Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demi evy, cintaku

Sepasang suami isteri pedagang roti di cirebon menghadapi masalah keimigrasian. wolfgang suami evy berasal dari jerman barat dianggap imigran gelap. (nas)

14 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA dua sejoli: Wolfgang Kuhn, pria Jerman, dan Evy Wijaya, wanita Indonesia. Senin pekan ini, di lantai III gedung Departemen Kehakiman, mereka berdua menungu dengan sabar - dan tampak mesra, sekali-sekali Kuhn meremas tangan Evy. Mereka menunggu Menteri Ismail Saleh. "Mudah-mudahan, Pak Ismail memberikan ketenangan kepada kami," kata Evy. Siapa mereka? Merekalah suami-istri yang cintanya terantuk pada peraturan keimigrasian, dan sang suami kini berstatus "imigran gelap". Demi Evy, Wolfgang Kuhn telah masuk ke Indonesia secara tidak sah, dan kini Direktorat Jenderal Imigrasi tengah mencarinya. Atas saran Pengacara Rusdi Nurima, Kuhn memohon bantuan Menteri Ismail Saleh, lewat surat yang dikirimkannya 26 Juni. Yang diharapkan Rusdi, yang sadar bahwa benar upaya hukum dalam hal ini nyaris mustahir, "Ada kalanya suatu pelanggaran hukum dibenarkan oleh rasa kemanusiaan dan keadilan." Perkenalan Janda Evy, 37, dan Kuhn, 35 pertama kali terjadi di sebuah pertemuan Persekutuan Doa dari berbagai sekte agama Kristen di sebuah rumah di Cirebon, Desember 1980. Sejak itu, keduanya sering bertemu, karena Evy minta diajari membuat roti. Evy memang pembuat dan pedagan roti dan kebetulan Kuhn ahli pembuat roti lulusan sebuah akademi perhotelan dan pariwisata di Jerman Barat. "Mungkin, cinta saya kepada Evy tumbuh karena saya terharu dan kagum kepada Evy, yang selama ini mencoba hidup dengan lima anaknya dengan membuat roti," kata Kuhn kepada TEMPO, Desember 1981, mereka telah seatap, di toko dan sekaligus rumah tinggal Evy, Toko Roti Orchid Bakery West Germany, Cirebon. Agaknya, munculnya pendamping baru di sisi Evy, membuat usahanya maju. Kebangkrutan usahanya sebelumnya - yang kemudian menjurus kepada keretakan rumah tangganya, hingga suami Evy meninggalkannya pada tahun 1979 - dan utang-utangnya perlahan-lahan dibangun dan dibayar kembali. Maka, dengan bangga, di tembok dalam toko dipasangnya potret suami barunya yang belum sah itu - karena Kuhn yang tak memegang paspor lagi ternyata tak bisa mengurus surat-surat yang diperlukan. Dan ini mengundang halangan, rupanya. Kebetulan, kepala Imigrasi Cirebon suatu saat, pada September 1982 belanja di toko Evy. Widjajanto, kepala itu, tertarik pada foto Kuhn. Akhirnya, ia tahu orang asing ini bermukim di Cirebon tanpa dokumen keimigrasian. Untunglah, sekitar pertengahan Desember, kedubes Jerman Barat mengeluarkan paspor buat Kuhn. Dan, menurut Kuhn, dengan adanya paspor itu, pihak keimigrasian bersedia menguruskan visa buatnya. Tapi, hingga Maret 1983, tak ada kabar apa pun. Bahkan awal Mei 1983, dengan diantar karyawan Kantor Imigrasi Cirebon keJakarta, ia dimasukkan ke dalam tahanan Imigrasi di pelabuhan udara Halim Perdanakusuma. Sebulan ia ditahan tanpa mendapat surat keterangan penahanan selembar pun. Baru pada 2 Juni 1983 Kuhn dihadapkan ke pengadilan, dan dipersalahkan sebagai imigran gelap. Ia dijatuhi hukuman denda Rp 100.000 dan diminta meninggalkan Indonesia. Kuhn lalu pergi ke Singapura dengan harapan di situ ia bisa mendapatkan visa. Tapi baik dari Singapura, dari Jerman Barat, maupun dari Negeri Belanda, ia tak mendapatkan yang diharapkannya. Dan selama pergi dari Indonesia, Kuhn selalu berusaha menelepon Evy. Tapi pada Desember 1983, ia tak bisa mengontak Evy. Lewat temannya di Cirebon, Kuhn tahu bahwa istrinya sakit. Nekat, ia memakai paspor temannya, agar mendapatkan visa masuk ke Indonesia. Herannya, pihak Kantor Imigrasi Cirebon baru pada Mei yang lalu memanggil Kuhn. "Kami harus yakin terlebih dahulu adakah si Wolfgang itu pegang paspor atau tidak," kata sumber TEMPO di Kantor Imigrasi Cirebon. Memang, lelaki berambut cokelat dengan tubuh setinggi 180 cm itu tak punya paspor. Paspor temannya, katanya, sudah ia bakar. Pada 22 Juni datang perintah dari Direktorat Jenderal Imigrasi untuk membawa orang Jerman pembuat roti itu ke Jakarta. Tetapi Kuhn menghindar. Ia takut dipaksa meninggalkan Indonesia. Anak ketiga pensiunan direktur sebuah pabrik makanan di Munchenladbach, Jerman Barat, ini mengaku tak bahagia di negerinya sendiri. Ia pernah menikah 1971, tapi cerai empat tahun kemudian. Ia pun pernah berdinas di bagian logistik angkatan perang Jerman Barat, 1967-1969. Sentuhan Kuhn dengan Indonesia pertama kali adalah lewat pameran slide di Universitas Koln. Desember 1976 untuk pertama kalinya ia terbang ke Indonesia sebagai turis. Di Indonesia ia berkeliling, antara lain ke Bandung, Magelang, Malang, dan Bogor. Semula ia memang ingin menyusun semacam booklet tentang Indonesia. "Tapi ternyata saya tak mampu," katanya. Sesudah kunjungan pertamanya, ia hampir tiap tahun menjadi turis di Indonesia, untuk sekitar lima bulan. Kuhn rupanya tak pernah kesulitan uang. Januari 1979, ketika visanya habis, ia minta tolong Biro Sangga Buana menguruskan perpanjangan itu. Tapi, biro itu terlibat pemalsuan dokumen orang asing. Paspor Kuhn hilang. Sementara itu, kedubes Jerman Barat tak mau memberikan paspor baru sebelum hasil pengusutan Biro oleh polisi jelas duduk perkaranya. Pada masa inilah ia ketemu Evy di Cirebon, sewaktu Kuhn diajak pendeta Benyamin dari Gereja Pentakosta, Jakarta, ke sana. EVY, anak keempat dari sembilan bersaudara, kelahiran Solo, mengaku tertarik pada Kuhn pada pertemuan pertama. Konon, ia pernah diramal akan bertemu seorang berkulit putih yang akan menolongnya, dan menjadikannya terkenal. Menurut Soemakno, kepala Subbagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi, Kuhn memang dicap salah. Ia pernah dikeluarkan dari Indonesia karena tak punya dokumen keimigrasian. "Untuk memperoleh visa bagi orang ini untuk masuk Indonesia, jelas sulit," kata Soemakno. Tapi mengapa Kuhn tak mengajak saja Evy dan lima anak tirinya ke Jerman Barat? "Saya tidak mau. Saya yakin, di Jerman Evy tak akan kerasan," jawabnya. "Saya memang kelahiran Jerman, tapi saya menemukan hidup di Indonesia. Untuk itu, saya mau menerima hukuman atas pelanggaran yang telah saya lakukan, tapi izinkanlah saya tinggal bersama Evy," katanya datar. Sekitar pukul 11 Senin pekan ini, setelah setengah jam menunggu, mereka berdua meninggalkan Departemer Kehakiman dan tak berhasil bertemu Menteri. Yang diharapkan Kuhn, seperti dikatakan Rusdi kepada TEMPO, bisa memperoleh visa yang bisa diperpanjang setiap jangka waktu tertentu. Syukur, bisa lebih dari itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus