Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM praktek pemerintahan, hampir selalu ada jarak menganga antara keinginan dan kenyataan. Jika bukan ilusi, rencana pemerintah dalam hal apa pun tetap menuntut telaah dan kalkulasi menyeluruh agar bisa dijalankan-dan sering tak mudah. Tingkat kepelikannya bisa lebih besar bila yang hendak dicapai adalah keadilan.
Begitu pula halnya dengan rencana pemerintah memungut pajak progresif atas tanah yang dibiarkan menganggur. Rencana yang menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil masih serius dikaji ini bertujuan mencegah harga tanah semakin melambung karena permainan spekulasi. Dengan pajak ini, pemerintah berharap rakyat yang membutuhkan tanah bisa menjangkaunya, sementara negara tak kehilangan potensi pemasukan pajak.
Sulit tak sependapat dengan mereka yang menilai gagasan yang mendasari rencana itu memang baik, juga perlu. Masalahnya adalah besarnya peluang yang bisa menjadikan pajak baru untuk tanah menganggur justru kontraproduktif-melambungkan harga properti, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan bukan tak mungkin jadi beban politik. Supaya realisasinya tak melenceng, menimbulkan ketidakadilan baru dan kekacauan, pemerintah mesti bertindak cermat dalam menyiapkannya.
Memikirkan peraturan dan tarif optimal serta skema pajaknya, apakah masuk ke opsi pajak penghasilan atau pajak bumi dan bangunan, memang bagian penting dari upaya merealisasi rencana itu. Tapi pemerintah pun perlu memperhatikan satu hal mendasar lagi, yang jika luput bakal mengacaukan pelaksanaannya: bagaimana mengidentifikasi tanah yang masuk kategori menganggur.
Perlunya secara hati-hati mengidentifikasi status tanah dikemukakan terutama oleh mereka yang bergelut di bisnis properti. Sebetulnya, mereka secara umum tak keberatan dengan rencana pemerintah. Sambil memilih menunggu detailnya, mereka mengemukakan keinginan agar ada ketegasan dalam membedakan status tanah dari sisi pengembang dan spekulan.
Dari sudut pandang pengusaha, pengembang memperlakukan tanah sebagai bahan baku pembangunan, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan. Mereka telah menempuh prosedur yang panjang, tak jarang berliku, dalam mendapatkan atau membebaskannya-berkaitan dengan izin lokasi, tata ruang, dan lain sebagainya. Mereka juga lalu harus membangun infrastruktur kawasan dan mengalokasikan 40 persen tanah untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Spekulan, sebagaimana selama ini dipraktekkan dan didefinisikan, sama sekali tak melakukan semua kerepotan yang muaranya adalah biaya itu. Mereka mendapatkan tanah tanpa rencana pengembangan yang jelas, apalagi menyiapkan infrastruktur. Sangat boleh jadi mereka juga tak meminta izin apa pun. Setelah menguasai tanah, mereka hanya membiarkannya dan menunggu harga naik, sebelum memutuskan untuk menjual.
Diperlukan kriteria yang jelas untuk membedakan penguasaan tanah menurut kedua kepentingan itu. Pemerintah bisa meminta saran dari organisasi pengembang seperti Realestat Indonesia. Masukan yang tepat, bukan hanya banyak, perlu untuk menghasilkan pilihan kebijakan yang pas dan peraturan yang tegas, sehingga tujuan mengatasi kesenjangan dan mewujudkan keadilan tak membuat waswas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo