Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
-----
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemacetan parah kembali menjadi pemandangan pada mudik Lebaran kali ini. Skenario pemerintah membuat arus mudik dan balik lancar berantakan. Sebaliknya, sejumlah langkah tersebut, seperti one way dan contraflow, justru membuat kemacetan meluas ke mana-mana.
Rekayasa lalu lintas arus Lebaran memunculkan masalah lain karena tidak dikalkulasi dengan cemat dan tanpa simulasi untuk meminimalkan dampak ikutan. Akibatnya, di mata masyarakat tampak seolah rekayasa lalu lintas hanya memfasilitasi kelompok tertentu dan menyusahkan kelompok lain.
Salah satu contoh, one way dari awah Jawa menuju Jakarta, Sabtu lalu, menyebabkan kemacetan parah di jalan arteri wilayah Jakarta Timur hingga Bekasi. Semua kendaraan ke arah timur bertumpuk di jalan arteri. Sebelumnya, one way tol dari arah Jakarta ke Jawa saat arus mudik membuat beberapa titik di jalur Pantura macet, terutama di Cirebon. Sebab, semua pengendara ke arah Jakarta tumpah di Pantura.
Biang kemacetan lain selama bertahun-tahun adalah pemudik yang ramai-ramai berhenti di bahu jalan tol, serta pengunjung rest area yang berlebih sampai tumpah ke jalan. Di jalan arteri, salah satu biang kemacetan adalah keramaian di pompa bensin. Lalu gerbang tol utama, titik ini menjadi sumber kemacetan karena kendaraan antri untuk membayar tol.
Hal-hal tersebut tampaknya tidak diantisipasi sejak awal. Padahal, pemerintah sejak jauh-jauh hari sudah memprediksi bahwa arus mudik Idul Fitri kali ini akan membludak lantaran larangan mudik pada dua Idul Fitri sebelumnya. Prediksinya, setidaknya ada 85,5 juta orang, 23 juta mobil, dan 17 juta sepeda motor melakukan perjalanan mudik pada 2022.
Seharusnya pemerintah menggunakan data prediksi arus mudik tersebut sebagai dasar untuk mempersiapkan berbagai skenario mudik yang aman dan lancar. Libatkan semua pemangku kepentingan yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan mudik untuk bersama-sama menimbang potensi-potensi hambatan dan mensimulasikan langkah-langkah antisipasinya. Karena pengaturan arus mudik mesti komprehensif dan matang, tidak bisa dilakukan sepotong-potong dan situasional.
Anjuran mudik lebih awal seperti digaungkan Presiden Joko Widodo, misalnya, sebetulnya bagus untuk menghindari kemacetan pada saat mudik. Masalahnya itu hanya berhenti di omongan, tidak ada kebijakan riil menyertainya. Jika hendak mendorong agar pemudik jalan lebih awal, pemerintah misalnya dapat meliburkan anak sekolah lebih cepat dan mengizinkan orang tua untuk bekerja dari mana saja atau online, katakan satu pekan sebelum dan setelah Lebaran.
Bahkan jika perlu, untuk menarik minat masyarakat, pemerintah bisa memberi insentif berupa diskon tol bagi pemudik lebih awal. Pola diskon serupa bisa pula pada arus balik agar anjuran bagi pemudik untuk balik lebih awal lebih menarik minat.
Perencanaan mudik yang amburadul menyebabkan pemerintah banyak mengandalkan kebijakan-kebijakan dadakan yang seringkali malah mengacaukan rencana lain yang sudah dirancang matang. Seperti sekarang, setelah melihat arus balik yang masih membludak menjelang akhir liburan sekolah, pemerintah membolehkan sekolah dan bekerja daring hingga pekan depan. Sementara, banyak sekolah sebenarnya sudah mempersiapkan program belajar tatap muka sejak 9 Mei.
Mudik Lebaran merupakan tradisi panjang di negara ini. Kendala utamanya selalu sama dari tahun ke tahun. Pemerintah semestinya bisa belajar dari pengalaman.