Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ATURAN pembatasan barang bawaan dari luar negeri tidak semestinya menimbulkan kegaduhan kalau pemerintah lebih tertib melakukan sosialisasi. Minimnya partisipasi publik dalam pembuatan regulasi tersebut menimbulkan kebingungan bagi masyarakat yang kerap bepergian ke luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa woro-woro, pembatasan barang bawaan dari mancanegara yang diatur lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor mulai berlaku sejak 10 Maret lalu. Diterbitkan pada 11 Desember 2023, peraturan tersebut meluncur begitu saja. Setelah terjadi polemik, barulah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menjelaskan batasan regulasi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gonjang-ganjing akibat banyak tafsir atas aturan tersebut sejatinya bisa diminimalkan jika pemerintah memanfaatkan waktu yang diberikan untuk mempublikasikan ketentuan baru selama 90 hari sejak aturan terbit. Sepanjang waktu itu, pembahasan hanya menghangat di kalangan pelaku usaha, terutama importir. Namun tak ada ruang diskusi bagi masyarakat sipil, yang bukan pelaku industri. Padahal mereka termasuk kelompok yang terkena dampak langsung kebijakan tersebut.
Regulasi baru itu bersenggolan langsung dengan kepentingan publik. Misalnya dalam paragraf 4, tentang impor atas barang yang dibatasi bagi importir yang tidak dapat memiliki nomor induk berusaha (NIB) yang berlaku sebagai angka pengenal importir (API) berupa barang kiriman pekerja migran Indonesia.
Ada lima jenis barang yang masuknya dibatasi, yakni alas kaki (maksimal 2 pasang per orang), tas (maksimal 2 buah per orang), barang tekstil jadi (maksimal 5 lembar per orang, elektronik (paling banyak 5 unit, dengan total nilai maksimal FOB US$ 1.500 per orang), serta telepon seluler, handheld, dan komputer tablet (maksimal 2 buah per orang dalam jangka waktu 1 tahun). Namun, berdasarkan Pasal 34, produk yang termasuk kategori barang kiriman pekerja migran Indonesia dapat dikecualikan dari aturan pembatasan, yaitu barang yang dalam keadaan tidak baru.
Artinya, aturan pembatasan hanya berlaku untuk barang yang baru dibeli, bukan barang pribadi yang sudah lama dipakai. Kendati begitu, pembuktian tentang barang baru dibeli atau sudah lama ini juga sering memicu perselisihan. Petugas Bea dan Cukai biasanya meminta bukti transaksi untuk memastikan barang lama atau baru. Tapi kebanyakan pelaku perjalanan beralasan tidak menyimpan kuitansi, apalagi yang sudah lewat berbulan-bulan.
Hal-hal teknis yang bisa masuk kelompok barang kiriman pekerja migran inilah yang tidak tersosialisasi secara jelas. Walhasil, pengecekan barang bawaan warga dari luar negeri oleh petugas Bea dan Cukai di berbagai pintu masuk pelabuhan serta bandar udara malah memicu ketegangan.
Ketentuan impor baru ini menggeser pemeriksaan barang masuk, dari semula post border menjadi border. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memperketat pengawasan produk asal luar negeri, yang belakangan membeludak dan menjadi keluhan industri domestik. Niat pemerintah sebetulnya baik: melindungi produsen lokal dari serangan produk impor yang harganya lebih murah karena beragam fasilitas di negeri asal. Pemeriksaan di pintu masuk, dengan memungut bea, akan membuat barang impor menjadi lebih mahal.
Kebijakan hambatan tarif seperti ini jamak diberlakukan di semua negara. Masalahnya, aturan ini kerap ditelikung melalui jalur perjalanan orang. Terbukti, bisnis jasa penitipan barang dari luar negeri (jastip) dan jasa sewa bagasi makin marak. Ini juga tidak adil bagi peretail produk impor yang patuh membayar bea masuk.
Namun kebijakan pembatasan ini tidak ada artinya tanpa penegakan hukum yang tegas. Jangan sampai kasus ratusan telepon seluler dan tablet bodong—seperti yang terungkap pada tahun lalu—terulang. Produk pasar gelap itu juga bermula dari aturan pembatasan barang bawaan maksimal US$ 500. Petugas meminta uang sogokan untuk meloloskan barang yang nilainya melebihi ketentuan.
Di luar itu, ada yang lebih penting dan mendesak dilakukan pemerintah, yakni menahan masuknya barang ilegal, misalnya tekstil dan produk tekstil (TPT). Data International Trade Center menunjukkan perbedaan yang lebar antara catatan impor Badan Pusat Statistik dan data ekspor Cina ke Indonesia yang dihimpun General Administration of Customs China.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencermati, pada 2022, perbedaan catatan impor itu mencapai US$ 2,94 miliar (Rp 43 triliun), dengan ekspor TPT Cina ke Indonesia (HS 50-63) mencapai US$ 6,5 miliar. Sedangkan catatan impor BPS hanya US$ 3,55 miliar. Jika diasumsikan impor per kontainer senilai Rp 1,5 miliar, kira-kira ada 28.480 kontainer TPT ilegal yang masuk setiap tahun. Yang lebih mengerikan, impor barang haram itu diprediksi terus meningkat dari waktu ke waktu.
Praktik ilegal ini jauh lebih merugikan ketimbang bisnis oleh-oleh atau jastip para pelancong dari luar negeri. Pemerintah semestinya lebih berfokus menyumbat pintu-pintu penyelundupan yang hingga kini masih sangat masif. Barang ilegal yang menguasai hampir separuh pangsa pasar dalam negeri inilah yang justru meresahkan pelaku usaha. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo