18 Januari, Bakbtiar menulis sepucuk surat kepada Khumaini:
"Anda dan saya berselisih fikiran dalam banyak perkara. Anda
mencerca saya sebagai 'ke-Barat-Baratan' -- dan dengan itu anda
menolak segala apa yang saya kemukakan. Namun izinkanlah saya
mengutip satu kalimat dari Tatimma Siwan al-Hikma (sebuah karya
Parsi dari Beihaqi, bukan karya Perancis dari Voltaire!):
'Seorang bijaksana menggunakan penalaran untuk menolak ide yang
tak ia setujui hanya seorang bodoh menggunakan cerca. Anda
seharusnya memakai cara yang paling mulia, bukan yang paling
kerdil'.
Bukankah anda akan setuju?"
20 Januari, datang balasan dari Khumaini untuk Bakhtiar:
"Nampaknya anda murka. Apakah yang ingin anda katakan
selanjutnya?"
22 Januari, jawaban Bakhtiar:
"Syukurlah. Rasanya anda sudah mulai sempat melihat langit biru
di atas kubah yang paling megah: di bumi seseorang bisa merasa
berhasil mendirikan sesuatu, tapi di langit tetap bergaung yang
tak tertebak. Anda seorang soleh. Saya tak hendak mengajarkan
kedhaifan manusia kepada anda. Saya hanya ingin mengemukakan:
bukankah penafsiran manusia selalu nisbi? Juga penafsiran anda
tentang sabda Tuhan dan ajaran Rasul?
Khumaini, berhakkah kita mengaku paling benar? "
24 Januari, Khumaini membalas:
"Tidak, kita tak berhak mengaku demikian. Namun di saat seperti
ini, kita tak boleh bimbang. Saya tak hendak menganjurkan
pendirian yang mutlak-mutlakan. Saya hanya menyerukan perlunya
sikap yang yakin. Yakin adalah sebagian dari niat. Pernahkah
anda dengar seorang yang menggertakkan geraham, mengucapkan niat
dan gunung-gunung pun guncang? Kita menghadapi masalah-masalah
besar di tanah air kita. Tanpa yakin, tanpa niat, kita akan
terayun-ayun dalam ketiadaan bertindak. Rakyat menderita.
Lagipula anda perlu tahu: yang kita yakini bukan nonsens,
melainkan ajaran yang suci. Kita tak bertolak dari nol."
26 Januari, Bakhtiar menulis pula:
"Bahwa ajaran kita suci, tidak akan saya menyangsikannya. Namun
saya ingin bertanya: sampai sejauh mana seorang pemimpin, atau
sebuah pemerintah, dapat disucikan? Hari ini dia benar dan di
jalan yang lurus. Tapi kelak mungkin tidak. Hari ini anda
sendiri tokoh yang tak korup, tapi nanti? Hanya Allah yang tahu.
Keyakinan bahwa ajaran kita suci bahkan bisa menyebabkan kita
merasa serta-merta jadi suci -- lalu takabur. Maka bukan karena
ragu akan ajaran agama jika saya berbicara tentang semua ini.
Melainkan karena saya lebih bersiap untuk melihat penyelewengan,
atau kemacetan, atau ketakaburan dan mungkin juga
kesewenang-wenangan.
Maafkanlah, Khumaini, bila kedengarannya saya tak terlampau
percaya akan kesempurnaan manusia -- termasuk diri anda, dan
saya sendiri."
28 Januari, jawaban Khumaini:
"Bakhtiar, anda mengingatkan saya akan para malaikat, yang cemas
ketika Tuhan hendak menciptakan manusia. Mereka berkata: "Adakah
Engkau menciptakan di sana makhluk yang membuat rusak dan
menumpahkan darah?" Tapi Allah lebih tahu. Manusia diberinya
kehormatan untuk mencoba menanamkan sifat-sifat Tuhan dalam
dirinya. Paling sedikit ia diberi kemungkinan memperbaiki
kesalahan sendiri atau orang lain: ia diberi bakat untuk
mengenal mana yang baik mana yang buruk."
30 Januari, dari Bakbtiar:
"Anda berbicara tentang kemungkinan memperbaiki kesalahan
sendiri atau orang lain. Dapatkah dengan mudah itu dilakukan
terhadap seseorang (atau suatu pemerintahan) yang merasa punya
tugas suci? Tidakkah justru karena ini di masa lalu banyak
pemerintah meniadakan pilihan lain? Sejarah dunia, termasuk
sejarah Islam sesudah Nabi, tak bebas dari pertumpahan darah
untuk menampilkan alternatif. Bagaimana komentar anda?"
2 Pebruari, jawaban Khumaini pendek:
"Tiar, pandangan anda muram, tapi mungkin benar: sistim yang
baik adalah justru sistim yang bisa dengan damai memperbaiki
diri, bukan sistim yang merasa paling baik. Sekian dulu. Saya
minggu ini pulang ke Rangkasbitung."
Dua hari setelah Farid Khumaini meninggalkan Jakarta, drs.
Bakhtiar berangkat dari Padang ke Bukittinggi untuk seminar
LP3ES.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini