Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH pusat dan daerah harus segera memperbaiki koordinasi dalam menangani korban bencana di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebulan setelah gempa pertama mengguncang pulau berpenghuni 3,1 juta jiwa itu, penyaluran bantuan masih belum merata. Laporan soal pengungsi yang telantar tanpa pasokan logistik yang memadai masih terus terdengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekacauan di lapangan tersebut tak akan terjadi jika sejak awal ada garis komando yang jelas dalam penyaluran bantuan di masa tanggap darurat. Berapapun besarnya, bantuan publik yang dikirim ke Lombok bakal percuma jika semua lembaga berjalan sendiri-sendiri. Walhasil, bantuan menumpuk di sejumlah titik, sementara di titik lain korban menjerit karena sama sekali tak ditengok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendataan korban dan kerusakan yang kurang terpadu juga berperan membuat penanganan gempa Lombok terkesan sporadis. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tampak tak sigap mengantisipasi dampak masif dari ratusan gempa yang terjadi beruntun di Lombok sejak akhir Juli lalu. Banyaknya lembaga pemberi bantuan yang tak terdata di BNPB dan kurang memahami prosedur standar masa tanggap darurat membuat situasi kian runyam.
Urusan menolong sekitar 400 ribu jiwa pengungsi dan memperbaiki 73 ribu rumah yang luluh-lantak tak akan optimal tanpa koordinasi yang baik. Pemulihan lebih dari 20 ribu korban cedera dan pemberian bantuan untuk keluarga 550 lebih korban jiwa juga membutuhkan sinergi dan kolaborasi berbagai organisasi kemanusiaan yang kini turun tangan di Lombok.
Polemik soal status bencana nasional juga menambah kisruh penanganan korban gempa. Bagi sebagian pihak, perubahan status itu dinilai mendesak agar pusat koordinasi masa tanggap darurat menjadi lebih jelas dan mobilisasi sumber daya lebih cepat. Sedangkan pemerintah pusat terkesan terlampau berhitung soal dampak penetapan status bencana nasional itu pada sektor pariwisata dan penyelenggaraan perhelatan internasional seperti Asian Games di Jakarta serta pertemuan International Monetary Fund-World Bank di Bali pada Oktober mendatang.
Sekarang saatnya semua pihak mengesampingkan perbedaan dan berfokus pada penanganan korban. Ketimbang memperdebatkan optimal tidaknya perhatian pemerintah untuk korban gempa Lombok, lebih baik publik bahu-membahu menggalang solidaritas sosial. Inisiatif swadaya masyarakat untuk menghimpun bantuan harus terus digalakkan di seluruh Indonesia. Sosialisasi BNPB mesti lebih terstruktur dan sistematis agar publik tahu apa yang dibutuhkan korban dan bagaimana cara menyalurkan bantuan.
Jika perlu, pemerintah pusat dan daerah bisa memperpanjang masa tanggap darurat. Meski tiga pekan sudah berlalu sejak periode darurat ditetapkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, suplai logistik untuk para korban di pengungsian belum stabil. Pemerintah tak perlu buru-buru membangun kembali rumah-rumah yang rusak jika pasokan kebutuhan dasar untuk para pengungsi belum terjamin. Masa rehabilitasi dan rekonstruksi seharusnya baru dimulai ketika kondisi darurat sudah tertangani sepenuhnya.
Pelajaran terpenting dari semrawutnya penanganan gempa Lombok adalah minimnya kapasitas kita dalam menangani bencana. Kesadaran bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana alam belum dibarengi kesiapsiagaan mengantisipasi dampaknya. Ini pekerjaan rumah besar yang mesti dibenahi sebelum bencana alam berikutnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo