Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA kita saat ini bicara soal raja-raja, ada dua hal. Pertama, bercanda. Yang kedua, dalam bawah sadar kita memang ada perilaku pemimpin yang menjalankan kekuasaannya seperti para raja di masa lalu. Perilaku apa itu? Tak bisa dibantah, apa pun maunya harus dituruti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana dengan pernyataan Bahlil Lahadalia yang menyinggung soal Raja Jawa dalam pidatonya sebagai Ketua Umum Golkar yang baru? Setelah pernyataan itu banyak dikutip media massa, Bahlil menyebutkan hal tersebut cuma candaan politik. Tapi melihat situasi ketika pernyataan itu disampaikan, besar kemungkinan Bahlil terbawa dalam arus bawah sadar bahwa dia memang ada masalah dengan Raja Jawa. Dia meminta para kader Golkar tidak bermain-main dengan Raja Jawa. "Soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja. Jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap," ujar Bahlil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahlil tidak menyebutkan sosok Raja Jawa yang dimaksudkannya. Apakah itu Presiden Joko Widodo? Bahlil hanya tertawa cengengesan. Yang menarik, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi langsung meminta masyarakat menafsirkan masing-masing. "Itu kan pernyataan politik di partai politik," kata Hasan, pejabat lingkaran Istana yang baru dilantik.
Karena Istana memberikan reaksi, hal itu justru membuat masyarakat menduga Jokowi sudah tahu bahwa dia adalah Raja Jawa yang dimaksudkan Bahlil. Memang Jokowi banyak mendapat julukan pada akhir masa jabatannya ini. Misalnya, julukan Si Tukang Kayu.
Julukan ini dikaitkan dengan mundurnya Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar secara mendadak. Golkar, yang berlambang beringin, ditamsilkan telah digergaji oleh Si Tukang Kayu untuk dijadikan kursi kekuasaan Sang Anak Tukang Kayu.
Awalnya tamsil ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang tertawa, ada yang mencela. Entah apakah mereka paham siapa yang dimaksudkan dengan Si Tukang Kayu itu. Eh, ternyata Jokowi sendiri yang menjelaskan secara tidak langsung bahwa dialah Si Tukang Kayu tersebut. Hal itu dia sampaikan dalam pidato penutupan musyawarah nasional Golkar. Hanya, Jokowi belum berkomentar tentang Pinokio Jawa.
Kembali ke Raja Jawa, apakah gelar raja itu masih ada setelah negara kesatuan ini terbentuk? Kalau bicara nonformal, ya, ungkapan itu masih hidup di masyarakat. Bagi orang Jawa, kalau menyebut raja, pasti ditujukan ke Sultan Hamengku Buwono. Penguasa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini bahkan punya wilayah yang kini menyatu menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bergeser sedikit ke Solo, di sana ada Paku Buwono dan Mangkunegaran. Di luar Jawa, sebutan raja masih terdengar, meski kini bergerak dalam bentuk kecil mempertahankan budaya. Misalnya, di Bali ada Raja Klungkung, Raja Gianyar, dan Raja Pemecutan Denpasar. Seperti halnya kesultanan di daerah lain yang tak lagi punya wilayah, juga tak ada kaitan apa pun dengan pemerintahan, yang dipertahankan adalah budaya dan adat, khususnya busana.
Jokowi acap mengenakan busana adat kerajaan tanpa memaknai pada saat apa busana itu dipakai. Misalnya dia mengenakan busana adat Kerajaan Gianyar saat menerima tamu negara dalam penyelenggaraan G20 lalu. Berbusana raja, tapi mondar-mandir menerima tamu. Yang teranyar, Jokowi mengenakan busana adat Kesultanan Kutai ketika memimpin upacara peringatan proklamasi, tapi kerabat Sultan Kutai tak diundang. Ini namanya nyolong busana di wilayah adat yang bersangkutan. Jadi, kalau Bahlil bermaksud menyebut Jokowi adalah Raja Jawa, tentu jauh panggang dari api. Lebih tepat disebut Jokowi “suka main raja-rajaan”.
Itu pun Jokowi meniru sifat-sifat negatif raja, bukan meneladan yang positif. Contoh, selain cara berpakaian yang tak sesuai dengan perilaku, bagaimana dia menyiapkan kedua anaknya dalam lingkaran dinasti. Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah undang-undang yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden, Jokowi mendukung penuh MK. Tapi ketika MK menyebutkan usia Kaesang tidak cukup untuk mendaftar dalam pilkada, Jokowi terkesan tak mematuhi MK.
Jadi, sebaiknya Bahlil langsung saja menyebutkan: “Jangan main-main sama Jokowi, bisa celaka”. Tak usah sebut Raja Jawa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo