Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Intelektual Kelas Kambing

Kian banyak intelektual yang membebek pada kekuasaan dan penguasa. Julukan mereka: intelektual kelas kambing.

16 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peran dan fungsi kelompok intelektual bukanlah untuk bermesra-mesraan dengan kekuasaan.

  • Intelektual kelas kambing merupakan antitesis dari “intelektual publik” yang memegang teguh prinsip serta berdiri tegak bersama rakyat.

  • Ujian terbesar kaum intelektual adalah “konsistensi”. Hal yang begitu sulit ditemui saat ini.

NOAM Chomsky pernah mengungkapkan hal yang sebetulnya menjadi tanggung jawab kaum intelektual. Ia berkata: "Intellectuals are in a position to expose the lies of governments, to analyze actions according to their causes and motives and often hidden intentions (Noam Chomsky, The Responsibility of Intellectuals, 1967).

Ungkapan Chomsky ini dapat dimaknai setidaknya dalam tiga hal: pertama, peran dan fungsi kelompok intelektual bukanlah untuk bermesra-mesraan dengan kekuasaan. Kelompok intelektual harus mampu menjaga jarak dengan kekuasaan. Haram hukumnya bagi kelompok intelektual untuk bermanja-manja dengan penguasa. 

Kedua, kaum intelektual tidak boleh didikte dan dikendalikan kekuasaan. Sebaliknya, kelompok intelektual-lah yang harus mendikte kekuasaan. Kaum intelektual harus mampu membongkar kebohongan pemerintah, menganalisis intensi atau niat tersembunyi di baliknya, serta memaksanya kembali ke jalan yang benar.

Ketiga, kerja-kerja kaum intelektual harus diletakkan pada kerangka kerja advokasi problem pokok rakyat banyak. Kaum intelektual harus bersenyawa dengan mereka yang ditindas oleh sistem. Bukan justru bersekutu dengan para penindasnya.

Problemnya, kaum intelektual kita seolah-olah buta dan tuli terhadap situasi yang berkembang. Bahkan tidak sedikit yang pura-pura tidak tahu masalah yang sedang terjadi demi mendapatkan “posisi aman”. Mereka dengan sengaja membunuh insting kemanusiaannya, melumpuhkan komitmen serta tanggung jawab sosialnya. 

Mereka memalingkan muka dari barisan panjang penindasan negara terhadap warganya sendiri. Terutama terhadap perampasan ruang hidup warga negara serta segala hal yang mengancam hak-hak dasarnya. 

Situasi ini muncul akibat perangai kekuasaan yang menindas. Alih-alih berdiri tegak membela kepentingan publik, tak sedikit kelompok intelektual yang justru menjadi bagian dari para penindas. Mereka secara sadar melegitimasi penindasan berbekal klaim ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Mereka melacurkan pengetahuannya kepada kekuasaan yang menindas.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (almarhum) memperkenalkan istilah “intelektual kelas kambing” pada dasawarsa 1980-an. Intelektual semacam ini, menurut Romo Mangun, adalah mereka yang menghitung 4 × 4 = 20 karena kekuasaan. Kewarasan mereka hilang karena dibutakan oleh jabatan. Mereka membebek pada kekuasaan, tidak lagi berpedoman pada prinsip-prinsip intelektualitasnya. 

Karena itu, ketika pandangan seseorang berporos pada kepentingan kekuasaan yang ujung-ujungnya melayani diri sendiri, mereka layak dikategorikan sebagai “intelektual kelas kambing”. Tipologi intelektual semacam ini merupakan antitesis dari “intelektual publik” yang memegang teguh prinsip serta berdiri tegak bersama rakyat dengan segala bentuk pembelaannya. Tipologi intelektual publik yang sepenuhnya mengabdikan ilmu dan pengetahuannya untuk kerja-kerja kemanusiaan ini sudah seperti “manusia langka” yang sulit kita temukan saat ini. 

Penting bagi kita untuk mengingatkan kembali perihal intelektual kelas kambing ini dengan tujuan, pertama, mengembalikan tradisi intelektual ke jalan yang benar. Sebab, tradisi sejati kaum intelektual adalah berdiri tegak dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, meski harus mempertaruhkan nyawa. 

Romo Mangun berpendapat kaum yang seperti itulah yang disebut sebagai intelektual kelas wahid. Salah satunya disimbolkan dalam diri Socrates, filsuf Yunani kuno yang dipuji karena keteguhannya dalam mempertahankan keyakinan meski harus dibayar dengan kematian sekalipun. Socrates rela dipaksa meminum racun karena dituduh oleh penguasa telah memprovokasi kaum muda dengan menanamkan idealisme yang dianggap membahayakan kekuasaan. 

Kedua, meneguhkan jalan intelektual publik, yakni intelektual yang wajib mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan. Bukan justru menjadi “stempel” yang melegitimasi penindasan terhadap warga negaranya sendiri.   

Menjaga Konsistensi

Ujian terbesar kaum intelektual adalah “konsistensi”. Hal yang begitu sulit ditemui saat ini. Sesuatu yang jika tidak dipelihara dan dijaga dengan baik, akan menjerumuskan kita menjadi intelektual kelas kambing. Tanpa konsistensi, mahkota seorang intelektual ditanggalkan paksa. 

Tanpa konsistensi pula, seorang intelektual bisa menjadi berbalik arah, yang mula-mula melawan penindas, justru berputar menjadi sekutu para penindas. Seperti kata Friedrich Nietzsche, “Siapa saja yang bertanding melawan monster harus bisa memastikan bahwa dalam prosesnya, dia tidak akan berubah menjadi monster.” 

Tidak sedikit pula seorang intelektual yang “amnesia” terhadap perilaku menindas kekuasaan. Mereka tiba-tiba lupa dengan daftar dosa para penindas, dan pada akhirnya justru menjadi barisan pendukungnya. Ini seperti sindrom Stockholm, situasi ketika seseorang yang ditawan mulai menyukai atau mempercayai penyanderanya. Konsistensi adalah alat kontrol agar sikap kaum intelektual tetap terjaga dengan baik, menjadikan kerja mereka tetap dalam rel kemanusiaan. 

Setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga konsistensi itu. Hal pertama, senantiasa berkumpul dengan manusia-manusia yang menjaga kewarasannya. Kemudian, konsistensi hanya bisa dijaga dengan memupuk dan mengasah kerja-kerja kemanusiaan. Berikutnya, bersetialah di garis massa. Berpijak dan berdiri tegak bersama rakyat banyak, bukan pada kekuasaan. Sebab, konsistensi hanya bisa kita peroleh melalui upaya menjaga jarak dengan kekuasaan. 

Lalu kaum intelektual juga harus terbiasa dengan otokritik. Jangan alergi, apalagi sampai ngambek jika dikritik. Ibarat makanan, kritik itu asupan yang menyehatkan. Kritik akan membuat kita bertumbuh dengan baik. Terakhir, teruslah bergerak. Api harus terus kita nyalakan, semangat harus terus kita gelorakan.

Memang sulit menjaga konsistensi. Terkadang kita butuh waktu bernapas sebelum kembali tancap gas dengan kerja-kerja keilmuan demi kemanusiaan. Tapi justru dengan berdiam diri, insting kemanusiaan kita akan berkarat dan tumpul. Tanpa mengerjakan kelima hal tersebut dengan tekun, Anda hanya akan dikenang sebagai intelektual kelas kambing!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus