Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sob: data-data fraksi karya

Ksob & tssb diusulkan agar distop peredarannya. di duga menyedot uang daerah rp 1,2 trilyun per tahun membuat daerah megap-megap, sebab kehabisan uang serta semangat kerja terserang erosi kelambanan.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Urusan KSOB (dulu Porkas) dan saudaranya TSSB sedang in. Sejak koran sampai dengan lembaga yang terhormat kita, DPR, bicara soal satu itu. Yang lebih menarik, di antara mereka yang bersuara itu fraksi mayoritas di DPR: Fraksi Karya Pembangunan (FKP), yang selama ini dianggap fraksi yang banyak menyuarakan kebijaksanaan pemerintah. Kali ini fraksi itu bersuara hebat. Apalagi suaranya didukung data hasil pengumpulan di lapangan. Data itu, antara lain, menyebutkan bahwa bermilyar rupiah dana rakyat dari kota sampai ke pelosok tanah air disedot KSOB dan TSSB (biasanya yang empat nomor). Dan itu dianggap akan mengganggu perekonomian rakyat kecil. Sebab, uang yang berada di daerah akan berkurang. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi daerah akan lambat dan terhambat. Konyolnya, olah raga yang disebut-sebut dibantu dana tersebut prestasinya memble.. Bayangkan, PSSI, yang cuma memerlukan hasil draw untuk maju ke babak selanjutnya Piala Asia, malahan keok 4-0 dari Korea Selatan. Bulu tangkis, yang sebelumnya sudah ribut merencanakan strategi kita di final melawan Cina, malah dipecundangi Malaysia, yang cuma dipandang sebelah mata. Nah, silakan ribut, deh, siapa yang salah siapa benar. Itu semua fakta bahwa makin kecil saja arti yang kelihatan dari pengumpulan duit lewat peredaran KSOB dan TSSB itu. Kalau masih mau berkilah bisa mengasih tontonan hebat Piala Eropa dan tinju dunia sehingga TVRI lewat salah seorang pejabatnya bilang kalau saja 70% pemilik TV mau membayar iuran, TVRI bisa mandiri memberikan tontonan tanpa bantuan keuangan KSOB dan TSSB. Semua orang kini sudah bicara tentang KSOB dan TSSB. Dan saya kira sekarang sudah tiba saatnya para pengambil keputusan di pemerintahan duduk di satu meja memutuskan masalah yang menyangkut nasib buruk orang banyak itu. Sebab, keputusan itu begitu penting dipandang dari sudut disiplin nasional yang sedang dicoba dibangun. Sebab, masalahnya menyangkut mental bangsa. Juga, guna memperlancar roda ekonomi rakyat kecil di daerah. Para pengambil keputusan tentu tak akan memutuskan sesuatu yang salah. Secara jujur kita tentu sependapat bahwa orang yang membeli KSOB dan TSSB dengan dasar itikad menyumbang demi kemajuan olah raga tentu jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang yang membeli dengan harapan bahwa pada saat pembukaan undian nasibnya akan berubah karena dapat duit lebih banyak. Usul agar pemerintah menyetop peredaran KSOB dan TSSB merupakan jalan pintas untuk menutup sumber coba-coba adu nasib, yang ternyata juga menyedot uang daerah Rp 1,2 trilyun per tahun. Jumlah ini cukup membuat daerah megap-megap. Sebab, daerah kehabisan uang, di samping juga semangat kerja terserang erosi. Sebetulnya, memberikan penerangan yang jelas kepada golongan menengah ke bawah yang hobi memasang KSOB dan TSSB tentu merupakan cara lain membendung arus uang yang keluar dari daerah akibat coba-coba adu nasib itu. Dengan bahasa sederhana, gamblang, mudah dimengerti, dan langsung ke sasaran, para pemuka masyarakat dan juru dakwah serta pihak lain yang suaranya bisa didengar publik dapat memberikan penjelasan yang bisa dimengerti. Jelaskan bahwa membeli KSOB dan TSSB itu banyak kerugiannya daripada keuntungannya. Mungkin, dengan mengatakan bahwa memasang KSOB dan TSSB itu susah dapatnya dan termasuk judi. Karena itu, memasang KSOB dan TSSB berdosa membikin keluarga sengsara, kalau keseringan memasang dan tak pernah dapat. Itu akan lebih mudah dicernakan daripada mengatakan bahwa memasang KSOB dan TSSB itu akan mengganggu moneter di Indonesia -- ini bahasa canggih. Seorang sopir taksi gelap di depan stasiun Bandung bilang bahwa Porkas itu singkatan dari Putar Otak Rencana Kaya Akhirnya Sengsara. Hanya saja, apakah orang-orang tadi, yang karena jabatannya, bisa ngomong atau berani ngomong soal tersebut, itu persoalan lain. Sebab mungkin saja mereka pakewuh, risi, takut, dan seribu satu alasan lain. Vox Populi, Vox Deo -- suara rakyat, suara Tuhan. Rakyat sudah bersuara lewat wakilnya di DPR, dan pemerintah sudah mendengar itu. Kita percaya, seperti dulu-dulu, pemerintah cukup peka dengan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat (Ingat, masalah ekonomi biaya tinggi yang mengakibatkan hilangnya sebagian besar jembatan timbangan dan masuknya SGS untuk memeriksa barang). Sekarang pun, pemerintah tidak akan tinggal diam. Life is a matter of choice -- hidup itu persoalan memilih. Olah raga yang prestasinya tak didukung sumber dana ataukah uang Rp 1,2 trilyun yang harus dlselamatkan? Untuk urusan tayangan peristiwa olah raga tingkat dunia, TVRI sudah bilang bahwa 70% pemilik TV mesti membayar iuran, kalau tak mau menonton memakai uang dari hasil KSOB dan TSSB. Tinggal Bos Pusat bilang, agar tiap kelurahan menggalakkan dan wajib mengumpulkan iuran TV warga di daerahnya dengan imbalan beberapa persen dari uang yang dapat dikumpulkan (secara resmi, tentu, dengan SK). Itu lumayan bagi mereka, buat tambah-tambah membeli pakaian seragam hansip atau buat menggaji petugas kebersihan yang membersihkan got mampet atau buat keperluan lain yang bisa mendukung pembangunan di seantero kelurahan. Tiap bulan dapatnya, sama-sama asyik, 'kan? Untuk menunjang kegiatan olah raga dan pemuda? Bagaimana kalau kita bilang kepada mereka, berprestasi dulu dengan dana seadanya. Duit baru datang belakangan, yakni dari sponsor dan simpatisan. Masih banyak yang percaya bahwa rasa nasionalisme yang tebal dan kebanggaan akan bangsanya yang ada di dada tiap olah ragawan jauh lebih ampuh dan mampu mendorong berprestasi. Siapa yang tak akan bergetar perasaannya mendengar lagu Indonesia Kaya berkumandang pada saat penghormatan buat sang juara di arena? Atau, lagu Padamu Negeri asalkan itikad diikrarkan untuk membela nama bangsa melalui olah raga? Kita mempercayakan keputusan mengenai nasib orang banyak yang menyangkut peri laku kehidupan bangsa ini kepada pemerintah. Jika urusan menekan populasi penduduk (KB), swasembada pangan dan peningkatan ekspor nonmigas keberhasilannya mengundang decak dunia internasional, masa iya, soal yang satu ini nggak bisa? Mesti bisa. Dan pasti bisa, dong. IR. SARGITO Kampung Melayu Jatinegara Jakarta Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus