari langsung bermanuver begitu mendapat ampunan dari Presiden Joko Widodo pada 16 Januari lalu. Tak wajar pula, Jokowi sampai mengundang bekas narapidana itu ke Istana.
Sebagai bekas penegak hukum, Antasari semestinya paham bahwa mengumbar tuduhan sembarangan bisa berbalik menghantamnya. Agar tak dicap memanfaatkan kasusnya demi kepentingan politik, Antasari seharusnya menyodorkan bukti kuat untuk menopang tuduhan.
Dalam persidangan delapan tahun lalu, pembuktian keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin memang menyisakan banyak celah untuk dipertanyakan. Misalnya, bukti pesan pendek di telepon Nasrudin yang disebut berisi ancaman dari Antasari tak pernah dibuka di pengadilan. Perbedaan jenis proyektil peluru dan senjata yang digunakan penembak pun tak dibuat terang. Bila memang tak bersalah, Antasari tentu berhak menuntut keadilan, meminta rehabilitasi, bahkan ganti rugi dari negara.
Masalahnya, proses hukum untuk membuktikan Antasari "bersih" kini nyaris tertutup. Antasari telah mengajukan permohonan peninjauan kembali, tapi ditolak Mahkamah Agung. Atas permohonan Antasari, Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan aturan yang membatasi pengajuan permohonan peninjauan kembali perkara pidana hanya satu kali. Namun Mahkamah Agung telah mengesampingkan putusan judicial review tersebut. Lagi pula, dengan meminta grasi, secara hukum Antasari pada dasarnya telah mengaku bersalah. Justru aneh bila Antasari berkukuh mengatakan tak bersalah sembari menikmati "berkah" grasi dari Jokowi.
Ketimbang sibuk menolak dikait-kaitkan dengan manuver Antasari, akan lebih produktif jika Jokowi memerintahkan Kepala Kepolisian RI mengusut tuntas dugaan rekayasa pembunuhan Nasrudin. Polisi harus menelusuri tiap keping indikasi rekayasa kasus ini. Siapa tahu, dari situ, bisa ditemukan tersangka baru-di luar mereka yang telah diadili. Kalaupun tak bisa memutar ulang jarum sejarah, membuat benderang kasus Nasrudin penting untuk wibawa hukum di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo