Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Arah Keliru Bisnis Setrum

Kita semua mafhum pengelolaan PT PLN (Persero) butuh terobosan besar. Namun keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menggeser fokus bisnis perusahaan itu ke transmisi dan distribusi dengan meninggalkan bisnis pembangkit listrik tak menjawab persoalan.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini, PLN memang didera krisis berlapis. Bukan hanya soal pimpinannya yang bolak-balik kena kasus korupsi, perusahaan ini dikritik publik setelah insiden pemadaman listrik berjam-jam di Jakarta dan sebagian Jawa pada awal Agustus lalu.

Secara internal, arus kas perusahaan setrum ini kerap tersendat karena pembayaran subsidi negara untuk penjualan listrik tak lancar. Tahun lalu, dari keuntungan sebesar Rp 11,575 triliun, ada piutang kompensasi dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 23,1 triliun.

Dengan kondisi kas ini, pertumbuhan utang PLN jadi mencemaskan. Sampai kuartal pertama 2019, utang PLN membengkak hingga Rp 394,18 triliun, naik 1,7 persen dibanding akhir tahun lalu. Sempat tersiar kabar, dua tahun lalu, Kementerian Keuangan sampai melayangkan surat kepada Direktur Utama PLN soal risiko gagal bayar perusahaan itu.

Padahal modal yang digerojokkan pemerintah kepada PLN juga tak kurang-kurang. Selama empat tahun terakhir, PLN sudah menerima penyertaan modal negara sebesar Rp 35,1 triliun. Jumlah itu paling jumbo dibandingkan dengan semua BUMN lain di Indonesia.

Modal sebesar itu dibutuhkan PLN untuk terus membangun pembangkit listrik. Setiap tahun ada kebutuhan investasi di sektor ini sebesar Rp 80-90 triliun. Namun meninggalkan bisnis ini seperti yang diminta Menteri Erick tak bakal menyehatkan PLN dalam semalam.

Salah satu sumber masalahnya ada di hilir: PLN harus menjual listrik dengan tarif yang ditentukan pemerintah. Meski biaya pokok penyediaan pembangkitan listrik terus naik—tahun ini naik sekitar 9 persen—sejak 2017, pemerintah tidak menaikkan harga setrum di masyarakat. Walhasil, beban keuangan PLN terus meningkat. Memang ada subsidi dari pemerintah untuk menutup selisih itu, tapi keputusan tentang besarannya ada di Dewan Perwakilan Rakyat.

Itulah salah satu alasan PLN selama ini bermain di hulu. Tanpa bisnis pembangkit, keuangan PLN bisa makin berdarah-darah. Tentu tak dapat dimungkiri, keterlibatan PLN di sini juga menyisakan masalah. Banyak perusahaan swasta mengeluhkan pola kerja sama yang ditawarkan PLN. Mentang-mentang pembeli tunggal, PLN kerap memaksakan skema yang kurang adil buat calon mitra bisnisnya.

Bisik-bisik soal uang pelicin juga kerap terdengar. Meski belakangan divonis bebas, mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima imbalan atas jasanya menyetujui proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 di Sumatera.

Perilaku pemerintah juga tak membantu. Transparansi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral soal rencana usaha penyediaan tenaga listrik setiap tahun kerap bermasalah. Informasi tentang penentuan pemenang tender pengadaan pembangkit lebih banyak gelap ketimbang terang.

Fakta bahwa kebanyakan perusahaan swasta yang bermain di sektor pembangkit listrik dimiliki pengusaha kakap dengan segudang pengaruh dan jejaring politik membuat urusan ini jadi kian ruwet.

Tanpa proses yang jelas, terbuka, dan akuntabel, tak jelas benar apakah sebuah perusahaan pengadaan listrik atau independent power producer (IPP) mendapat kontrak pembangkit setrum karena proposalnya memang paling baik atau karena figur di belakang perusahaan itu. Inilah kenapa power purchase agreement (PPA) kerap dikritik menyuburkan praktik pemburu rente. Selisih harga sekian sen saja bisa memberikan keuntungan di luar kewajaran untuk IPP.

Selama ada transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik, keterlibatan PLN di sektor hulu sebaiknya dipertahankan. Penguasaan PLN di bisnis pembangkit bisa mendorong penentuan harga dalam PPA jadi lebih efisien.

Ketimbang menarik diri dari bisnis pembangkit, memecah PLN menjadi beberapa perusahaan yang lebih kecil bisa jadi solusi yang lebih baik. Dengan postur lebih ramping, PLN di setiap wilayah dapat menjawab kebutuhan pengadaan pembangkit dan harga distribusi yang lebih mencerminkan kondisi warga.

Mengurai benang kusut persoalan di PLN butuh ketelitian dan kehati-hatian. Solusi jangka pendek memang dibutuhkan, tapi memikirkan peran strategis PLN dalam jangka panjang tak kalah penting. Negara jelas tak boleh melepaskan urusan strategis ini sepenuhnya kepada swasta. Perlu ada skema kerja sama yang adil dan saling menguntungkan, agar kepentingan khalayak ramai terpenuhi dengan memuaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus