Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Si haram

Herbert frahm, anak pelayan toko, dikenal bukan saja sebagai perdana menteri jerman yang meraih nobel karena politik luar negerinya yang mengulurkan damai, juga memberikan dirinya untuk orang lain yang diringkus kezaliman.

24 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HERBERT Frahm tidak pernah mengenal ayahnya. Ia anak haram, lahir dari seorang gadis pelayan toko di tahun 1913 di Luebeck, di provinsi paling utara Jerman. Penduduk kota itu pernah menjadi masyhur dan abadi dalam novel Buddenbrooks Thomas Mann, tapi yang paling masyhur dan abadi agaknya justru tokoh yang tidak kita temui dalam novel itu. Dialah Herbert Frahm, si anak haram, warga yang paling hina dina dalam masyarakat Jerman awal abad ke-20. Kisah hidup Frahm, seperti pernah dikatakan oleh Novelis Heinrich Boll, adalah bahan yang cocok buat sebuah legenda: anak yang malang itu kemudian dikenal bukan saja sebagai perdana menteri Jerman Barat yang mendapatkan Hadiah Nobel karena politik luar negerinya yang mengulurkan damai. Ia anak yang miskin yang kemudian banyak memberikan dirinya untuk orang lain yang diringkus kezaliman. Di awal tahun 1930-an, ketika umurnya 17 tahun, Herbert Frahm, anak pelayan toko itu, sudah aktif dalam gerakan buruh di kotanya. Tidak hanya itu. Ia juga sudah masuk dalam daftar hitam orang-orang Nazi. Ia, anggota Partai Pekerja Sosialis, sering terlibat pergocohan dengan orang-orang berseragam cokelat yang menyerukan nama Hitler itu. Tak urung, ketika orang-orang Nazi berkuasa, ia lari ke Norwegia. Ia meninggalkan negerinya hanya dengan berbekal uang 100 mark, beberapa lembar baju, setangkai sikat gigi dan satu jilid Das Kapital. Sejak itu ia memakai nama Willy Brandt. Di Norwegia ia dengan cepat belajar bicara dalam bahasa negeri itu, bahkan menjadi wartawan. Tapi ia giat menyelundupkan surat dan selebaran gelap ke Jerman. Bahkan di tahun 1936 ia, memasang diri sebagai seorang Norwegia, masuk ke Berlin, untuk mengadakan kontak dengan gerakan di bawah tanah yang melawan Hitler. Ia tahu betapa besar risiko tindakan itu, tetapi seperti dikatakannya, ''tujuan perjuangan lebih penting ketimbang individu.'' Dan ia bukan orang tolol. Ketika di tahun 1940 Jerman yang diperintah Hitler itu mencaplok Norwegia, Brandt menyamar menjadi seorang prajurit kerajaan kecil itu, dan sebab itu ditangkap sebagai tahanan perang. Setelah empat bulan ia dibebaskan. Dinas mata- mata Gestapo tak sempat mencurigainya. Ia lari ke Stockholm. Di sana ia menulis enam jilid buku dan terus melancarkan kegiatan anti-Nazi dengan teman-temannya dalam Partai Pekerja Sosialis. Hidup dalam pelarian seraya terkadang mendengarkan berita tentang gerakan kawan-kawan yang gagal dan dibasmi menjadikannya seorang yang peka perasaan dan tak gampang mengeluarkan isi hati. Tetapi juga menyebabkannya menjadi seorang yang bebas dari dogma ideologi. Dan ia, biarpun datang dari masa kecil yang gelap, tampaknya memang bisa mengatasi kepahitan sebuah permusuhan. Di tahun 1957 ia menjadi wali kota Berlin. Empat tahun kemudian Tembok Berlin dibangun dan direntang oleh tentara Soviet, dan merobek dengan ganas kota tua yang sudah dibagi dua oleh para pemenang Perang Dunia II itu. Tapi Brandt, yang menyaksikan semua itu dari dekat, tahu: memperkeras permusuhan justru tak akan menghasilkan apa pun. Ia lancarkan Ostpolitik, atau ''kebijakan ke Timur''. Ia menawarkan sikap bersahabat dengan Jerman Timur, yang selama ini dianggap musuh yang najis oleh para pendahulunya. Di tahun 1971, Willy Brandt mendapat Hadiah Nobel untuk perdamaian. Di tahun 1993, ia atau orang seperti dia sudah tak ada lagi. Kehidupan politik sudah tak lagi punya tokoh yang bisa menimbulkan inspirasi. Kita menengok ke kanan dan ke kiri dan tak menemukan orang yang bisa membangkitkan anasir yang bagus dan mulia dalam diri orang-orang lain, hingga orang memasuki dunia politik karena niat untuk membuat dunia yang lebih baik. Bukan karena previlese. Apa gerangan sebabnya? Karena ''sejarah sudah berakhir'', dalam arti perjuangan-perjuangan besar ke arah pembebasan manusia sudah mendapatkan apa yang dikehendaki: lahirnya masyarakat yang terbebas dari tirani? Ataukah karena masa depan tak lagi berwujud seperti dulu: sesuatu yang lahir dari perubahan yang apokaliptik? Maka: pahlawan tidak akan perlu lahir, keberanian tak sampai harus meriskir nyawa dan kemerdekaan, dan yang ada hanya perdebatan dan negosiasi panjang, bukan pergulatan antara hidup dan mati tentang apa yang benar dan tak benar, adil dan tak adil? Ataukah hidup di dunia menjadi kian teratur, dan yang diperlukan hanyalah sejumlah rumus, yang kadang-kadang salah sedikit, tetapi rapi meskipun sepi? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus