Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEGARA boleh saja membiayai kegiatan partai politik. Selain memperbaiki kualitas demokrasi, partai diharapkan tak lagi menggalang dana dengan menghalalkan segala cara. Namun rencana menebar Rp 660 miliar uang saksi hanya dua bulan menjelang pemilu legislatif jelas tindakan serampangan. Gerujukan anggaran negara secara mendadak ini, selain tak ada urgensinya, akan mudah diselewengkan.
Tambahan bujet buat honor saksi yang mewakili 12 partai politik nasional dan dua partai lokal itu tak punya landasan hukum. Undang-Undang Partai Politik tak mengatur khusus pembiayaan negara untuk honorarium saksi ini. Ketentuan yang ada selama ini memang membolehkan partai mendapat subsidi negara untuk pendidikan politik partai dan masyarakat. Jumlahnya dihitung berdasarkan perolehan suara atau kursi setelah pemilu—sekali lagi setelah pemilu, bukan saat pemilu berlangsung.
Pemerintah, yang tampaknya akan menerbitkan peraturan pemerintah untuk merespons usul segelintir politikus di Senayan itu, perlu berpikir ulang. Kalau aturan itu dipakai, selain landasan hukumnya lemah, kelak audit penggunaan keuangannya kemungkinan besar bermasalah. Partai politik, yang hendak dibantu negara, bisa saja lepas tangan. Soalnya, jatah setiap partai nasional, sekitar Rp 54 miliar, tak masuk ke kas masing-masing partai, tapi langsung ke tangan para saksi melalui Badan Pengawas Pemilu. Bisa dibayangkan, verifikasi untuk mengecek identitas saksi di lapangan pasti bakal rumit.
Badan Pengawas, kalau menyetujui rencana ini, tentu akan "ketiban sampur" untuk bertanggung jawab. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Badan Pengawas tidak diberi wewenang menyalurkan dana saksi. Badan Pengawas hanya mengawasi proses pemungutan suara dari penghitungan sampai rekapitulasi suara. Badan Pengawas dikhawatirkan tak akan bekerja maksimal bila mendapat tambahan pekerjaan baru yang merepotkan: membagikan honor Rp 100 ribu untuk saksi Badan Pengawas dan partai politik di lebih dari 545 ribu tempat pemungutan suara. Celakanya, pekerjaan tambahan ini pun tanpa dasar hukum memadai.
Soal etika juga menjadi masalah. Badan Pengawas harus steril dan bebas dari kepentingan partai politik, termasuk saksi mereka di lapangan. Dalam penyelenggaraan pemilu, kerap saksi partai dan saksi Badan Pengawas memberi kesaksian berbeda—keadaan yang sesungguhnya lebih menjamin kemurnian hasil penghitungan suara. Bila Badan Pengawas kelak membagikan uang negara kepada saksi partai politik, sistem cek dan cek ulang yang sudah tercipta selama ini akan berantakan. Saksi partai politik seakan-akan "bekerja" untuk Badan Pengawas dan bukan untuk partainya. Lagi pula, Badan Pengawas sudah sangat sibuk mengelola dana Rp 800 miliar untuk panitia pengawas lapangan, di luar anggaran operasional sekitar Rp 3 triliun.
Pemerintah, sebagai wakil negara, sebaiknya mendengar suara partai yang menolak dana saksi ini. Tak perlu berisiko melanggar hukum dengan dana yang disindirkan partai yang menolaknya sebagai "alokasi dana siluman" itu. Ketimbang menjebol bujet dari pos cadangan, mending menghemat dana atau lebih banyak menggunakannya untuk mengurus bencana alam yang mendera hampir seluruh pelosok negeri.
Prinsip dan disiplin anggaran harus diingat. Setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan. Ketimbang berkubang mudarat, biarlah ongkos capek para saksi itu ditanggung partai politik sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo