Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Suap Hakim Kasus Misbakhun

2 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA Mukhamad Misbakhun terbukti terlibat suap, tuturannya dalam buku Melawan Takluk: Perlawanan dari Penjara Century tampaknya harus diberi tafsir lain. Pada bagian akhir buku itu ia menulis: "Berjuang menegakkan prinsip itu luar biasa. Saya ingin memberikan warna dalam hidup saya. Harus ada sesuatu yang luar biasa yang kita perbuat dalam hidup ini."

Ia mungkin tak sedang berbicara tentang idealisme—barangkali ia mengoceh tentang siasat.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu meluncurkan bukunya pada Oktober lalu, tiga bulan setelah sidang peninjauan kembali Mahkamah Agung menyatakan dia tak bersalah dalam kasus L/C Bank Century. Sebelumnya, ia divonis setahun penjara oleh pengadilan negeri dan dua tahun oleh pengadilan tinggi. Kasasi Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan.

Misbakhun adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga Direktur Utama PT Selalang Prima Internasional. Selalang merupakan satu dari sepuluh perusahaan penerima pembiayaan perdagangan (L/C) Bank Century yang, menurut Badan Pemeriksa Keuangan, penuh patgulipat.

Pengadilan menyatakan Misbakhun bersalah karena memalsukan deposito jaminan untuk mendapatkan L/C US$ 22,5 juta. Lebih dari sekadar pemalsuan dokumen, fasilitas itu sesungguhnya diberikan dengan pelbagai muslihat.

Mengajukan pinjaman untuk pengadaan kondensat, Selalang diharuskan manajemen Century mengimpor dari Grains and Industrial Product Trading, sebuah perusahaan di Singapura. Tak ada bukti meyakinkan bahwa transaksi itu benar-benar terjadi. Yang ada, perusahaan Misbakhun malah menanamkan US$ 22,5 juta ke Kellet Investment Incorporated, perusahaan investasi di Hong Kong. Kellet kolaps menyusul krisis ekonomi dunia pada 2008. Bank Century menyatakan Selalang gagal bayar.

Kisruh Selalang merupakan sebagian kecil dari upaya menggerogoti Century—sesuatu yang belakangan membuat pemerintah mengucurkan dana talangan Rp 6,7 triliun. Pemilik Century, Robert Tantular, bertanggung jawab atas semua hiruk-pikuk itu. Tapi dua hakim agung peninjauan kembali menyatakan Misbakhun tak bersalah. Satu lainnya menyatakan dissenting opinion. Tiga bulan setelah putusan itu, muncul kesaksian mengejutkan: ada suap di balik vonis tersebut.

Tersebutlah Sofyan Arsyad, sang deep throat. Pedagang serabutan ini salah satu pelaku suap kepada Zaharuddin Utama dan Mansur Kartayasa, dua hakim agung yang membebaskan Misbakhun. Mansur menerima Rp 2 miliar dan Zaharuddin Rp 1,5 miliar plus US$ 25 ribu. Artidjo Alkostar, yang memberikan putusan berbeda, tak didekati karena sudah lama dikenal bersih.

Cerita Sofyan tentang rasuah itu seperti adegan novel detektif. Bersama sejumlah teman, dialah yang menukar rupiah menjadi dolar Amerika dan menenteng uang haram itu ke penerima. Uang diberikan di sejumlah tempat, termasuk di kantor Mahkamah Agung dan hotel berbintang. Sofyan membongkar kasus ini karena kesal terhadap Misbakhun, yang menulis buku dan mengaku bersih dalam kasus Century. Aksi rasuah ini terjadi sekitar Juni-Juli 2012.

Apa pun motif Sofyan, Komisi Pemberantasan Korupsi harus turun tangan. Apalagi Sofyan telah melaporkan kasus ini ke KPK, selain menemui Komisi Yudisial dan Komisi III DPR. Jika terbukti terlibat, Sofyan bisa diberi keringanan hukuman sebagai justice collaborator. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban selayaknya melindungi dia karena banyak orang kini menghendakinya tutup mulut.

Memang belum ada bukti uang suap disediakan oleh Misbakhun, meski dia paling diuntungkan dalam rasuah ini. Yang baru diketahui: uang bersumber dari seorang pegawai kecil di bagian tilang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi fakta ini justru memantik syak: bagaimana mungkin pegawai rendahan menjadi bandar suap miliaran rupiah? Dua hakim yang ditengarai terlibat harus diusut. Selain KPK, Komisi Yudisial harus pula bergerak.

Perjalanan memang masih panjang. KPK harus mendayung ke hulu: menemukan penyedia dana. Ini memang bukan perkara mudah. Dalam kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pun hulu rasuah hingga kini belum terungkap.

Betapapun cacatnya, putusan Mahkamah Agung yang membebaskan Misbakhun harus dihormati. Tak perlu meminta Mahkamah menganulir putusannya. Tak perlu juga mengajukan permohonan peninjauan kembali di atas vonis yang sudah ada, karena hanya akan mengacaukan sistem peradilan kita. Misbakhun, kedua hakim, dan semua orang yang terlibat dalam rasuah itu bisa diterungku dalam perkara baru, yakni penyuapan.

Ketekunan penyidik KPK kini diharapkan. Betapapun rumitnya, kasus ini harus dibongkar. Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, baunya pasti tercium jua. Pernyataan Misbakhun mungkin terdengar apologetik meski ada benarnya. Dalam bukunya ia menulis, "Karena Allah SWT tak pernah tidur. Kebenaran akan selalu bangun."

berita terkait di halaman 34

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus