Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terobosan Presiden Joko Widodo membuat Papua lebih terbuka dan bebas dari pelanggaran hak asasi berlarut-larut perlu diuji. Terobosan ini mesti dijalankan dan tak terganjal oleh bawahannya. Solusi Papua memerlukan ketegasan agar Papua yang lebih baik benar-benar terwujud.
Akhir pekan lalu, Presiden Jokowi "melanggar tabu" yang telah berjalan dari awal Orde Baru hingga masa reformasi ini. Ia memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua dan menyatakan Papua wilayah terbuka untuk wartawan asing.
Berpuluh tahun semenjak bergabung ke wilayah Republik Indonesia pada 1 Mei 1963, Papua—waktu itu Irian Barat—otomatis menjadi daerah di bawah pengawasan tentara dan polisi. Kekerasan berlatar separatisme, pelanggaran hak asasi oleh aparat keamanan, ditambah konflik horizontal yang telah hadir sebelumnya, menjadi bagian dari siklus kehidupan masyarakat Papua sehari-hari. Entah sudah berapa banyak kematian sia-sia. Yang jelas, pendekatan militeristik untuk mengatasi gejolak separatisme yang kelewat lama ini boleh jadi telah melahirkan pribadi atau kelompok yang diuntungkan keadaan.
Diakui atau tidak, keleluasaan untuk meliput yang telah diberikan kepada media asing akan membuat semua pelanggaran hukum di sana semakin terbuka, menyoroti pelakunya yang selama ini tak tersentuh hukum.
Dengan sumber daya alam yang begitu melimpah dan kucuran dana otonomi khusus begitu besar, masyarakat Papua ternyata masih terbelenggu kemiskinan, memperoleh pendidikan yang minim, kesehatan yang buruk, dan keterbelakangan. Sepanjang 2001-2014, sekitar Rp 57,7 triliun dana mengucur ke Papua dan Papua Barat. Ironisnya, ini tidak berpengaruh pada indeks pembangunan manusia (IPM) Papua. IPM Papua dan Papua Barat masih di urutan terakhir di Indonesia. Tiga tahun lalu, skor IPM Papua 65,86. Itu menjadikan Papua sebagai provinsi dengan IPM terendah secara nasional (rata-rata 73,29).
Korupsi merupakan penyakit kronis di Papua. Pada Februari lalu, semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua Barat, yang berjumlah 44 orang, menjadi tersangka korupsi. Korupsi massal ini bermula ketika para legislator tersebut meminjam dana Rp 22 miliar dari PT Papua Doberai Mandiri (Padoma). Badan usaha milik daerah ini mengincar bisnis perkebunan sawit, batu bara, gas, dan lain-lain. Belakangan, diketahui bahwa dana BUMD ini bukan menjadi kebun sawit, melainkan dipakai para anggota Dewan membeli rumah dan kendaraan serta mengongkosi pertemuan dengan para konstituen.
Untuk menghapus suasana represif yang berlangsung setengah abad lebih ini, mungkin kita bisa memetik manfaat dari usul yang diajukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009. Belajar dari penyelesaian masalah separatisme di Aceh, LIPI mengusulkan road map yang meliputi pengakuan identitas Papua, termasuk penulisan sejarah Papua yang jujur, dialog, rekonsiliasi, dan pengadilan atas pelanggaran hak asasi.
Inilah rekonsiliasi yang bukan hanya jalan untuk mengadili para pelaku kekerasan, melainkan solusi buat memutus mata rantai kekerasan. Ini pulalah peluang untuk membangun perdamaian dan kesejahteraan di Papua.
Meski bukan presiden pertama yang memiliki gagasan pemberian grasi untuk tahanan politik dan jaminan kebebasan pemberitaan di Papua, inisiatif Presiden Jokowi pada akhir pekan lalu pantas dipuji. Namun ini tetap membutuhkan ketegasannya, agar tak terulang perintahnya diabaikan oleh para bawahannya, seperti saat ia memerintahkan penghentian kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo