Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Sri Mulyani Kembali

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASUKNYA Sri Mulyani Indrawati ke kabinet Joko Widodo merupakan kabar baik dengan sejumlah catatan. Lama memperkuat pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, Ani—begitu ia biasa disapa—kembali setelah enam tahun bekerja sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.

Pada 2014, ketika Kabinet Kerja dibentuk, namanya sempat muncul sebagai kandidat Menteri Keuangan—belakangan urung masuk. Kembalinya Ani diyakini bisa memperbaiki kinerja ekonomi Indonesia. Problem terbesar pemerintah Jokowi adalah ekonomi yang tak moncer. Sejumlah gebrakan Presiden—misalnya pembangunan infrastruktur—lebih merupakan program jangka panjang yang hasilnya tidak bisa langsung dirasakan. Penyederhanaan perizinan terhambat oleh birokrasi yang centang-perenang.

Anggaran morat-marit. Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan sebelumnya, dianggap tak mampu menyeimbangkan neraca. Target yang kelewat tinggi akhirnya sulit dicapai. Pertumbuhan, yang dipatok 5,2 persen, pada kuartal pertama 2016 hanya mencapai 4,92 persen. Penerimaan pajak pada kuartal kedua tahun ini hanya 33,8 persen dari target Rp 1.360 triliun. Defisit anggaran mendekati angka dua persen dari produk domestik bruto. Undang-undang mengatur batas maksimal defisit tiga persen.

Anggaran cekak ditambal dengan program pengampunan pajak. Sebagai terobosan, program amnesti ini bagus-bagus saja. Tapi, belum lagi itu tercapai, pemerintah telah memasukkan proyeksi penerimaan Rp 165 triliun dari fee pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Strategi ini memang membuat neraca jadi terlihat kinclong. Tapi, meleset satu rupiah saja, anggaran Indonesia akan dianggap tidak kredibel.

Sri Mulyani diharapkan bisa memperbaiki kelemahan itu. Tapi memperbaiki anggaran bukan semata mengotak-atik tabel Excel. Sebutlah soal penyerapan anggaran—perkara yang selalu membuat Presiden uring-uringan. Rendahnya penyerapan anggaran tidak semata disebabkan oleh kinerja buruk menteri-menteri dalam membelanjakan bujet yang sudah disiapkan. Di dalamnya ada persoalan struktur kelembagaan dan efisiensi birokrasi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla kerap menyebut aturan hukum yang kelewat ketat sebagai penyebab. Para birokrat takut mengambil keputusan karena merasa diintai polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Akibatnya, sejumlah proyek terbengkalai. Namun, melonggarkan hukum, seperti kerap disarankan Kalla, hanya mengembalikan Indonesia ke era gelap Orde Baru. Dengan kata lain, dibutuhkan reformasi birokrasi—solusi yang lebih menyeluruh dalam menyelesaikan perkara rendahnya serapan anggaran—sesuatu yang bukan lagi wewenang Menteri Keuangan.

Perkara lain adalah pengadaan bahan pangan: dari beras, daging, hingga bawang merah. Selama ini harga membubung karena suplai terbatas. Banyak perkara yang membuat petani dan peternak lokal tak mampu memenuhi permintaan: dari urusan benih, pupuk, hingga distribusi. Presiden Jokowi percaya ada mafia bermain. Tujuannya memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan impor. Yang kemudian muncul adalah langkah proteksionisme. Impor disetop agar mafia kelojotan. Namun, tanpa suplai dalam negeri yang cukup, yang muncul adalah kelangkaan pangan. Konsumen menjerit karena harga melangit. Kelangkaan pangan punya dampak yang signifikan terhadap anggaran belanja pemerintah.

Kebijakan proteksionisme diperkirakan bertentangan dengan Sri Mulyani, ekonom yang selama ini dikenal liberal. Buat orang seperti Ani, menstabilkan harga dengan melarang impor ibarat petinju yang dipaksa bertanding dengan satu tangan dibebat.

Duet Sri Mulyani dengan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution diperkirakan bagus dan tak banyak masalah. Tapi dengan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, misalnya, perkaranya bisa jadi lain. Amran selama ini dikenal kukuh membela langkah non-impor dalam pengadaan bahan pangan.

Kunci penyelesaiannya ada pada Jokowi sendiri. Agar perombakan kabinet kedua ini mendatangkan manfaat, Presiden selayaknya tidak ambigu dalam melangkah. Memberantas mafia pangan, misalnya, merupakan keberanian yang perlu disokong. Membiarkan masyarakat menjerit karena harga pangan meroket tentu bukan langkah yang bijaksana.

Koordinasi antarmenteri perlu diperbaiki. Presiden sebaiknya tidak menjadikan kabinet—terutama kementerian ekonomi—sebagai bagian dari permainan politik keseimbangan. Memanfaatkan menteri yang satu untuk "mengontrol" menteri yang lain sungguh tak produktif. Presiden adalah pengendali tunggal jalannya pemerintahan.

Pasar menyambut positif reshuffle kabinet—termasuk kembalinya Sri Mulyani ke dalam pemerintahan. Presiden sebaiknya tidak menyia-nyiakan sinyal baik itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus