Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kemajemukan dalam Pilkada Jakarta

20 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang melegakan dari pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pekan lalu: pencoblos tak terpengaruh oleh isu sektarianisme. Dihantam demonstrasi besar pada 4 November dan 2 Desember 2016, Basuki Tjahaja Purnama, menurut penghitungan Komisi Pemilihan Umum, menduduki posisi pertama dengan 43 persen suara. Ahok dianggap menistakan agama akibat mengutip Al-Quran dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada September tahun lalu. Akibat kasusnya itu, saat ini ia adalah pesakitan.

Dua kandidat lain, Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono, mendapat 40 dan 17 persen suara. Agus tersingkir dari pertarungan. Ahok dan Anies masuk putaran kedua, yang akan berlangsung pada April nanti.

Dalam exit poll yang diselenggarakan lembaga survei Indikator Politik, didapat penjelasan lebih detail tentang tak berkutiknya isu agama dalam pilkada kali ini. Hanya 13 persen dari pemilih Anies yang memilih karena sang kandidat dianggap "paling memperjuangkan agama". Dua persen lainnya memilih karena anjuran pemuka religi. Pada Agus, ada 5 persen yang memilih karena dianggap "paling memperjuangkan agama" dan 1 persen karena anjuran pemuka agama. Pada Ahok, ada 1 persen pemilih yang mencoblos karena alasan religi. Yang terakhir ini diduga merupakan pemilih Ahok dari kalangan Kristen-agama yang dianut sang inkumben.

Angka ini menunjukkan betapa kecilnya persentase mereka yang memilih karena urusan privat itu. Dikalikan suara yang didapat tiap kandidat, diperkirakan hanya 7 persen pemilih yang menjadikan agama sebagai alasan mencoblos. Sebanyak 93 persen lainnya memilih karena kecakapan kandidat, kejujuran, program kerja, atau alasan lain.

Kenyataan ini merupakan antiklimaks dari apa yang terjadi dalam lima bulan terakhir. Dalam kampanye yang hiruk-pikuk, pilkada telah memisahkan pemilih berdasarkan agama dan suku. Inkumben disoroti bukan karena prestasi atau kegagalannya ketika memimpin Jakarta, melainkan karena ia "bukan muslim"-identitas yang sudah ada dari sononya. Percakapan tentang keberhasilan Ahok mengurangi banjir atau kekeliruannya dalam proyek reklamasi pantai utara Jakarta-untuk menyebut contoh baik dan buruk-seolah-olah hilang ditelan persoalan identitas. Dua kandidat penantang berlomba-lomba mengidentikkan diri dengan Islam agar berbeda dengan "sang antagonis".

Tentu saja, tak ada aturan yang dilanggar ketika seseorang menjadikan agama sebagai alasan memilih pemimpin. Bagaimanapun, agama merupakan bagian dari subyektivitas pemilih. Persoalan muncul ketika sentimen agama dibawa untuk menghantam lawan. Apa yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu-betapapun itu bertentangan dengan etika publik-bukan merupakan penistaan agama. Debat Ahok dan pengacaranya dengan KH Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia, di muka hakim jelas merupakan debat hukum yang wajar dan jauh dari upaya pelecehan ulama.

Pemanfaatan isu agama untuk mencari efek elektoral inilah yang semestinya tidak terjadi pada putaran kedua pilkada DKI. Kampanye buruk yang menjelek-jelekkan kandidat karena agama dan etnis sebaiknya disudahi.

Kedua kandidat hendaknya berfokus pada program kerja dan ide. Basuki dan wakilnya, Djarot Saiful Hidayat, misalnya, dapat terus memasarkan Kartu Jakarta Pintar, menormalisasi sungai, dan mengembangkan transportasi massal. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dapat menjajakan gagasan pemberdayaan pengusaha kecil, penyediaan fasilitas pembelian rumah tanpa uang muka, serta tekad membangun tanpa menggusur.

Pada putaran kedua, kita berharap ada pertukaran dan perbenturan ide tentang bagaimana membangun Jakarta. Reklamasi dan relokasi penduduk miskin ala Ahok, misalnya, melawan pembangunan berkeadilan yang didengung-dengungkan Anies.

Dengan asumsi dapat mengendalikan pemilihnya, Agus Harimurti dan partai pendukungnya dapat memainkan peran yang signifikan pada putaran kedua. Agus, yang menggagas pemberian dana bergulir Rp 1 miliar setiap rukun warga, misalnya, dapat menawarkan ide itu kepada kandidat lain sebagai syarat pengalihan dukungan.

Buang jauh-jauh niat bertarung dengan menggunakan sentimen suku dan agama. Sebagai bagian dari mayoritas, Anies tak perlu mentang-mentang. Sebaliknya Ahok, sebagai minoritas, selayaknya tak memancing mayoritas dengan ucapan yang berpotensi menyinggung. Data putaran pertama pilkada menunjukkan kecerdasan pemilihan Jakarta: mereka tak membeli isu murahan-suku, agama, antargolongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus