Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Vale Indonesia akan beralih kepemilikan ke Indonesia pada tahun ini.
Jika bukan Mind Id, pembeli saham Vale adalah perusahaan pemerintah daerah atau swasta.
Mulai ada gerakan politik di DPR untuk merecoki divestasi saham Vale.
KEWAJIBAN melepas saham perusahaan tambang asing kepada pemerintah Indonesia selalu menyisakan cerita buruk dominannya peran para pemburu rente. Termasuk rencana divestasi 11 persen saham PT Vale Indonesia Tbk, yang mesti rampung pada 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, perusahaan tambang wajib melepas 51 persen kepemilikan mereka. Vale sebelumnya sudah merealisasi divestasi saham sebanyak 40 persen. Lewat aturan turunan, penjualan saham tersebut dilakukan secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kenyataannya, sentimen nasionalisme itu dijadikan kedok oleh pemburu rente. Saham yang semestinya diambil perusahaan negara lewat pelbagai modus kerap beralih ke swasta yang dekat dengan penguasa. Fakta penting lain, divestasi saham selalu berujung pada penurunan kinerja perusahaan. Penyebabnya macam-macam, dari penempatan orang yang tidak kompeten, macetnya investasi modal dan teknologi, sampai salah pengelolaan.
Lihat saja divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara pada 2009. Pemerintah Nusa Tenggara Barat menggandeng anak perusahaan Grup Bakrie untuk membeli 24 persen kepemilikan tambang emas dan tembaga itu seharga Rp 12,9 triliun. Dengan bungkus nasionalisme pula Presiden Joko Widodo meminta Pertamina Blok Rokan di Riau dari Chevron dan Blok Mahakam di Kalimantan Timur.
Hasilnya? Jauh panggang dari api. Kontribusi lifting Blok Rokan terhadap produksi minyak nasional turun dari 46 menjadi 24 persen. Laju penurunan produksi Blok Mahakam turun 30 persen per tahun. Dua kasus ini membuktikan jargon nasionalisme tidak seharusnya diartikan sebagai kepemilikan, melainkan keuntungan bagi negara dan masyarakat.
Ancaman kerugian serupa mulai membayangi Vale Indonesia seusai divestasi wajib mendatang. Proses pengalihan saham terindikasi ditunggangi “penumpang gelap”. Ini terlihat dari adanya upaya menciutkan lahan kerja Vale, yang terserak di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Jika manuver yang dilakukan lewat Dewan Perwakilan Rakyat berhasil, pengusaha tambang nikel lokal di sekitar wilayah kerja Vale bakal langsung melahapnya, entah lewat kerja sama operasi entah investasi langsung.
DPR, yang lebih dari separuh anggotanya merupakan pebisnis, juga mempersoalkan pembelian 20 persen saham Vale oleh PT Mind Id, holding perusahaan negara atau BUMN tambang, pada 2020. Kalau sampai saham itu dipaksa dijual kembali lewat mekanisme participating interest, pemerintah daerah yang akan mencaploknya, sama seperti divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.
Pemerintah perlu menempatkan nilai strategis nikel bagi negara saat menjalani proses divestasi saham Vale Indonesia. Apalagi logam ini memiliki daya tarik tinggi seiring dengan lonjakan kebutuhan baterai untuk kendaraan listrik. Dengan kontribusi 37 persen, Indonesia menjadi penghasil utama nikel dunia. Sekali lagi, kepentingan negara, bukan pengusaha-pengusaha yang bakal ketiban untung dari divestasi saham ini.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo