Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Stigma terhadap radikalisme Islam kian meredup.
Amerika Serikat dan Kanada mengangkat duta besar khusus untuk memerangi islamofobia.
Apa sebenarnya akar radikalisme dan ekstremisme ini?
Hafid Abbas
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2012-2017 dan Presiden Global Alliance of National Human Rights Institution di Asia Tenggara 2014-2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya akhirnya terjadi. Pada 14 Desember lalu, atas kepeloporan Ilhan Omar, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Dewan mengegolkan Undang-Undang Anti-Islamofobia. Undang-undang itu kini tinggal menunggu persetujuan Senat. Keberhasilan Omar itu berkat dukungan penuh dari jajaran Demokrat, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat akan mengangkat duta besar khusus untuk memantau dan memerangi segala bentuk islamofobia di seluruh dunia. Undang-undang ini mengamanatkan Kementerian menyusun laporan tahunan kepada Kongres mengenai hak asasi manusia dan kebebasan beragama di setiap negara. Laporan itu akan berisi data dan informasi tentang perlakuan kejam secara fisik dan penghinaan terhadap umat Islam; kasus-kasus propaganda oleh media, dari pemerintah atau bukan, yang bertujuan untuk membenarkan dan mengobarkan kebencian atau menghasut kekerasan terhadap umat Islam; serta langkah-langkah yang diambil pemerintah di setiap negara untuk mengatasi kasus-kasus tersebut.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga telah mengumumkan akan segera mengangkat duta besar khusus untuk memerangi islamofobia. Trudeau menegaskan bahwa persoalan islamofobia adalah fakta sehari-hari yang dihadapi oleh umat Islam di seluruh dunia.
Kebijakan Amerika ini tampaknya berdasarkan atas kegagalannya menginvasi Afganistan selama dua dekade dengan kerugian dan pengorbanan yang tidak ternilai. Kegagalan dan pengorbanan yang sama juga dialami di Irak. Di sisi lain, dengan melihat ekspansi dan dominasi pengaruh ekonomi, sosial, dan politik Cina sejak 1990-an di Afrika dan berbagai negara di Asia, pengaruh Amerika di kawasan Indo-Pasifik terlihat meredup. Di tengah dinamika itu, Amerika terlihat hendak membangun koalisi baru dengan dunia Islam.
Prakarsa untuk memerangi islamofobia sebenarnya bukanlah hal baru. Bahkan Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah mengangkat Pelapor Khusus tentang Intoleransi Kehidupan Beragama sejak 1986. Pada 2000, mandat Pelapor Khusus itu diperluas menjadi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Masyarakat internasional kini semakin sadar bahwa sumber dari segala sumber radikalisme adalah ketidakadilan. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan ekstremisme serta terorisme. Stigma bahwa radikalisme dan ekstremisme kepada umat Islam adalah proyek Barat di masa lalu yang sekarang sudah mereka akhiri.
Sementara komunitas internasional semakin sadar bahwa pangkal radikalisme sesungguhnya bukanlah agama, melainkan ketidakadilan, Indonesia tampaknya belum berubah. Mantan wakil presiden Jusuf Kalla menolak ketika kepolisian hendak memetakan masjid-masjid dalam upaya menangkal paham ekstremisme dan radikalisme. Kalla menegaskan bahwa tak ada paham radikalisme yang pernah mengacau negara lewat masjid.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menyatakan 198 pesantren terafiliasi dengan terorisme. Jusuf Kalla menyayangkan pernyataan ini. Kepala BNPT Boy Rafli Amar akhirnya meminta maaf saat bersilaturahmi ke kantor pusat Majelis Ulama Indonesia.
Kalla mengajak berbagai pihak tidak berspekulasi soal pesantren dan masjid yang terafiliasi dengan terorisme. Itu sangat keliru, tidak sensitif, dan rentan menimbulkan kecurigaan di antara sesama warga. Bahkan, Kala menegaskan, selama 77 tahun, setidaknya ada 15 konflik besar dengan korban ribuan orang. Namun, 11 dari 15 konflik itu terjadi karena ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi (Tempo, 15 Januari 2022).
Kalla mencontohkan pembakaran Kantor Bupati Bima oleh masyarakat pada 26 Januari 2012. Ini sesungguhnya berpangkal dari kebijakan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen yang dinilai tidak adil karena memberikan izin pertambangan emas di tiga kecamatan kepada PT Sumber Mineral Nusantara.
Kasus serupa yang ditangani Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2016 adalah penggusuran di dua kecamatan di Bima. PT Sanggaragro menggusur mereka karena telah mendapat izin penguasaan lahan seluas 5.000 hektare. Masyarakat yang tergusur harus hidup terlunta-lunta dan berkemah di depan Kantor Bupati selama berbulan-bulan.
Pada 2014, Komnas HAM menerima 6.967 pengaduan pelanggaran hak asasi dari masyarakat. Mereka mengadukan empat pihak sebagai pelanggar teratas, yakni polisi sebanyak 2.483 kasus (35,6 persen), kemudian korporasi dengan 1.590 kasus (22,8 persen), pemerintah daerah 1.270 kasus (18,3 persen), serta peradilan dan kejaksaan 836 kasus (12 persen). Data ini menunjukkan bahwa aktor utama dalam 88,7 persen kasus pelanggaran hak asasi adalah polisi, korporasi, pemerintah daerah, dan lembaga peradilan.
Sebagian pengadu menyatakan bahwa mereka tidak memperoleh keadilan (43,2 persen). Sebagian lagi kehilangan hak atas kesejahteraan yang bersumber dari perampasan tanah (42,5 persen). Sisanya mengaku kehilangan rasa aman (12,5 persen).
Data itu dengan jelas menunjukkan bahwa masalah terbesar masyarakat adalah hilangnya rasa keadilan, kesejahteraan, dan rasa aman. Kalau saja negara hadir memberi keadilan, kesejahteraan, dan rasa aman, negeri ini tentu akan terbebas dari segala konflik, radikalisme, dan ekstremisme.
Akhirnya, jika proyek radikalisme global sudah berakhir, keberadaan BNPT dan Densus 88 menjadi tidak relevan lagi. Jika tidak berubah dan umat Islam tetap dicurigai, Indonesia dapat menjadi musuh bersama masyarakat internasional.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo