Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Suap Energi dan Politikus Kotor

3 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH selayaknya khalayak menghukum legislator lancung dengan cara tak lagi memilih mereka dalam Pemilihan Umum 2014. Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terseret kasus korupsi terus bertambah. Indonesia Corruption Watch melansir, selama 2012, ada 52 kader partai politik serta 21 anggota dan mantan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang terjerat kasus korupsi. Jumlah tersebut meningkat tiga kali lipat setahun kemudian.

Mereka yang belum dihukum dijadikan tersangka atau saksi penting. Dua yang terakhir bolak-balik diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, dicegah ke luar negeri, atau harta bendanya dibeslah. Tapi tetap saja mereka maju tak gentar: pasang muka senyum di papan-papan reklame calon anggota legislatif di pelbagai daerah. Setidaknya 90 persen wajah lama anggota legislatif kini mencalonkan diri kembali.

Tentu tak salah jika Sutan Bhatoegana, Ketua Komisi Energi DPR, mengatakan anggota Dewan punya hak mencalonkan diri kembali selama belum terbukti bersalah. Apalagi jika, kata Sutan, konstituen masih menaruh kepercayaan pada sang anggota Dewan. Pernyataan itu menegaskan bahwa selama ini rekrutmen calon legislator kita kian menjauh dari fatsun politik. Semestinya justru calon yang berkualitas, berintegritas, jujur, dan bersih dari kasus hukum yang diajukan partai untuk dipilih, bukan sebaliknya.

Sutan kini disorot setelah ia bolak-balik diperiksa KPK dalam kasus suap Rudi Rubiandini, mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kantor dan rumahnya digeledah. Kepada KPK, Rudi mengaku pernah menggelontorkan duit US$ 200 ribu atau sekitar Rp 2 miliar kepada Sutan untuk tunjangan hari raya anggota DPR. Tak diberikan langsung, uang ini dikirim lewat rekannya di Fraksi Partai Demokrat DPR.

Pengakuan lain Rudi menyebutkan Komisi VII yang dipimpin Sutan juga meminta fee saat membahas anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013. Selain suap US$ 700 ribu dari petinggi PT Kernel Oil Indonesia, yang sudah ditangkap KPK, Rudi memenuhi permintaan Komisi dengan mengerahkan anak buahnya dan industri pertambangan untuk saweran. Pembicaraan tentang iuran ini terungkap dalam percakapan Rudi dengan Direktur Utama Pertamina yang disadap KPK dan diperdengarkan di pengadilan.

Tak cuma dua fee itu, KPK perlu pula menelusuri "tagihan" lain Komisi Energi kepada SKK Migas dan Kementerian Energi yang jumlahnya jauh lebih besar: US$ 1 juta. Diduga, rekan Sutan dari Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun, terseret kasus ini. Penelusuran diharapkan juga sampai ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Sulit membayangkan Jero tak tahu praktek kotor di SKK Migas. Posisinya amat sentral karena ia menjadi ketua komisi pengawas satuan kerja itu. Ia juga atasan bekas sekretaris jenderal kementerian ini, Waryono Karno, yang kini menjadi tersangka.

Dengan sejumlah dugaan itu, jelas politikus tak lagi punya modal integritas yang bisa dibanggakan kepada publik agar bisa dipilih kembali. Partai pun kehilangan marwah karena ditengarai menutup mata terhadap perilaku kadernya. Kementerian ESDM dan SKK Migas dipercaya umum menjadi "jatah" Demokrat. Begitu pula Kementerian Pemuda dan Olahraga. Partai lain, seperti Partai Keadilan Sejahtera, memegang pos berbeda: Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Skandal suap kuota impor sapi di Kementerian Pertanian menyeret banyak tokoh PKS.

Model "penjatahan" itu tak pelak menciptakan patgulipat antara penguasa, anggota Dewan, dan pengusaha. Pejabat membutuhkan dukungan agar ia tetap bertahan, pengusaha menyediakan suap agar proyeknya lolos, sedangkan anggota Dewan membutuhkan uang untuk mengganti dana yang sudah banyak dikeluarkan saat pemilu. Dengan kekuasaan masing-masing yang besar, mereka bisa saling mengunci atau sebaliknya "melancarkan" kepentingan masing-masing.

Simbiosis tak bermutu ini jelas harus dihentikan. Undang-undang yang mengatur secara ketat proses perekrutan politik, termasuk pengaturan dana kampanye pemilu, mutlak diperlukan. Hal yang juga penting, pemilih mesti menstabilo politikus bermasalah untuk tak dipilih dalam pemilihan raya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus