TIGA dewa turun ke bumi untuk membuktikan benarkah sudah tak ada lagi manusia yang baik budi. Di Setzuan, mereka menemukan Shen Te, seorang wanita lacur. Ia satu-satunya orang yang bersedia menerima mereka menginap. Lalu mulailah kisah Wanita Baik Budi dari Setzan, lakon Bertolt Brecht yang terkenal itu, yang beberapa tahun silam pernah dipentaskan Teater Populer, dan kini agaknya layak dikenang lagi. Shen Te, pelacur itu, memang hati yang penolong. Ketika dia tiba-tiba jadi kaya (setelah para dewa yang menginap akhirnya membayar sewa kamar), la tak henti-hentinya mencoba menyelamatkan tetangga dan sanak saudaranya yang dilindas kemiskinan. Yang tak ia perhitungkan ialah bahwa orang-orang itu, scbaik mereka menerima pangkalan bertaut, jadi kemaruk dan serakah. Mereka merongrong. Tempat berteduh itu pun terancam bangkrut. Tak tahan, Shen Te pun menghilang. Ternyata ia kembali: menyamar sebagai seorang pria, dengan nama Shui Ta. Ia mengambil alih toko tembakau yang semula dipakal Shen Te untuk menampung orang-orang malang itu. Dari sinilah kisah Brecht secara menarik menunjukkan ambiguitas sikap Shen Te yang juga Shui Ta: sosok barunya itu datang dengan rasa jera. Ia tak lagi si pemurah yang lembut hati. Shui Ta kejam, dingin, dan pandai menginjak orang lain. Dunia pun, seakan-akan, tak tertolong lagi. Seorang wanita berbudi telah hilang. Dewa-dewa mencarinya kembali. Akhirnya, ketika Shui Ta harus diadili karena kesewenang-wenangannya, para dewa mendapatkan sesuatu yang mengejutkan: Shui Ta tak lain adalah Shen Te. Pengusaha yang keras itu mengakui identitasnya yang sebenarnya. Harus dihukumkah Shen Te yang juga Shui Ta? Para dewa hanya bengong, gugup, tak tahu apa mesti dibuat. Apalagi ketika Shen Te, dengan hati yang pedih dan putus asa, berkata: Perintah paduka agar berbuat baik tapi juga hidup terus adalah halilintar, yang membelah diri. Aku tak tahu bagaimana. Namun berbuat baik kepada orang lain dan kepada diriku sendiri sekaligus, tak dapat aku lakukan. Dunia yang diciptakan para dewa itu, seperti kata Shen Te, memang bukan dunia yang mudah. Seperti dialami Shen Te sendiri, saat ia mengulurkan tangan bagi para pengemis, tangan itu ternyata dirobek-robek. Dan karena itu bila tak makan berarti mati siapa dapat menolak untuk tak jadi jahat? Akhirnya, memang tak seorang pun menolong Shen Te dari dilema itu. Para dewa meninggalkannya. Petuah mereka tak jelas lagi. Bagi mereka, sudah cukup bahwa telah ditemukan seorang wanita baik. Artinya, dunia tak perlu diubah. Dewa-dewa tak hendak berurusan lagi dengan kenyataan, bahwa wanita baik dari Setzuan itu tertinggal di bumi yang suram, yang membingungkan dan sulit. Tapi memang apa daya Shen Te? Dia mungkin bisa membaca sejarah. Konon, dulu, pada aman manusia hidup dari berburu, apa yang kejam tak dikutuk sebagai kejam, dan yang baik punya ukuran yang lain. "Mungkin tiap kebejatan dulunya adalah suatu kebajikan," tulis Will Durant dalam The Lessons of History, setelah ia selesai menyusun 11 jilid tebal buku riwayat peradaban. Khususnya, suatu kualitas yang membuat individu, keluarga, atau kelompok bisa hidup terus. "Dosa manusia," tulis Durant lagi, "mungkin lebih merupakan peninggalan kebangkitannya ketimbang cacat yang timbul karena kejatuhannya." Tapi bukankah Shen Te menderita, justru karena sejarah tak bisa menetralisir hati nurani yang terluka di hari ini? Bukankah Shen Te punya tangis ketika orang lain jatuh, dan dunia membutuhkan harap? Brecht tak memberi jawab. Ia malah bertanya: Dapatkah orang diubah? Bisakah dunia diganti? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini