Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECERMATAN merupakan "mahkota" proses hukum. Tanpa kehati-hatian dan akurasi tinggi, upaya menegakkan hukum dan keadilan niscaya sia-sia. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mengingat kembali prinsip dasar itu menyusul kekalahan beruntun komisi antirasuah ini dalam sidang praperadilan Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.
Ketidakcermatan KPK—menyitir putusan hakim tunggal praperadilan Yuningtyas Upiek Kartikawati—terlihat dari tidak kuatnya dua alat bukti yang dimiliki dalam penetapan Ilham sebagai tersangka korupsi kasus Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang diduga merugikan negara Rp 38 miliar.
Bahkan, sungguh mengagetkan, hakim menemukan alat bukti yang digunakan KPK sebagai dasar penetapan tersangka hanya berbentuk salinan—tanpa bukti asli. Bila aparat KPK bekerja tanpa kecerobohan, kesalahan elementer semacam ini pasti mudah dielakkan. Semestinya KPK punya waktu yang cukup untuk menelisik kasus PDAM yang terjadi pada 2006-2012 itu. Namun pilihan waktu penyematan status tersangka saat malam menjelang Ilham melepaskan jabatan wali kota pada Mei 2014 patut diduga membuat pemberkasan dilakukan tergesa-gesa.
Tanpa mengubah cara kerja, KPK akan menguras tabungan kredibilitas yang selama ini sudah dikumpulkannya. Menelisik kasus dengan akurasi tinggi merupakan pilihan yang tak bisa ditawar, apalagi Komisi tidak memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan. Maka, sebelum yakin benar dengan alat bukti yang dimiliki, KPK perlu menghemat penetapan status tersangka.
KPK juga perlu bekerja ekstra-hati-hati lantaran Mahkamah Konstitusi belum lama ini sudah pula memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu, setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka bisa menggugat melalui praperadilan. Perlindungan hukum negara atas hak tersangka inilah yang mengharuskan aparat penegak hukum, tak terkecuali KPK, mengutamakan pencarian alat bukti yang kuat sebelum mengeluarkan status tersangka.
Tersirat ada pembelaan atas hak asasi manusia dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu. Bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, bukan hanya karier politik atau reputasi bisnisnya yang hancur, keluarganya pun pasti terkena imbas status buruk itu. Itu sebabnya, layak diusulkan, KPK juga mempertimbangkan asas proporsionalitas, yakni memastikan tindakannya tetap menghormati etika individual dan etika sosial. Dalam kasus Ilham Arief Sirajuddin, penetapan status tersangka yang disiarkan KPK persis pada malam sebelum ia digantikan wali kota baru Makassar seakan-akan langsung menghapuskan puluhan penghargaan yang diraih Ilham selama sepuluh tahun memimpin kota itu. Suasana pelantikan kontan terasa hambar. "Hukuman" seyogianya bisa ditunda sehari atau dua hari tanpa mengurangi kredibilitas KPK.
Dalam suasana seperti sekarang, berkelit bukanlah cara pembelaan terbaik. Pernyataan bahwa KPK menetapkan status tersangka selalu dengan bukti kuat, seperti dikutip pemimpin sementara KPK, Johan Budi S.P., tak akan banyak mengubah sangkaan orang bahwa Komisi selama ini kurang cermat. Ada baiknya KPK meninjau kembali seluruh standard operating procedure-nya, termasuk dalam penetapan status tersangka.
Keberanian mengakui kelemahan dan keinginan memperbaiki diri merupakan kekuatan yang akan mengembalikan reputasi KPK di masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo