Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENEMBAKAN Mathur Husairi bukanlah aksi kriminal biasa. Direktur Center for Islam and Democracy Studies (Cide) itu merupakan pegiat antikorupsi yang gigih di Bangkalan, Madura. Ia ditembak orang tak dikenal setelah menghadiri pertemuan dengan tokoh masyarakat. Lelaki 47 tahun itu tak sampai tewas. Dengan melukai korban, sang dalang barangkali menebar teror: "Jangan coba-coba mengusik kami!"
Pesan itu jelas bukan untuk Mathur saja, melainkan buat semua barisan antikorupsi. Di Bangkalan, selain Cide, ada Lumbung Informasi Rakyat (Lira) dan Bangkalan Corruption Watch (BCW). Mereka gencar menyoroti sepak terjang pejabat di sana. Termasuk kasus-kasus dugaan korupsi orang kuat Bangkalan: Fuad Amin Imron.
Fuad—bupati dua periode, kemudian menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan—pada Desember tahun lalu dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia tertangkap tangan menerima suap pemberian izin kontrak minyak gas dari Pertamina ke PT Media Karya Sentosa. Inilah perusahaan abal-abal yang sudah lama berkongkalikong dengannya. Tapi, jauh sebelum itu, Cide bersama Lira dan BCW sudah gencar melaporkan dugaan korupsi Fuad. Bahkan, setelah Fuad tertangkap, Mathur tak juga surut. Januari lalu, dia aktif memimpin protes pungutan liar di Dinas Pendidikan Bangkalan. Dia juga meributkan ketidakberesan pengangkatan calon pegawai negeri sipil di Badan Kepegawaian Daerah.
Mathur bukan korban teror pertama. Ibnu Khotib, koleganya di Cide, sebelumnya dibacok orang tak dikenal. Lalu Fahrillah, aktivis Lira, bernasib serupa. Otak penebar teror itu tentu berharap Bangkalan menjadi "zona aman" bagi aksi kotor mereka.
Sejak 2010, sepuluh aktivis antikorupsi mengalami intimidasi. Delapan di antaranya luka-luka akibat dibacok. Sungguh aneh, dengan aksi teror yang begitu telanjang, polisi tak berhasil mengungkap satu kasus pun. Hanya pembacokan atas Musleh, aktivis Madura Corruption Watch, yang bisa diproses. Ini pun karena pelaku menyerahkan diri.
Kepolisian semestinya tidak berleha-leha menangani kasus-kasus ini. Ketidakseriusan mengusut teror pada pegiat antikorupsi mudah memantik kecurigaan bahwa polisi telah "ikut bermain". Kecurigaan ini tak berlebihan lantaran ada pola yang selalu sama: dugaan korupsi oleh pejabat atau orang kuat, diikuti teror orang tak dikenal, ditutup dengan keterangan polisi yang mengaku sulit mengusut karena terbatasnya bukti.
Pola serupa terjadi di Jakarta. Lima tahun lalu, Tama S. Langkun, aktivis Indonesia Corruption Watch yang gencar membongkar kasus rekening gendut para jenderal polisi, dipukuli di jalanan. Tama luka parah. Sampai sekarang, polisi belum berhasil mengungkap pelakunya. Jauh sebelumnya, pada 1996, ada Fuad Muhammad Syafruddin, atau Udin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta, yang dibunuh karena menginvestigasi kasus korupsi di Kabupaten Bantul. Sampai kasus ini kedaluwarsa secara hukum, jagal dan dalang pembunuhan Udin tak tertangkap.
Menangkap pelaku, juga dalangnya, merupakan kewajiban kepolisian. Polisi tak boleh pura-pura tak mampu mengungkap si pelaku. Semestinya, dengan motif yang begitu gamblang, pelaku sangat mudah ditangkap.
Kegagalan polisi melindungi para pegiat antikorupsi niscaya membuat kejahatan sistematis yang melibatkan banyak orang itu semakin sulit diberantas. Para aktivis yang memerangi korupsi mesti mendapat perlindungan. Polisi tak bisa berdiam diri, apalagi membiarkan orang ramai berprasangka mereka menjadi bagian yang dilawan para aktivis itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo